Masalah Keterlibatan Korporasi dalam Tindak Pidana
loading...
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
KETERLIBATAN korporasi dalam suatu tindak pidana termasuk tindak pidana korupsi telah merebak di masyarakat sejak perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Intinya bahwa korporasi telah dinormakan sebagai subjek hukum pidana yang dapat dihukum.
Keberadaan korporasi sebagai subjek hukum dalam UU Tipikor, UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), dan UU Narkotika serta UU Terorisme diperkuat dengan pengakuan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) dalam Perma RI Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemeriksaan Korporasi yang terlibat tindak pidana.
Sekalipun Kitab UU Hukum Pidana (norma material) tidak mengakui secara khusus bahwa korporasi sebagai subjek hukum, tetapi di dalam norma hukum pidana khusus telah diakui sebagai subjek hukum. Penobatan korporasi sebagai subjek hukum pidana merupakan buah simalakama karena penobatan tersebut membawa konsekuensi positif dan negatif.
Positifnya adalah mengungkap tuntas keterlibatan korporasi sebagai subjek yang diduga telah menampung hasil kejahatan, menjadi sarana atau alat untuk melakukan kejahatan, dan menjadi sponsor untuk melakukan kejahatan. Ketiga sarana tersebut dalam praktik terjadi dan dilakukan korporasi. Hukuman yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda atau penyitaan aset korporasi. Jika tidak mencukupi, aset pengurus dan pemegang sahamnya (PTbk) disita.
Peraturan perundang-undangan yang diandalkan untuk menjerat korporasi dan hasil kejahatan adalah UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang karena di dalam UU tersebut terdapat ketentuan yang melegalkan pembuktian terbalik, yaitu yang harus membuktikan bahwa aset atau harta kekayaan yang disita adalah bukan milik pelaku kejahatan asal (predicate crimes).
Sisi positifnya adalah di era globalisasi yang dicirikan oleh penguatan pembangunan ekonomi nasional, korporasi diakui merupakan co-partner pemerintah yang strategis. Jatuh bangun dan jatuhnya korporasi yang khusus mengelola bidang kegiatan strategis seperti pertambangan, pertanian, perikanan, dan perkebunan adalah gagal dan berhasilnya pemerintah mengelola kegiatan-kegiatan dalam bidang tersebut.
Diperlukan kebijakan pemerintah termasuk aparatur penegak hukum selama terjadi peristiwa yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam bidang kegiatan tersebut. Yang dimaksud dengan kebijakan terkait pengelolaan tersebut antara lain konsistensi pengelolaan bidang kegiatan strategis, baik dalam konsep, arah, dan misi maupun dalam pengawasan atas pelaksanaan pengelolaannya sehingga pengawasan yang ketat dapat mencegah kemungkinan terjadinya pelanggaran hukum.
Di sisi lain aparatur hukum harus memahami politik hukum pemerintah atas bidang-bidang strategis tersebut, termasuk ikut mendampingi proyek-proyek strategis dalam bidang pertanian, perkebunan, pertambangan, dan perikanan. Strategi pencegahan dalam hal ini lebih utama dari strategi represif yang memiliki implikasi luas terhadap bidang sosial dan ekonomi sehingga kontraproduktif bagi kepentingan pembangunan ekonomi nasional.
Di antara dua strategi, preventif dan represif, tersebut terdapat opsi strategi lain, yaitu strategi represif tanpa penuntutan pidana dengan syarat tertentu atau strategi preventive detention dengan jaminan. Kedua strategi tersebut bertujuan menegakkan prinsip business judgment rule (BJR), yaitu penegakan etika pelaku usaha dalam berbisnis yang merupakan pendekatan primum remedium dengan pendekatan penal sebagai ultimum remedium. Dua pendekatan tersebut diserahkan kepada pelaku usaha, pendekatan mana yang terbaik bagi dirinya dan perusahaannya, juga kepada petinggi hukum, yakni Jaksa Agung sebagai pemutus terakhir dari strategi tersebut.
Strategi preventive detention perlu diterapkan terhadap korporasi yang diduga kuat telah diperoleh bukti permulaan cukup melakukan tindak pidana berdampak signifikan dan meluas sebagai shock-teraphy yang dapat dilanjutkan dengan penyitaan dan perampasan aset korporasi. Strategi yang dikemukakan di atas merupakan alternatif solusi yang dianggap terbaik saat ini khusus yang terjadi di Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Prancis serta beberapa negara anggota Uni Eropa seperti Belanda yang dikenal dengan deferred prosecution agreement/DPA atau non-prosecution agreement/NPA.
