Masalah Keterlibatan Korporasi dalam Tindak Pidana

Sabtu, 20 Agustus 2022 - 14:30 WIB
loading...
Masalah Keterlibatan Korporasi dalam Tindak Pidana
Romli Atmasasmita (Foto: Dok. Sindonews)
A A A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

KETERLIBATAN korporasi dalam suatu tindak pidana termasuk tindak pidana korupsi telah merebak di masyarakat sejak perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Intinya bahwa korporasi telah dinormakan sebagai subjek hukum pidana yang dapat dihukum.

Keberadaan korporasi sebagai subjek hukum dalam UU Tipikor, UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), dan UU Narkotika serta UU Terorisme diperkuat dengan pengakuan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) dalam Perma RI Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemeriksaan Korporasi yang terlibat tindak pidana.

Sekalipun Kitab UU Hukum Pidana (norma material) tidak mengakui secara khusus bahwa korporasi sebagai subjek hukum, tetapi di dalam norma hukum pidana khusus telah diakui sebagai subjek hukum. Penobatan korporasi sebagai subjek hukum pidana merupakan buah simalakama karena penobatan tersebut membawa konsekuensi positif dan negatif.

Positifnya adalah mengungkap tuntas keterlibatan korporasi sebagai subjek yang diduga telah menampung hasil kejahatan, menjadi sarana atau alat untuk melakukan kejahatan, dan menjadi sponsor untuk melakukan kejahatan. Ketiga sarana tersebut dalam praktik terjadi dan dilakukan korporasi. Hukuman yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda atau penyitaan aset korporasi. Jika tidak mencukupi, aset pengurus dan pemegang sahamnya (PTbk) disita.

Peraturan perundang-undangan yang diandalkan untuk menjerat korporasi dan hasil kejahatan adalah UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang karena di dalam UU tersebut terdapat ketentuan yang melegalkan pembuktian terbalik, yaitu yang harus membuktikan bahwa aset atau harta kekayaan yang disita adalah bukan milik pelaku kejahatan asal (predicate crimes).

Sisi positifnya adalah di era globalisasi yang dicirikan oleh penguatan pembangunan ekonomi nasional, korporasi diakui merupakan co-partner pemerintah yang strategis. Jatuh bangun dan jatuhnya korporasi yang khusus mengelola bidang kegiatan strategis seperti pertambangan, pertanian, perikanan, dan perkebunan adalah gagal dan berhasilnya pemerintah mengelola kegiatan-kegiatan dalam bidang tersebut.

Diperlukan kebijakan pemerintah termasuk aparatur penegak hukum selama terjadi peristiwa yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam bidang kegiatan tersebut. Yang dimaksud dengan kebijakan terkait pengelolaan tersebut antara lain konsistensi pengelolaan bidang kegiatan strategis, baik dalam konsep, arah, dan misi maupun dalam pengawasan atas pelaksanaan pengelolaannya sehingga pengawasan yang ketat dapat mencegah kemungkinan terjadinya pelanggaran hukum.

Di sisi lain aparatur hukum harus memahami politik hukum pemerintah atas bidang-bidang strategis tersebut, termasuk ikut mendampingi proyek-proyek strategis dalam bidang pertanian, perkebunan, pertambangan, dan perikanan. Strategi pencegahan dalam hal ini lebih utama dari strategi represif yang memiliki implikasi luas terhadap bidang sosial dan ekonomi sehingga kontraproduktif bagi kepentingan pembangunan ekonomi nasional.

Di antara dua strategi, preventif dan represif, tersebut terdapat opsi strategi lain, yaitu strategi represif tanpa penuntutan pidana dengan syarat tertentu atau strategi preventive detention dengan jaminan. Kedua strategi tersebut bertujuan menegakkan prinsip business judgment rule (BJR), yaitu penegakan etika pelaku usaha dalam berbisnis yang merupakan pendekatan primum remedium dengan pendekatan penal sebagai ultimum remedium. Dua pendekatan tersebut diserahkan kepada pelaku usaha, pendekatan mana yang terbaik bagi dirinya dan perusahaannya, juga kepada petinggi hukum, yakni Jaksa Agung sebagai pemutus terakhir dari strategi tersebut.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2007 seconds (0.1#10.140)