Bisnis dan Hak Asasi Manusia
loading...
A
A
A
Irvan Tengku Harja
Peneliti Perkumpulan PRAKARSA dan Anggota Civil 20 Indonesia
HAK asasi manusia (HAM) merupakan bagian dari etika bisnis. Di tingkat antarbangsa, terdapat United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs) untuk mengarusutamakan isu HAM di dunia bisnis.
UNGPs atau “Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM” adalah kerangka kerja yang disahkan Komisi HAM PBB pada 2011. Ditulis John Ruggie, UNGPs terdiri dari 31 butir prinsip. UNGPs, demikian Ruggie, adalah roadmap transformasional menuju dunia di mana manusia dan perusahaan sama-sama dapat berkembang dan sejahtera.
UNGPs meletakkan tiga pilar bisnis dan HAM: tugas negara untuk melindungi HAM, tanggung jawab korporasi untuk menghormati HAM, dan akses korban atas pemulihan.
Saat pelanggaran HAM terjadi, negara harus dipastikan akses atas pemulihan yang efektif bagi korban. Selain mekanisme pengaduan hukum yang ada, UNGPs memastikan negara membuat mekanisme pengaduan non-hukum dengan kriteria: sah, dapat diakses, dapat diprediksi, adil, transparan, sesuai dengan standar HAM internasional, dan dapat dijadikan sumber pembelajaran masa depan.
Sebagai pendukung UNGPs, Indonesia telah mengambil beberapa inisiatif guna memadankan persepsi hukum nasional dengan UNGPs. Selaku national focal point bisnis dan HAM, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) telah membangun Gugus Tugas Nasional Bisnis dan HAM guna mengejawantahkan prinsip UNGPs dari tingkat pusat hingga daerah.
Selain itu, inisiatif progresif datang dari Komnas HAM melalui Perkomnas Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pengesahan Rencana Aksi Nasional (RAN) Bisnis dan HAM. Dengan tegas, Pasal 1 ayat (1) menyatakan RAN Bisnis dan HAM merupakan pedoman pencegahan, penanganan, penyelesaian, dan pemulihan pelanggaran HAM yang melibatkan entitas bisnis.
Selanjutnya, pemerintah terus berupaya merealisasikan P5 HAM (penghormatan, pemajuan, perlindungan, penegakan, dan pemenuhan HAM) lewat RANHAM. Pertama kali diluncurkan pada 1998, kini RANHAM sudah memasuki generasi ke-5 dengan terbitnya Peraturean Presiden (Perpres) Nomor 53 Tahun 2021 tentang RANHAM 2021-2025.
Kendatipun tidak memasukkan isu bisnis dan HAM ke dalam sasaran strategis, RANHAM V menyinggungnya di salah satu kriteria keberhasilan, “Meningkatnya pengetahuan dan kesadaran sektor usaha/bisnis yang komprehensif tentang mekanisme penghormatan hak asasi manusia, terutama hak perempuan.”
Aksi Korporasi
Perusahaan harus menghindari pelanggaran HAM dan wajib mengatasi kerugian yang dialami korban terdampak aktivitas bisnis. Langkah awal yang dapat ditempuh perseroan untuk menghindari pelanggaran HAM adalah membuat kebijakan internal sebagai upaya preventif.
Banyak korporasi global memiliki aturan main perihal HAM. KPMG (organisasi akuntan internasional) mencatat 62% dari 250 perusahaan teratas (menurut pemeringkatan Fortune 500) dan 100 firma dengan pendapatan tertinggi di 49 negara memiliki kebijakan internal tentang penghormatan HAM.
Di atas kertas, kepatuhan badan usaha terhadap regulasi internal dapat dilihat pada laporan tanggung jawab perusahaan (corporate responsibility report/CRR). Berdasarkan kewilayahan, sudah 75% korporasi Eropa telah memasukkan isu HAM ke dalam CRR, sedangkan di Asia Pasifik 72%, di Amerika 69%, dan 68% di Timur Tengah & Afrika (KPMG, 2017).
Serta, lebih dari 15.000 pemimpin korporasi di lebih dari 160 negara telah berkomitmen memajukan 10 Prinsip United Nations Global Compact (UNGC) yang terangkum di dalam empat tema: HAM, kerja layak (decent work), lingkungan, dan anti-korupsi. Ada dua prinsip di dalam koridor HAM: (1) bisnis harus mendukung dan menghormati perlindungan HAM yang dinyatakan secara internasional; dan (2) memastikan bahwa bisnis tidak terlibat dalam pelanggaran HAM. Di Indonesia, tercatat 82 perusahaan—terdiri dari UMKM dan perusahaan besar—terafiliasi dengan Indonesia Global Compact Network sebagai jaringan lokal UNGC.