Praktik DPA adalah terdakwa wajib membayar denda sebagai penalti dan tidak lagi melakukan pelanggaran hukum serta kooperatif di bawah supervisi dan audit yang ditentukan oleh kejaksaan. Tiga syarat di mana strategi represif tidak lagi dianggap merupakan ultimum, tetapi sebaliknya primum remedium jika (a) kerugian tidak dapat dipulihkan, terdakwa residivis, dan korban sangat besar (De Blunt); termasuk track-record korporasi dan pengurusnya secara individual.
Mengikuti perkembangan politik hukum di tiga negara di atas, selayaknya juga di dalam UU Tipikor dan UU TPPU dimasukkan ketentuan mirip dengan DPA atau NPA, dilengkapi dengan penyitaan aset korporasi tanpa penuntutan (non-criminal based forfeiture).
Era Reformasi 1998, gerakan antikorupsi dengan tujuan zero tolerance against corruption dengan cara represif untuk mengembalikan kerugian keuangan negara dan tujuan ekstrem semaksimal mungkin memiskinkan koruptor telah tidak lagi relevan dengan perkembangan situasi ekonomi, sosial, dan politik di era globalisasi saat ini.
Perubahan strategi yang relevan adalah sebagaimana telah dikemukakan yang berintikan strategi preventif detention, strategi represif-rehabilitatif, dan strategi restoratif. Untuk menguatkan efektivitas dan efisiensi kerja penegakan hukum versi pembaruan tersebut, pemerintah wajib membangun sistem digitalisasi penegakan hukum, terutama kejahatan dalam bidang keuangan dan perbankan sejak penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sehingga kecepatan digitalisasi proses pemeriksaan tindak pidana dapat melampaui dari kecepatan digitalisasi proses kejahatan.
Di samping program digitalisasi sistem peradilan pidana diperlukan sistem perampasan aset hasil kejahatan dengan memaksimalkan kinerja Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri dugaan telah terjadi proses penempatan (placement), pelapisan (layering), dan integrasi harta kekayaan hasil kejahatan memasuki dan ditempatkan di dalam sistem keuangan-perbankan di Indonesia.
Bahkan dugaan atau petunjuk keberadaan hasil kejahatan berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dapat dianggap bukti permulaan yang cukup bahwa seorang penyelenggara negara memiliki harta kekayaan yang melebihi harta kekayaan yang diperoleh dari hasil pekerjaannya yang sah dan tidak dapat membuktikan bahwa kelebihan harta kekayaannya berasal dari perolehan yang legal.
Pasangan UU Tipikor dan UU pidana khusus lain dengan UU TPPU merupakan dwitunggal yang andal untuk mengungkap tuntas skandal megakorupsi dan tindak pidana khusus lain. Situasi dan fakta yang dihadapi pemeritah saat ini adalah kenaikan signifikan tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika, dan tindak pidana terorisme yang diperparah oleh tindak pidana pencucian uang. Dalam kaitan ini diperlukan indeks tindak pidana yang dijadikan parameter perkembangan tindak pidana/kejahatan di Indonesia.
Sudah saatnya kita dapat membangun parameter sendiri yang dikerjakan oleh lembaga penegak hukum dan para ahli Indonesia sehingga parameter yang dibangun benar-benar menggambarkan keadaan nyata dan sesungguhnya sesuai dengan situasi politik, hukum, sosial, dan ekonomi Indonesia dan merupakan kebanggaan tersendiri jika Pemerintah Indonesia memiliki parameter dimaksud daripada selalu menggantungkan diri pada parameter yang dibuat pihak asing atau organisasi asing seperti Indeks Persepsi Korupsi (IPK).
Kenyataan yang tidak dapat dimungkiri adalah bahwa IPK Indonesia setiap tahun hampir 10 (sepuluh) tahun lebih tidak menggambarkan kenaikan positif, sedangkan upaya pemberantasan korupsi yang telah banyak menghasilkan korban-korban koruptor, bahkan menteri dan kepala daerah, tidak pernah terjadi di negara anggota ASEAN, tetapi tetap tidak mengubah IPK Indonesia.
