Regulasi PSE Harus Lebih Progresif
loading...
A
A
A
Kebijakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menata ribuan penyelenggara sistem elektronik (PSE) Lingkup Privat menjadi sebuah langkah positif.
Hingga batas akhir, setidaknya ada 288 PSE asing sebagaimana yang terdaftar di laman pse.kominfo.go.id. Adapun jumlah PSE domestik mencapai 8.721. Tak sekadar bersifat administratif, penataan ini juga dalam kerangka memberikan perlindungan atas data-data pribadi yang selama ini sering disalahgunakan, termasuk dalam hal kejahatan.
Apresiasi juga patut disampaikan karena pemerintah tampak berani lebih tegas dengan memblokir setidaknya delapan PSE yang nekat tak mendaftar hingga batas akhir pada Jumat (29/7) lalu.
Sikap tegas ini menunjukkan adanya penegakan regulasi sekaligus terwujudnya reputasi pemerintah di mata publik, termasuk kalangan global. Mengingat di antara PSE tersebut merupakan platform digital berskala internasional seperti Yahoo Search Engine, Dota, Epic Games dan lain sebagainya.
Namun begitu, kewajiban pendaftaran ini bukanlah langkah final. Ratusan PSE yang terdaftar sangat mungkin menerabas batas-batas regulasi seperti dengan penyiasatan sejumlah konten, layanan dan lain sebagainya. Kesadaran ini harus dimiliki khususnya Kominfo karena yang ditugasi untuk melakukan pengawasan di lapangan.
Kita perlu jujur mengakui bahwa kebijakan kewajiban pendaftaran PSE Lingkup Privat ini sejatinya terbilang terlambat. Lubang inilah yang menyebabkan rentetan kasus peretasan data publik seolah tak henti terjadi. Akibatnya, publik dibuat khawatir dan tak pasti karena data mereka telanjur tergadaikan atau dimiliki pihak lain. Penyelesaian atau solusi atas kasus kebocoran data publik ini pun tak pernah jelas. Inilah yang membuat publik kian di posisi sangat lemah.
Lahirnya sejumlah regulasi seperti halnya Peraturan Pemerintah No 71/2019 tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik dan Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat adalah bagian membangun benteng agar penyedia aplikasi berbagai layanan itu tidak merugikan hak-hak publik.
Namun demikian, seiring perkembangan teknologi yang terus bergerak cepat, regulasi itu perlu secara aktif merespons perubahan tersebut. Sebagai benteng, regulasi itu mungkin akan terlihat kokoh saat ini. Namun, sangat mungkin regulasi itu tak cocok lagi jika diterapkan untuk mengatur PSE Lingkup Privat pada lima tahun mendatang.
Lubang-lubang kerapuhan regulasi ini harus betul-betul dipahami oleh pemerintah atau DPR. Dua institusi ini harus aktif dan taktis memantau sejauhmana efektivitas aturan-aturan yang ada bisa diberlakukan. Mereka juga harus cepat merespons masukan masyarakat jika melihat ketidakberesan layanan yang diberikan PSE ini.
Sikap kritis publik atas keputusan Kominfo yang tetap meloloskan PSE seperti Ludo Dream, Topfun Domino Qiu Qiu, MVP Domino, Higgs Domino Island, Pop Poker dan Pop Gaple jangan dimaknai sebuah perlawanan. Kritik ini harus dipahami sebagai sebuah warning kepada Kominfo agar tidak terpaku pada hal yang sifatnya administratif atau prosedural semata.
Hingga batas akhir, setidaknya ada 288 PSE asing sebagaimana yang terdaftar di laman pse.kominfo.go.id. Adapun jumlah PSE domestik mencapai 8.721. Tak sekadar bersifat administratif, penataan ini juga dalam kerangka memberikan perlindungan atas data-data pribadi yang selama ini sering disalahgunakan, termasuk dalam hal kejahatan.
Apresiasi juga patut disampaikan karena pemerintah tampak berani lebih tegas dengan memblokir setidaknya delapan PSE yang nekat tak mendaftar hingga batas akhir pada Jumat (29/7) lalu.
Sikap tegas ini menunjukkan adanya penegakan regulasi sekaligus terwujudnya reputasi pemerintah di mata publik, termasuk kalangan global. Mengingat di antara PSE tersebut merupakan platform digital berskala internasional seperti Yahoo Search Engine, Dota, Epic Games dan lain sebagainya.
Namun begitu, kewajiban pendaftaran ini bukanlah langkah final. Ratusan PSE yang terdaftar sangat mungkin menerabas batas-batas regulasi seperti dengan penyiasatan sejumlah konten, layanan dan lain sebagainya. Kesadaran ini harus dimiliki khususnya Kominfo karena yang ditugasi untuk melakukan pengawasan di lapangan.
Kita perlu jujur mengakui bahwa kebijakan kewajiban pendaftaran PSE Lingkup Privat ini sejatinya terbilang terlambat. Lubang inilah yang menyebabkan rentetan kasus peretasan data publik seolah tak henti terjadi. Akibatnya, publik dibuat khawatir dan tak pasti karena data mereka telanjur tergadaikan atau dimiliki pihak lain. Penyelesaian atau solusi atas kasus kebocoran data publik ini pun tak pernah jelas. Inilah yang membuat publik kian di posisi sangat lemah.
Lahirnya sejumlah regulasi seperti halnya Peraturan Pemerintah No 71/2019 tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik dan Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat adalah bagian membangun benteng agar penyedia aplikasi berbagai layanan itu tidak merugikan hak-hak publik.
Namun demikian, seiring perkembangan teknologi yang terus bergerak cepat, regulasi itu perlu secara aktif merespons perubahan tersebut. Sebagai benteng, regulasi itu mungkin akan terlihat kokoh saat ini. Namun, sangat mungkin regulasi itu tak cocok lagi jika diterapkan untuk mengatur PSE Lingkup Privat pada lima tahun mendatang.
Lubang-lubang kerapuhan regulasi ini harus betul-betul dipahami oleh pemerintah atau DPR. Dua institusi ini harus aktif dan taktis memantau sejauhmana efektivitas aturan-aturan yang ada bisa diberlakukan. Mereka juga harus cepat merespons masukan masyarakat jika melihat ketidakberesan layanan yang diberikan PSE ini.
Sikap kritis publik atas keputusan Kominfo yang tetap meloloskan PSE seperti Ludo Dream, Topfun Domino Qiu Qiu, MVP Domino, Higgs Domino Island, Pop Poker dan Pop Gaple jangan dimaknai sebuah perlawanan. Kritik ini harus dipahami sebagai sebuah warning kepada Kominfo agar tidak terpaku pada hal yang sifatnya administratif atau prosedural semata.