Dukung Gerakan 1 Juta Buruh, KNPI Siapkan Tim Advokasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Komite Nasional Pemuda Indonesia ( KNPI ) mendukung gerakan aksi 1 juta buruh pada 10 Agustus 2022. Dukungan itu diberikan karena kesejahteraan buruh merupakan isu kerakyatan yang harus terus disuarakan.
"DPP KNPI mendukung penuh gerakan aksi 1 juta buruh pada 10 Agustus mendatang. Isu kesejahteraan buruh yang disuarakan tersebut harus kita dukung," kata Koordinator Bidang Perekonomian DPP KNPI Rasminto, Minggu (7/8/2022).
Menurutnya, Ketua Umum DPP KNPI Haris Pertama juga telah menyerukan kepada seluruh pengurus daerah untuk partisipasi mendukung gerakan 1 juta massa pada aksi 10 Agustus 2022. "Kita siapkan berbagai elemen terkait aksi tersebut termasuk siapkan tim advokasi KNPI untuk para buruh," katanya.
Menurut Rasminto, buruh merupakan tulang punggung perekonomian nasional. Apalagi tujuan pembangunan nasional adalah untuk menyejahterakan rakyat, termasuk buruh.
Ia memahami bahwa salah satu yang menjadi fokus utama perjuangan adalah terkait UU Cipta Kerja yang dinilai tidak berpihak pada buruh. Contohnya, Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja mengatur perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) tidak dibatasi periode batas waktu kontrak, dengan menyebut menyebut pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama, sehingga menghapus ketentuan Pasal 59 UU 13/2003 bahwa sebelumnya diatur batas waktu selama tiga tahun sebagai salah satu kriteria PKWT.
"Hal ini membuat ketidakpastian kerja bagi buruh," kata Rasminto.
UU Cipta Kerja juga tidak mengatur batasan kriteria pekerjaan yang dapat dipekerjakan secara alih daya atau outsourcing. Padahal berdasarkan UU Ketenagakerjaan, alih daya hanya dapat dilakukan jika suatu pekerjaan terlepas dari kegiatan utama atau di luar kegiatan produksi.
"Sementara itu, UU Cipta Kerja tidak memberikan batasan demikian. Akibatnya, praktik outsourcing diprediksi makin melua," katanya.
Sorotan lainnya adalah batasan maksimal jam lembur dari tiga jam dalam sehari dan 14 jam dalam sepekan, menjadi empat jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu. Selain akan berakibat pada kesehatan buruh, besaran upah lembur yang diterima juga tidak sebanding.
"Mengingat upah minimum yang menjadi dasar penghitungan upah lembur didasarkan pada mekanisme pasar berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan," kata Rasminto.
Buruh rentan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), salah satunya ketika mengalami kecelakaan kerja. Pada Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja menyisipkan Pasal 154A mengenai alasan pemutusan pemutusan hubungan kerja. Salah satu alasannya yakni buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan.
Menurut Rasminto, hak pekerja menjadi tidak ada kepastian karena sakit berkepanjangan. Berbeda dengan ketentuan Pasal 172 UU Ketenagakerjaan menyatakan buruh berhak atas dua kali pesangon jika mengalami PHK karena sakit berkepanjangan melebihi 12 bulan.
Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri telah mengabulkan sebagian permohonan uji formil pada 25 November 2021 bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Menurutnya, pemerintah harus merevisi UU Cipta Kerja dalam batas waktu 2 tahun sesuai putusan MK.
"Putusan MK ini jadi momentum bagi Pemerintah untuk mendengar aspirasi rakyat, khususnya kaum buruh, dengan merevisi pasal-pasal kontroversi yang membuat nasib buruh penuh ketidakpastian dan hilang semangat tujuan bernegara dalam menyejahterakan rakyat Indonesia," kata Rasminto.
"DPP KNPI mendukung penuh gerakan aksi 1 juta buruh pada 10 Agustus mendatang. Isu kesejahteraan buruh yang disuarakan tersebut harus kita dukung," kata Koordinator Bidang Perekonomian DPP KNPI Rasminto, Minggu (7/8/2022).
Menurutnya, Ketua Umum DPP KNPI Haris Pertama juga telah menyerukan kepada seluruh pengurus daerah untuk partisipasi mendukung gerakan 1 juta massa pada aksi 10 Agustus 2022. "Kita siapkan berbagai elemen terkait aksi tersebut termasuk siapkan tim advokasi KNPI untuk para buruh," katanya.
Menurut Rasminto, buruh merupakan tulang punggung perekonomian nasional. Apalagi tujuan pembangunan nasional adalah untuk menyejahterakan rakyat, termasuk buruh.
Ia memahami bahwa salah satu yang menjadi fokus utama perjuangan adalah terkait UU Cipta Kerja yang dinilai tidak berpihak pada buruh. Contohnya, Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja mengatur perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) tidak dibatasi periode batas waktu kontrak, dengan menyebut menyebut pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama, sehingga menghapus ketentuan Pasal 59 UU 13/2003 bahwa sebelumnya diatur batas waktu selama tiga tahun sebagai salah satu kriteria PKWT.
"Hal ini membuat ketidakpastian kerja bagi buruh," kata Rasminto.
UU Cipta Kerja juga tidak mengatur batasan kriteria pekerjaan yang dapat dipekerjakan secara alih daya atau outsourcing. Padahal berdasarkan UU Ketenagakerjaan, alih daya hanya dapat dilakukan jika suatu pekerjaan terlepas dari kegiatan utama atau di luar kegiatan produksi.
"Sementara itu, UU Cipta Kerja tidak memberikan batasan demikian. Akibatnya, praktik outsourcing diprediksi makin melua," katanya.
Sorotan lainnya adalah batasan maksimal jam lembur dari tiga jam dalam sehari dan 14 jam dalam sepekan, menjadi empat jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu. Selain akan berakibat pada kesehatan buruh, besaran upah lembur yang diterima juga tidak sebanding.
"Mengingat upah minimum yang menjadi dasar penghitungan upah lembur didasarkan pada mekanisme pasar berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan," kata Rasminto.
Buruh rentan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), salah satunya ketika mengalami kecelakaan kerja. Pada Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja menyisipkan Pasal 154A mengenai alasan pemutusan pemutusan hubungan kerja. Salah satu alasannya yakni buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan.
Menurut Rasminto, hak pekerja menjadi tidak ada kepastian karena sakit berkepanjangan. Berbeda dengan ketentuan Pasal 172 UU Ketenagakerjaan menyatakan buruh berhak atas dua kali pesangon jika mengalami PHK karena sakit berkepanjangan melebihi 12 bulan.
Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri telah mengabulkan sebagian permohonan uji formil pada 25 November 2021 bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Menurutnya, pemerintah harus merevisi UU Cipta Kerja dalam batas waktu 2 tahun sesuai putusan MK.
"Putusan MK ini jadi momentum bagi Pemerintah untuk mendengar aspirasi rakyat, khususnya kaum buruh, dengan merevisi pasal-pasal kontroversi yang membuat nasib buruh penuh ketidakpastian dan hilang semangat tujuan bernegara dalam menyejahterakan rakyat Indonesia," kata Rasminto.
(abd)