Bisnis dan Hak Asasi Manusia

Kamis, 04 Agustus 2022 - 15:09 WIB
loading...
A A A
Banyak korporasi global memiliki aturan main perihal HAM. KPMG (organisasi akuntan internasional) mencatat 62% dari 250 perusahaan teratas (menurut pemeringkatan Fortune 500) dan 100 firma dengan pendapatan tertinggi di 49 negara memiliki kebijakan internal tentang penghormatan HAM.

Di atas kertas, kepatuhan badan usaha terhadap regulasi internal dapat dilihat pada laporan tanggung jawab perusahaan (corporate responsibility report/CRR). Berdasarkan kewilayahan, sudah 75% korporasi Eropa telah memasukkan isu HAM ke dalam CRR, sedangkan di Asia Pasifik 72%, di Amerika 69%, dan 68% di Timur Tengah & Afrika (KPMG, 2017).

Serta, lebih dari 15.000 pemimpin korporasi di lebih dari 160 negara telah berkomitmen memajukan 10 Prinsip United Nations Global Compact (UNGC) yang terangkum di dalam empat tema: HAM, kerja layak (decent work), lingkungan, dan anti-korupsi. Ada dua prinsip di dalam koridor HAM: (1) bisnis harus mendukung dan menghormati perlindungan HAM yang dinyatakan secara internasional; dan (2) memastikan bahwa bisnis tidak terlibat dalam pelanggaran HAM. Di Indonesia, tercatat 82 perusahaan—terdiri dari UMKM dan perusahaan besar—terafiliasi dengan Indonesia Global Compact Network sebagai jaringan lokal UNGC.

Di samping memiliki kebijakan, juga terdapat korporasi yang mempunyai program edukasi HAM. Di antaranya adalah Mitsubishi Gas Chemical (MGC) dan PT PLN (Persero). MGC memberi pelatihan HAM bagi pekerja serta mengadakan Human Rights Week agar aktivitas bisnisnya memiliki “chemistry” HAM. Untuk menerangi perusahaannya dengan cahaya HAM, selama 2021 PLN menyelanggarakan 943 pelatihan peningkatan kompetensi pekerja tentang keberlanjutan, di antaranya soal HAM.

Untuk kepentingan transparansi dan akuntabilitas penghormatan HAM, perusahaan perlu mengungkap laporan operasi bisnisnya kepada pemangku kepentingan melalui pengungkapan tahunan (annual disclosure).

Uji Tuntas
Guna menjamin perlindungan HAM oleh negara, penghormatan HAM oleh bisnis dan terpenuhinya hak-hak korban, pemerintah perlu menetapkan uji tuntas (due diligence) HAM sebagai standar praktik berbisnis di Tanah Air. Uji tuntas diperlukan agar perusahaan memiliki metode pengelolaan potensi dan dampak HAM.

Terbilang 4 (empat) unsur uji tuntas HAM. Pertama, identifikasi dan asesmen potensi dan dampak dari aktivitas bisnis atau produk perusahaan. Kedua, melakukan asesmen terhadap (dugaan) pelanggaran HAM yang ada dan kemudian merumuskan solusi. Ketiga, mengevaluasi solusi yang diambil dalam penyelesaian kasus HAM. Keempat, mengomunikasikan proses pemulihan HAM kepada para pemangku kepentingan, teristimewa korban.

Dengan menetapkan uji tuntas HAM yang transparan dan partisipatif sebagai standar praktik bisnis nasional, Indonesia dapat menjadi panutan negara lain sekaligus memanfaatkan posisinya sebagai Ketua G20 2022 untuk mempromosikan lingkungan bisnis internasional yang ramah HAM.

Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1866 seconds (0.1#10.140)