Baca Juga: koran-sindo.com
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
KETERLIBATAN korporasi dalam suatu tindak pidana termasuk tindak pidana korupsi telah merebak di masyarakat sejak perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Intinya bahwa korporasi telah dinormakan sebagai subjek hukum pidana yang dapat dihukum.
Keberadaan korporasi sebagai subjek hukum dalam UU Tipikor, UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), dan UU Narkotika serta UU Terorisme diperkuat dengan pengakuan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) dalam Perma RI Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemeriksaan Korporasi yang terlibat tindak pidana.
Sekalipun Kitab UU Hukum Pidana (norma material) tidak mengakui secara khusus bahwa korporasi sebagai subjek hukum, tetapi di dalam norma hukum pidana khusus telah diakui sebagai subjek hukum. Penobatan korporasi sebagai subjek hukum pidana merupakan buah simalakama karena penobatan tersebut membawa konsekuensi positif dan negatif.
Positifnya adalah mengungkap tuntas keterlibatan korporasi sebagai subjek yang diduga telah menampung hasil kejahatan, menjadi sarana atau alat untuk melakukan kejahatan, dan menjadi sponsor untuk melakukan kejahatan. Ketiga sarana tersebut dalam praktik terjadi dan dilakukan korporasi. Hukuman yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda atau penyitaan aset korporasi. Jika tidak mencukupi, aset pengurus dan pemegang sahamnya (PTbk) disita.
Peraturan perundang-undangan yang diandalkan untuk menjerat korporasi dan hasil kejahatan adalah UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang karena di dalam UU tersebut terdapat ketentuan yang melegalkan pembuktian terbalik, yaitu yang harus membuktikan bahwa aset atau harta kekayaan yang disita adalah bukan milik pelaku kejahatan asal (predicate crimes).
Sisi positifnya adalah di era globalisasi yang dicirikan oleh penguatan pembangunan ekonomi nasional, korporasi diakui merupakan co-partner pemerintah yang strategis. Jatuh bangun dan jatuhnya korporasi yang khusus mengelola bidang kegiatan strategis seperti pertambangan, pertanian, perikanan, dan perkebunan adalah gagal dan berhasilnya pemerintah mengelola kegiatan-kegiatan dalam bidang tersebut.
Diperlukan kebijakan pemerintah termasuk aparatur penegak hukum selama terjadi peristiwa yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam bidang kegiatan tersebut. Yang dimaksud dengan kebijakan terkait pengelolaan tersebut antara lain konsistensi pengelolaan bidang kegiatan strategis, baik dalam konsep, arah, dan misi maupun dalam pengawasan atas pelaksanaan pengelolaannya sehingga pengawasan yang ketat dapat mencegah kemungkinan terjadinya pelanggaran hukum.
Di sisi lain aparatur hukum harus memahami politik hukum pemerintah atas bidang-bidang strategis tersebut, termasuk ikut mendampingi proyek-proyek strategis dalam bidang pertanian, perkebunan, pertambangan, dan perikanan. Strategi pencegahan dalam hal ini lebih utama dari strategi represif yang memiliki implikasi luas terhadap bidang sosial dan ekonomi sehingga kontraproduktif bagi kepentingan pembangunan ekonomi nasional.
Di antara dua strategi, preventif dan represif, tersebut terdapat opsi strategi lain, yaitu strategi represif tanpa penuntutan pidana dengan syarat tertentu atau strategi preventive detention dengan jaminan. Kedua strategi tersebut bertujuan menegakkan prinsip business judgment rule (BJR), yaitu penegakan etika pelaku usaha dalam berbisnis yang merupakan pendekatan primum remedium dengan pendekatan penal sebagai ultimum remedium. Dua pendekatan tersebut diserahkan kepada pelaku usaha, pendekatan mana yang terbaik bagi dirinya dan perusahaannya, juga kepada petinggi hukum, yakni Jaksa Agung sebagai pemutus terakhir dari strategi tersebut.
Strategi preventive detention perlu diterapkan terhadap korporasi yang diduga kuat telah diperoleh bukti permulaan cukup melakukan tindak pidana berdampak signifikan dan meluas sebagai shock-teraphy yang dapat dilanjutkan dengan penyitaan dan perampasan aset korporasi. Strategi yang dikemukakan di atas merupakan alternatif solusi yang dianggap terbaik saat ini khusus yang terjadi di Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Prancis serta beberapa negara anggota Uni Eropa seperti Belanda yang dikenal dengan deferred prosecution agreement/DPA atau non-prosecution agreement/NPA.
