Hanya Pembantu Visi Presiden, Kemarahan Jokowi pada Menteri Salah Alamat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mendesak Presiden Jokowi bertindak cepat dan fokus dalam pengambilan kebijakan terkait penanganan Covid-19 dengan berbasis pada data serta pendapat dan pertimbangan para ahli terutama ahli di bidang kesehatan. Hal itu menanggapi kemarahan presiden atas kinerja para menteri dalam Sidang Kabinet Paripurna 18 Juni 2020, yang disiarkan melalui kanal Youtube Sekretariat Presiden, Minggu (28/6) lalu.
Direktur Pengembangan Organisasi dan Sumber Daya Penelitian PSHK Rizky Argama memandang kemarahan presiden yang menyalahkan para menteri dinilai tidak tepat. Merujuk pada Pasal 8 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, disebutkan bahwa menteri hanya merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan terbatas pada bidangnya masing-masing.
“Yang bertanggung jawab atas pengambilan kebijakan secara umum sekaligus memastikan orkestrasi semua kebijakan berjalan dengan baik adalah presiden sendiri sebagai satu-satunya atasan dari para menteri,” ujar Rizky saat dikonfirmasi, Selasa (30/6/2020).
(Baca: Dinilai Tumpang Tindih, KNPI Dukung Jokowi Bubarkan Lembaga Negara)
Di sisi lain, Jokowi dalam sejumlah kesempatan menyatakan bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan hanya ada visi dan misi presiden, tidak ada visi dan misi menteri. Menurut Rizky, ungkapan itu menegaskan kembali bahwa sesungguhnya menteri hanya membantu melaksanakan kebijakan presiden.
Ia juga menilai kekecewaan hanya merujuk pada rendahnya penyerapan anggaran sebagai satu-satunya penanda tidak maksimalnya kinerja kementerian. Misalnya, menyebutkan anggaran bidang kesehatan yang baru digunakan 1,53 persen dari total Rp75 triliun yang tersedia.
Meskipun ada transparansi karena membuka data itu kepada publik, fakta yang dilihat publik selama empat bulan terakhir sudah menunjukkan bahwa Menteri Kesehatan telah gagal melaksanakan tugasnya dengan baik dalam periode penanganan Covid-19.
“Seharusnya Presiden Jokowi dapat bertindak lebih awal untuk memberhentikan para pembantunya yang tidak dapat bekerja dengan baik dalam menangani situasi darurat. Membuka data penyerapan anggaran kementerian kepada publik ketika pandemi sudah memasuki bulan keempat dan memakan lebih dari 2.700 korban jiwa, merupakan tindakan yang amat terlambat dan cenderung sia-sia,” ujar dia.
(Baca: Heboh Isu Reshuffle, Ini Jejak Bongkar Pasang Menteri Era Jokowi)
Berikutnya yang disorot PSHK adalah pernyataan Jokowi yang terkesan menawarkan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) dan Peraturan Presiden (Perpres) apabila diminta, diperlukan, atau dibutuhkan. Rizky menganggap pernyataan tersebut amat janggal dari perspektif hukum tata negara. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan Perppu.
“Dengan demikian, penerbitan Perppu sesungguhnya merupakan hak subjektif presiden dalam hal terjadi situasi genting dalam pemerintahan. Perppu tidak diterbitkan karena diminta, tidak pula untuk ditawarkan kepada menteri yang merupakan pembantu presiden untuk dibentuk sesuai kebutuhan,” jelas dia.
Tak hanya itu, pernyataan yang menyiratkan kebutuhan Perppu dan Perpres tersebut justru menunjukkan presiden seperti menawarkan bantuan kepada para menteri. Padahal, seharusnya presidenlah yang memimpin, memutuskan, dan menetapkan kebijakan apa yang akan diambil, sementara menteri bertugas untuk membantu, melaksanakan, dan menindaklanjutinya.
PSHK pun meminta agar presiden segera memperbaiki secara menyeluruh dan sistematis berbagai kelemahan manajemen regulasi, terutama dalam hal perencanaan serta monitoring dan evaluasi atas setiap peraturan perundang-undangan dalam lingkup eksekutif.
Direktur Pengembangan Organisasi dan Sumber Daya Penelitian PSHK Rizky Argama memandang kemarahan presiden yang menyalahkan para menteri dinilai tidak tepat. Merujuk pada Pasal 8 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, disebutkan bahwa menteri hanya merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan terbatas pada bidangnya masing-masing.
“Yang bertanggung jawab atas pengambilan kebijakan secara umum sekaligus memastikan orkestrasi semua kebijakan berjalan dengan baik adalah presiden sendiri sebagai satu-satunya atasan dari para menteri,” ujar Rizky saat dikonfirmasi, Selasa (30/6/2020).
(Baca: Dinilai Tumpang Tindih, KNPI Dukung Jokowi Bubarkan Lembaga Negara)
Di sisi lain, Jokowi dalam sejumlah kesempatan menyatakan bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan hanya ada visi dan misi presiden, tidak ada visi dan misi menteri. Menurut Rizky, ungkapan itu menegaskan kembali bahwa sesungguhnya menteri hanya membantu melaksanakan kebijakan presiden.
Ia juga menilai kekecewaan hanya merujuk pada rendahnya penyerapan anggaran sebagai satu-satunya penanda tidak maksimalnya kinerja kementerian. Misalnya, menyebutkan anggaran bidang kesehatan yang baru digunakan 1,53 persen dari total Rp75 triliun yang tersedia.
Meskipun ada transparansi karena membuka data itu kepada publik, fakta yang dilihat publik selama empat bulan terakhir sudah menunjukkan bahwa Menteri Kesehatan telah gagal melaksanakan tugasnya dengan baik dalam periode penanganan Covid-19.
“Seharusnya Presiden Jokowi dapat bertindak lebih awal untuk memberhentikan para pembantunya yang tidak dapat bekerja dengan baik dalam menangani situasi darurat. Membuka data penyerapan anggaran kementerian kepada publik ketika pandemi sudah memasuki bulan keempat dan memakan lebih dari 2.700 korban jiwa, merupakan tindakan yang amat terlambat dan cenderung sia-sia,” ujar dia.
(Baca: Heboh Isu Reshuffle, Ini Jejak Bongkar Pasang Menteri Era Jokowi)
Berikutnya yang disorot PSHK adalah pernyataan Jokowi yang terkesan menawarkan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) dan Peraturan Presiden (Perpres) apabila diminta, diperlukan, atau dibutuhkan. Rizky menganggap pernyataan tersebut amat janggal dari perspektif hukum tata negara. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan Perppu.
“Dengan demikian, penerbitan Perppu sesungguhnya merupakan hak subjektif presiden dalam hal terjadi situasi genting dalam pemerintahan. Perppu tidak diterbitkan karena diminta, tidak pula untuk ditawarkan kepada menteri yang merupakan pembantu presiden untuk dibentuk sesuai kebutuhan,” jelas dia.
Tak hanya itu, pernyataan yang menyiratkan kebutuhan Perppu dan Perpres tersebut justru menunjukkan presiden seperti menawarkan bantuan kepada para menteri. Padahal, seharusnya presidenlah yang memimpin, memutuskan, dan menetapkan kebijakan apa yang akan diambil, sementara menteri bertugas untuk membantu, melaksanakan, dan menindaklanjutinya.
PSHK pun meminta agar presiden segera memperbaiki secara menyeluruh dan sistematis berbagai kelemahan manajemen regulasi, terutama dalam hal perencanaan serta monitoring dan evaluasi atas setiap peraturan perundang-undangan dalam lingkup eksekutif.
(muh)