Senja Kala Wahabi di Arab Saudi
loading...
A
A
A
Terlepas dari adanya sumber yang menolak Perpustakaan Makkatul Mukarramah sebagai lokasi kelahiran Nabi, juga seberapa jauh keahlian si kurator dalam memahami sejarah perpustakaan tersebut, saya langsung mempertanyakan spanduk dan video tron di perpustakaan yang justru memberi informasi sebaliknya. Dengan senyum ramah dan agak sedikit “malu-malu”, dia menjelaskan bahwa itu sekadar untuk mencegah orang-orang agar tidak melakukan ritual di tempat kelahiran Nabi.
Mendapatkan penjelasan seperti ini dari petugas resmi pemerintah, saya shock. Selalu ada orang-orang yang melakukan ritual berlebihan di setiap tempat yang dianggap suci, bahkan di depan Kakbah sekalipun. Sekalipun begitu, melenyapkan jejak sebuah situs sejarah penting tetap patut disayangkan.
Umat Islam telah mengambil pelajaran dari umat Nasrani yang menuhankan Nabi Isa. Apa yang mungkin akan dilakukan umat Islam terhadap sang Junjungan Rasul Muhammad? Sebagian besar mereka akan bershalawat. Terjauh, mereka akan meminta syafaat kepada Nabi, yang itu sekalipun ikhtilaf pada beberapa ulama, namun tidak akan menjerumuskan umat Islam pada menuhankan Nabi Muhammad SAW.
Sejauh pengalaman saya berkunjung ke beberapa situs penting yang masih terpelihara, saya tidak menemukan praktik syirik seperti yang begitu ditakutkan oleh kalangan Wahabi. Para pengunjung Masjid Baiah Aqabah, atau Masjid Ku’ di Thaif (lokasi di mana Rasulullah dilempari batu penduduk Thaif), atau Masjid Istiqbal Madinah (lokasi Nabi berpidato saat datang pertama kali hijrah ke Madinah), atau Majid al-Mustarah (tempat istirahat Nabi sepulang dari Perang Uhud), tidak ada orang yang melakukan ritual berlebihan.
Mereka akan melakukan ziarah antarwaktu dalam pikiran masing-masing membayangkan perjuangan Nabi. Terucap shalawat dan salam baik di bibir maupun di hatinya kepada Nabi, kemudian salat sunah.
Jika situs-situs bersejarah itu dipelihara, itu akan memberi keuntungan pada berbagai pihak. Bagi Pemerintah Arab Saudi, situs-situs ini memperkaya destinasi peziarahan bagi umat Muslim yang berkunjung ke Mekkah dan Madinah. Bagi umat Islam, hal itu akan menjadi pelajaran yang luar biasa. Para Muslim yang berziarah ke Mekkah akan memiliki kesempatan menapaktilasi perjuangan Nabi junjungannya, yang itu memberi dampak positif dalam kehidupannya.
Mengamati berbagai perkembangan saat ini, jelas bahwa Wahabisme mau tak mau dipaksa untuk menyadari bahwa konservatisme yang ekstrem bertentangan dengan hukum perubahan. Keinginan Wahabi untuk menutupi tempat kelahiran Nabi diam-diam dibongkar oleh juru bicara resmi Pemerintah. Di berbagai lokasi, Pemerintah Arab Saudi melalui kementerian Kebudayaan merawat situs-situs penting masa lalu dan memberi informasi secara resmi.
Sekalipun ziarah kubur kurang mendapat tempat di kalangan Wahabi karena dianggap bisa menggelincirkan peziarah pada praktik syirik dengan berdoa kepada si mayat atau menjadikan si mayat sebagai wasilah dalam berdoa kepada Allah, namun Pemakaman Ma’la, tempat di mana jasad Sayyidah Khadijah dibaringkan, pada jam-jam tertentu dibuka untuk umum.
Bahkan ketika Masjidilharam dianggap sebagai wilayah suaka Wahabisme Arab Saudi, siapa yang bisa membatasi berbagai ragam mazhab yang dibawa umat Muslim yang datang dari seluruh penjuru dunia. Para pengunjung Masjid Nabawi di Madinah mengantre untuk bisa masuk ke Raudlah, untuk berdoa dan memberi hormat kepada Sang Nabi kekasih hati.