Di samping memiliki kebijakan, juga terdapat korporasi yang mempunyai program edukasi HAM. Di antaranya adalah Mitsubishi Gas Chemical (MGC) dan PT PLN (Persero). MGC memberi pelatihan HAM bagi pekerja serta mengadakan Human Rights Week agar aktivitas bisnisnya memiliki “chemistry” HAM. Untuk menerangi perusahaannya dengan cahaya HAM, selama 2021 PLN menyelanggarakan 943 pelatihan peningkatan kompetensi pekerja tentang keberlanjutan, di antaranya soal HAM.
Untuk kepentingan transparansi dan akuntabilitas penghormatan HAM, perusahaan perlu mengungkap laporan operasi bisnisnya kepada pemangku kepentingan melalui pengungkapan tahunan (annual disclosure).
Uji Tuntas
Guna menjamin perlindungan HAM oleh negara, penghormatan HAM oleh bisnis dan terpenuhinya hak-hak korban, pemerintah perlu menetapkan uji tuntas (due diligence) HAM sebagai standar praktik berbisnis di Tanah Air. Uji tuntas diperlukan agar perusahaan memiliki metode pengelolaan potensi dan dampak HAM.
Terbilang 4 (empat) unsur uji tuntas HAM. Pertama, identifikasi dan asesmen potensi dan dampak dari aktivitas bisnis atau produk perusahaan. Kedua, melakukan asesmen terhadap (dugaan) pelanggaran HAM yang ada dan kemudian merumuskan solusi. Ketiga, mengevaluasi solusi yang diambil dalam penyelesaian kasus HAM. Keempat, mengomunikasikan proses pemulihan HAM kepada para pemangku kepentingan, teristimewa korban.
Dengan menetapkan uji tuntas HAM yang transparan dan partisipatif sebagai standar praktik bisnis nasional, Indonesia dapat menjadi panutan negara lain sekaligus memanfaatkan posisinya sebagai Ketua G20 2022 untuk mempromosikan lingkungan bisnis internasional yang ramah HAM.
Baca Juga: koran-sindo.com
Peneliti Perkumpulan PRAKARSA dan Anggota Civil 20 Indonesia
HAK asasi manusia (HAM) merupakan bagian dari etika bisnis. Di tingkat antarbangsa, terdapat United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs) untuk mengarusutamakan isu HAM di dunia bisnis.
UNGPs atau “Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM” adalah kerangka kerja yang disahkan Komisi HAM PBB pada 2011. Ditulis John Ruggie, UNGPs terdiri dari 31 butir prinsip. UNGPs, demikian Ruggie, adalah roadmap transformasional menuju dunia di mana manusia dan perusahaan sama-sama dapat berkembang dan sejahtera.
UNGPs meletakkan tiga pilar bisnis dan HAM: tugas negara untuk melindungi HAM, tanggung jawab korporasi untuk menghormati HAM, dan akses korban atas pemulihan.
Saat pelanggaran HAM terjadi, negara harus dipastikan akses atas pemulihan yang efektif bagi korban. Selain mekanisme pengaduan hukum yang ada, UNGPs memastikan negara membuat mekanisme pengaduan non-hukum dengan kriteria: sah, dapat diakses, dapat diprediksi, adil, transparan, sesuai dengan standar HAM internasional, dan dapat dijadikan sumber pembelajaran masa depan.
Sebagai pendukung UNGPs, Indonesia telah mengambil beberapa inisiatif guna memadankan persepsi hukum nasional dengan UNGPs. Selaku national focal point bisnis dan HAM, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) telah membangun Gugus Tugas Nasional Bisnis dan HAM guna mengejawantahkan prinsip UNGPs dari tingkat pusat hingga daerah.
Selain itu, inisiatif progresif datang dari Komnas HAM melalui Perkomnas Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pengesahan Rencana Aksi Nasional (RAN) Bisnis dan HAM. Dengan tegas, Pasal 1 ayat (1) menyatakan RAN Bisnis dan HAM merupakan pedoman pencegahan, penanganan, penyelesaian, dan pemulihan pelanggaran HAM yang melibatkan entitas bisnis.