Praktik DPA adalah terdakwa wajib membayar denda sebagai penalti dan tidak lagi melakukan pelanggaran hukum serta kooperatif di bawah supervisi dan audit yang ditentukan oleh kejaksaan. Tiga syarat di mana strategi represif tidak lagi dianggap merupakan ultimum, tetapi sebaliknya primum remedium jika (a) kerugian tidak dapat dipulihkan, terdakwa residivis, dan korban sangat besar (De Blunt); termasuk track-record korporasi dan pengurusnya secara individual.
Mengikuti perkembangan politik hukum di tiga negara di atas, selayaknya juga di dalam UU Tipikor dan UU TPPU dimasukkan ketentuan mirip dengan DPA atau NPA, dilengkapi dengan penyitaan aset korporasi tanpa penuntutan (non-criminal based forfeiture).
Era Reformasi 1998, gerakan antikorupsi dengan tujuan zero tolerance against corruption dengan cara represif untuk mengembalikan kerugian keuangan negara dan tujuan ekstrem semaksimal mungkin memiskinkan koruptor telah tidak lagi relevan dengan perkembangan situasi ekonomi, sosial, dan politik di era globalisasi saat ini.
Perubahan strategi yang relevan adalah sebagaimana telah dikemukakan yang berintikan strategi preventif detention, strategi represif-rehabilitatif, dan strategi restoratif. Untuk menguatkan efektivitas dan efisiensi kerja penegakan hukum versi pembaruan tersebut, pemerintah wajib membangun sistem digitalisasi penegakan hukum, terutama kejahatan dalam bidang keuangan dan perbankan sejak penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sehingga kecepatan digitalisasi proses pemeriksaan tindak pidana dapat melampaui dari kecepatan digitalisasi proses kejahatan.
Di samping program digitalisasi sistem peradilan pidana diperlukan sistem perampasan aset hasil kejahatan dengan memaksimalkan kinerja Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri dugaan telah terjadi proses penempatan (placement), pelapisan (layering), dan integrasi harta kekayaan hasil kejahatan memasuki dan ditempatkan di dalam sistem keuangan-perbankan di Indonesia.
Bahkan dugaan atau petunjuk keberadaan hasil kejahatan berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dapat dianggap bukti permulaan yang cukup bahwa seorang penyelenggara negara memiliki harta kekayaan yang melebihi harta kekayaan yang diperoleh dari hasil pekerjaannya yang sah dan tidak dapat membuktikan bahwa kelebihan harta kekayaannya berasal dari perolehan yang legal.
Pasangan UU Tipikor dan UU pidana khusus lain dengan UU TPPU merupakan dwitunggal yang andal untuk mengungkap tuntas skandal megakorupsi dan tindak pidana khusus lain. Situasi dan fakta yang dihadapi pemeritah saat ini adalah kenaikan signifikan tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika, dan tindak pidana terorisme yang diperparah oleh tindak pidana pencucian uang. Dalam kaitan ini diperlukan indeks tindak pidana yang dijadikan parameter perkembangan tindak pidana/kejahatan di Indonesia.
Sudah saatnya kita dapat membangun parameter sendiri yang dikerjakan oleh lembaga penegak hukum dan para ahli Indonesia sehingga parameter yang dibangun benar-benar menggambarkan keadaan nyata dan sesungguhnya sesuai dengan situasi politik, hukum, sosial, dan ekonomi Indonesia dan merupakan kebanggaan tersendiri jika Pemerintah Indonesia memiliki parameter dimaksud daripada selalu menggantungkan diri pada parameter yang dibuat pihak asing atau organisasi asing seperti Indeks Persepsi Korupsi (IPK).
Kenyataan yang tidak dapat dimungkiri adalah bahwa IPK Indonesia setiap tahun hampir 10 (sepuluh) tahun lebih tidak menggambarkan kenaikan positif, sedangkan upaya pemberantasan korupsi yang telah banyak menghasilkan korban-korban koruptor, bahkan menteri dan kepala daerah, tidak pernah terjadi di negara anggota ASEAN, tetapi tetap tidak mengubah IPK Indonesia.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)