Ini beberapa perkembangan di Arab Saudi. Wahabi jelas masih menjadi mazhab dominan. Namun berbagai perkembangan membuat Wahabi harus menerima kenyataan bahwa saat ini mereka hidup di milenium ketiga, bukan abad keenam Masehi di mana segalanya masih sangat sederhana. Menghentikan gerak perubahan dalam hidup, apalagi bersikeras memutar kehidupan ke masa lalu, sama dengan menyangkal kehidupan itu sendiri. Dan, itu berarti menutup sejarahnya sendiri.
Mendapatkan penjelasan seperti ini dari petugas resmi pemerintah, saya shock. Selalu ada orang-orang yang melakukan ritual berlebihan di setiap tempat yang dianggap suci, bahkan di depan Kakbah sekalipun. Sekalipun begitu, melenyapkan jejak sebuah situs sejarah penting tetap patut disayangkan.
Umat Islam telah mengambil pelajaran dari umat Nasrani yang menuhankan Nabi Isa. Apa yang mungkin akan dilakukan umat Islam terhadap sang Junjungan Rasul Muhammad? Sebagian besar mereka akan bershalawat. Terjauh, mereka akan meminta syafaat kepada Nabi, yang itu sekalipun ikhtilaf pada beberapa ulama, namun tidak akan menjerumuskan umat Islam pada menuhankan Nabi Muhammad SAW.
Sejauh pengalaman saya berkunjung ke beberapa situs penting yang masih terpelihara, saya tidak menemukan praktik syirik seperti yang begitu ditakutkan oleh kalangan Wahabi. Para pengunjung Masjid Baiah Aqabah, atau Masjid Ku’ di Thaif (lokasi di mana Rasulullah dilempari batu penduduk Thaif), atau Masjid Istiqbal Madinah (lokasi Nabi berpidato saat datang pertama kali hijrah ke Madinah), atau Majid al-Mustarah (tempat istirahat Nabi sepulang dari Perang Uhud), tidak ada orang yang melakukan ritual berlebihan.
Mereka akan melakukan ziarah antarwaktu dalam pikiran masing-masing membayangkan perjuangan Nabi. Terucap shalawat dan salam baik di bibir maupun di hatinya kepada Nabi, kemudian salat sunah.
Jika situs-situs bersejarah itu dipelihara, itu akan memberi keuntungan pada berbagai pihak. Bagi Pemerintah Arab Saudi, situs-situs ini memperkaya destinasi peziarahan bagi umat Muslim yang berkunjung ke Mekkah dan Madinah. Bagi umat Islam, hal itu akan menjadi pelajaran yang luar biasa. Para Muslim yang berziarah ke Mekkah akan memiliki kesempatan menapaktilasi perjuangan Nabi junjungannya, yang itu memberi dampak positif dalam kehidupannya.
Mengamati berbagai perkembangan saat ini, jelas bahwa Wahabisme mau tak mau dipaksa untuk menyadari bahwa konservatisme yang ekstrem bertentangan dengan hukum perubahan. Keinginan Wahabi untuk menutupi tempat kelahiran Nabi diam-diam dibongkar oleh juru bicara resmi Pemerintah. Di berbagai lokasi, Pemerintah Arab Saudi melalui kementerian Kebudayaan merawat situs-situs penting masa lalu dan memberi informasi secara resmi.
Sekalipun ziarah kubur kurang mendapat tempat di kalangan Wahabi karena dianggap bisa menggelincirkan peziarah pada praktik syirik dengan berdoa kepada si mayat atau menjadikan si mayat sebagai wasilah dalam berdoa kepada Allah, namun Pemakaman Ma’la, tempat di mana jasad Sayyidah Khadijah dibaringkan, pada jam-jam tertentu dibuka untuk umum.
Bahkan ketika Masjidilharam dianggap sebagai wilayah suaka Wahabisme Arab Saudi, siapa yang bisa membatasi berbagai ragam mazhab yang dibawa umat Muslim yang datang dari seluruh penjuru dunia. Para pengunjung Masjid Nabawi di Madinah mengantre untuk bisa masuk ke Raudlah, untuk berdoa dan memberi hormat kepada Sang Nabi kekasih hati.
Ini beberapa perkembangan di Arab Saudi. Wahabi jelas masih menjadi mazhab dominan. Namun berbagai perkembangan membuat Wahabi harus menerima kenyataan bahwa saat ini mereka hidup di milenium ketiga, bukan abad keenam Masehi di mana segalanya masih sangat sederhana. Menghentikan gerak perubahan dalam hidup, apalagi bersikeras memutar kehidupan ke masa lalu, sama dengan menyangkal kehidupan itu sendiri. Dan, itu berarti menutup sejarahnya sendiri.