Masalah Keterlibatan Korporasi dalam Tindak Pidana

Sabtu, 20 Agustus 2022 - 14:30 WIB
loading...
A A A
Strategi preventive detention perlu diterapkan terhadap korporasi yang diduga kuat telah diperoleh bukti permulaan cukup melakukan tindak pidana berdampak signifikan dan meluas sebagai shock-teraphy yang dapat dilanjutkan dengan penyitaan dan perampasan aset korporasi. Strategi yang dikemukakan di atas merupakan alternatif solusi yang dianggap terbaik saat ini khusus yang terjadi di Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Prancis serta beberapa negara anggota Uni Eropa seperti Belanda yang dikenal dengan deferred prosecution agreement/DPA atau non-prosecution agreement/NPA.

Praktik DPA adalah terdakwa wajib membayar denda sebagai penalti dan tidak lagi melakukan pelanggaran hukum serta kooperatif di bawah supervisi dan audit yang ditentukan oleh kejaksaan. Tiga syarat di mana strategi represif tidak lagi dianggap merupakan ultimum, tetapi sebaliknya primum remedium jika (a) kerugian tidak dapat dipulihkan, terdakwa residivis, dan korban sangat besar (De Blunt); termasuk track-record korporasi dan pengurusnya secara individual.

Mengikuti perkembangan politik hukum di tiga negara di atas, selayaknya juga di dalam UU Tipikor dan UU TPPU dimasukkan ketentuan mirip dengan DPA atau NPA, dilengkapi dengan penyitaan aset korporasi tanpa penuntutan (non-criminal based forfeiture).

Era Reformasi 1998, gerakan antikorupsi dengan tujuan zero tolerance against corruption dengan cara represif untuk mengembalikan kerugian keuangan negara dan tujuan ekstrem semaksimal mungkin memiskinkan koruptor telah tidak lagi relevan dengan perkembangan situasi ekonomi, sosial, dan politik di era globalisasi saat ini.

Perubahan strategi yang relevan adalah sebagaimana telah dikemukakan yang berintikan strategi preventif detention, strategi represif-rehabilitatif, dan strategi restoratif. Untuk menguatkan efektivitas dan efisiensi kerja penegakan hukum versi pembaruan tersebut, pemerintah wajib membangun sistem digitalisasi penegakan hukum, terutama kejahatan dalam bidang keuangan dan perbankan sejak penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sehingga kecepatan digitalisasi proses pemeriksaan tindak pidana dapat melampaui dari kecepatan digitalisasi proses kejahatan.

Di samping program digitalisasi sistem peradilan pidana diperlukan sistem perampasan aset hasil kejahatan dengan memaksimalkan kinerja Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri dugaan telah terjadi proses penempatan (placement), pelapisan (layering), dan integrasi harta kekayaan hasil kejahatan memasuki dan ditempatkan di dalam sistem keuangan-perbankan di Indonesia.

Bahkan dugaan atau petunjuk keberadaan hasil kejahatan berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dapat dianggap bukti permulaan yang cukup bahwa seorang penyelenggara negara memiliki harta kekayaan yang melebihi harta kekayaan yang diperoleh dari hasil pekerjaannya yang sah dan tidak dapat membuktikan bahwa kelebihan harta kekayaannya berasal dari perolehan yang legal.

Pasangan UU Tipikor dan UU pidana khusus lain dengan UU TPPU merupakan dwitunggal yang andal untuk mengungkap tuntas skandal megakorupsi dan tindak pidana khusus lain. Situasi dan fakta yang dihadapi pemeritah saat ini adalah kenaikan signifikan tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika, dan tindak pidana terorisme yang diperparah oleh tindak pidana pencucian uang. Dalam kaitan ini diperlukan indeks tindak pidana yang dijadikan parameter perkembangan tindak pidana/kejahatan di Indonesia.

Sudah saatnya kita dapat membangun parameter sendiri yang dikerjakan oleh lembaga penegak hukum dan para ahli Indonesia sehingga parameter yang dibangun benar-benar menggambarkan keadaan nyata dan sesungguhnya sesuai dengan situasi politik, hukum, sosial, dan ekonomi Indonesia dan merupakan kebanggaan tersendiri jika Pemerintah Indonesia memiliki parameter dimaksud daripada selalu menggantungkan diri pada parameter yang dibuat pihak asing atau organisasi asing seperti Indeks Persepsi Korupsi (IPK).

Kenyataan yang tidak dapat dimungkiri adalah bahwa IPK Indonesia setiap tahun hampir 10 (sepuluh) tahun lebih tidak menggambarkan kenaikan positif, sedangkan upaya pemberantasan korupsi yang telah banyak menghasilkan korban-korban koruptor, bahkan menteri dan kepala daerah, tidak pernah terjadi di negara anggota ASEAN, tetapi tetap tidak mengubah IPK Indonesia.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1448 seconds (0.1#10.140)