Selanjutnya, pemerintah terus berupaya merealisasikan P5 HAM (penghormatan, pemajuan, perlindungan, penegakan, dan pemenuhan HAM) lewat RANHAM. Pertama kali diluncurkan pada 1998, kini RANHAM sudah memasuki generasi ke-5 dengan terbitnya Peraturean Presiden (Perpres) Nomor 53 Tahun 2021 tentang RANHAM 2021-2025.
Kendatipun tidak memasukkan isu bisnis dan HAM ke dalam sasaran strategis, RANHAM V menyinggungnya di salah satu kriteria keberhasilan, “Meningkatnya pengetahuan dan kesadaran sektor usaha/bisnis yang komprehensif tentang mekanisme penghormatan hak asasi manusia, terutama hak perempuan.”
Aksi Korporasi
Perusahaan harus menghindari pelanggaran HAM dan wajib mengatasi kerugian yang dialami korban terdampak aktivitas bisnis. Langkah awal yang dapat ditempuh perseroan untuk menghindari pelanggaran HAM adalah membuat kebijakan internal sebagai upaya preventif.
Banyak korporasi global memiliki aturan main perihal HAM. KPMG (organisasi akuntan internasional) mencatat 62% dari 250 perusahaan teratas (menurut pemeringkatan Fortune 500) dan 100 firma dengan pendapatan tertinggi di 49 negara memiliki kebijakan internal tentang penghormatan HAM.
Di atas kertas, kepatuhan badan usaha terhadap regulasi internal dapat dilihat pada laporan tanggung jawab perusahaan (corporate responsibility report/CRR). Berdasarkan kewilayahan, sudah 75% korporasi Eropa telah memasukkan isu HAM ke dalam CRR, sedangkan di Asia Pasifik 72%, di Amerika 69%, dan 68% di Timur Tengah & Afrika (KPMG, 2017).
Serta, lebih dari 15.000 pemimpin korporasi di lebih dari 160 negara telah berkomitmen memajukan 10 Prinsip United Nations Global Compact (UNGC) yang terangkum di dalam empat tema: HAM, kerja layak (decent work), lingkungan, dan anti-korupsi. Ada dua prinsip di dalam koridor HAM: (1) bisnis harus mendukung dan menghormati perlindungan HAM yang dinyatakan secara internasional; dan (2) memastikan bahwa bisnis tidak terlibat dalam pelanggaran HAM. Di Indonesia, tercatat 82 perusahaan—terdiri dari UMKM dan perusahaan besar—terafiliasi dengan Indonesia Global Compact Network sebagai jaringan lokal UNGC.
Di samping memiliki kebijakan, juga terdapat korporasi yang mempunyai program edukasi HAM. Di antaranya adalah Mitsubishi Gas Chemical (MGC) dan PT PLN (Persero). MGC memberi pelatihan HAM bagi pekerja serta mengadakan Human Rights Week agar aktivitas bisnisnya memiliki “chemistry” HAM. Untuk menerangi perusahaannya dengan cahaya HAM, selama 2021 PLN menyelanggarakan 943 pelatihan peningkatan kompetensi pekerja tentang keberlanjutan, di antaranya soal HAM.
Untuk kepentingan transparansi dan akuntabilitas penghormatan HAM, perusahaan perlu mengungkap laporan operasi bisnisnya kepada pemangku kepentingan melalui pengungkapan tahunan (annual disclosure).
Uji Tuntas
Guna menjamin perlindungan HAM oleh negara, penghormatan HAM oleh bisnis dan terpenuhinya hak-hak korban, pemerintah perlu menetapkan uji tuntas (due diligence) HAM sebagai standar praktik berbisnis di Tanah Air. Uji tuntas diperlukan agar perusahaan memiliki metode pengelolaan potensi dan dampak HAM.
Terbilang 4 (empat) unsur uji tuntas HAM. Pertama, identifikasi dan asesmen potensi dan dampak dari aktivitas bisnis atau produk perusahaan. Kedua, melakukan asesmen terhadap (dugaan) pelanggaran HAM yang ada dan kemudian merumuskan solusi. Ketiga, mengevaluasi solusi yang diambil dalam penyelesaian kasus HAM. Keempat, mengomunikasikan proses pemulihan HAM kepada para pemangku kepentingan, teristimewa korban.
Dengan menetapkan uji tuntas HAM yang transparan dan partisipatif sebagai standar praktik bisnis nasional, Indonesia dapat menjadi panutan negara lain sekaligus memanfaatkan posisinya sebagai Ketua G20 2022 untuk mempromosikan lingkungan bisnis internasional yang ramah HAM.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)