Mewaspadai Kebijakan JKN KRIS
loading...
A
A
A
Soal minimnya pendapatan RSUD Kota Tangerang tersebut tidak menjadi masalah, karena hal tersebut sudah menjadi komitmen Pemerintah Kota Tangerang, yang sudah dikuatkan pula via peraturan daerah. Artinya risiko finansialnya sudah diketahui dan diantisipasi, plus telah disiapkan alokasi biaya yang cukup untuk menomboki kekurangan biaya operasional RSUD tersebut. Beda cerita apabila fenomena ini terjadi pada semua rumah sakit yang menerapkan program JKN non kelas, lalu siapa yang akan menanggung selisih dan kekurangannya?
Bahkan program JKN KRIS akan berbuntut panjang, yakni akan menciptakan clustering baru rumah sakit, yakni cluster rumah sakit bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, dan klaster rumah sakit yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan (RS swasta).
Tragisnya, cluster RS berbasis JKN dianggap “RS kelas bawah”, dan di sisi lain cluster RS non JKN dicitrakan sebagai RS dengan pelayanan yang lebih andal.
Jadi program JKN KRIS justru akan melahirkan feodalisme baru dalam pelayanan rumah sakit. Apalagi, konon program JKN KRIS merupakan “janji politik” anggota komisioner DJSN pada pihak RS swasta dan asuransi komersial, bahwa masih ada 40% stok tempat tidur di RS yang bisa digarap oleh asuransi komersial.
Jika benar demikian, program JKN KRIS ini merupakan kebijakan “tukar guling” antara DJSN dengan asuransi komersial? Inilah yang harus dikulik secara mendalam.
Dengan kata lain, jika kebijakan JKN KRIS terwujud, sangat boleh jadi ini merupakan upaya sistematis untuk menenggelamkan program JKN. Alias menenggelamkan BPJS Kesehatan, yang sejatinya kian eksis dengan performa pelayanan dan finansialnya.
Jadi klaim bahwa program JKN KRIS untuk menyelamatkan sisi finansial BPJS Kesehatan, menjadi tidak relevan. Sebab, sejak 1,5 tahun terakhir, aspek finansial BPJS Kesehatan sudah mengalami surplus.
Bahkan, Dirut BPSJ Kesehatan Ali Ghufron Mukti, menjamin hingga 2024 tidak akan ada kenaikan tarif/iuran bagi peserta program JKN. Lumayan ciamik bukan?
Dengan demikian, maka tidak ada alasan yang cukup absah bagi Kemenkes dan DJSN untuk memberlakukan kebijakan program JKN KRIS tersebut. Sebab endingnya program JKN KRIS justru berpotensi merugikan banyak pihak: merugikan konsumen, BPJS Kesehatan, bahkan dalam titik tertentu akan mengerdilkan program JKN itu sendiri.
Maka, Kemenkes dan DJSN sebaiknya tidak perlu memaksakan program JKN KRIS. Oleh karenanya, wacana kebijakan JKN KRIS seharusnya ditelaah terlebih dahulu demi kepentingan konsumen sebagai peserta JKN. Jangan sampai di kemudian hari menimbulkan berbagai anomali dan persoalan baru yang lebihcomplicated. Bagi konsumen, yang sangat mendesak adalah standardisasi pelayanan, bukan kelas standar.
Bahkan program JKN KRIS akan berbuntut panjang, yakni akan menciptakan clustering baru rumah sakit, yakni cluster rumah sakit bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, dan klaster rumah sakit yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan (RS swasta).
Tragisnya, cluster RS berbasis JKN dianggap “RS kelas bawah”, dan di sisi lain cluster RS non JKN dicitrakan sebagai RS dengan pelayanan yang lebih andal.
Jadi program JKN KRIS justru akan melahirkan feodalisme baru dalam pelayanan rumah sakit. Apalagi, konon program JKN KRIS merupakan “janji politik” anggota komisioner DJSN pada pihak RS swasta dan asuransi komersial, bahwa masih ada 40% stok tempat tidur di RS yang bisa digarap oleh asuransi komersial.
Jika benar demikian, program JKN KRIS ini merupakan kebijakan “tukar guling” antara DJSN dengan asuransi komersial? Inilah yang harus dikulik secara mendalam.
Dengan kata lain, jika kebijakan JKN KRIS terwujud, sangat boleh jadi ini merupakan upaya sistematis untuk menenggelamkan program JKN. Alias menenggelamkan BPJS Kesehatan, yang sejatinya kian eksis dengan performa pelayanan dan finansialnya.
Jadi klaim bahwa program JKN KRIS untuk menyelamatkan sisi finansial BPJS Kesehatan, menjadi tidak relevan. Sebab, sejak 1,5 tahun terakhir, aspek finansial BPJS Kesehatan sudah mengalami surplus.
Bahkan, Dirut BPSJ Kesehatan Ali Ghufron Mukti, menjamin hingga 2024 tidak akan ada kenaikan tarif/iuran bagi peserta program JKN. Lumayan ciamik bukan?
Dengan demikian, maka tidak ada alasan yang cukup absah bagi Kemenkes dan DJSN untuk memberlakukan kebijakan program JKN KRIS tersebut. Sebab endingnya program JKN KRIS justru berpotensi merugikan banyak pihak: merugikan konsumen, BPJS Kesehatan, bahkan dalam titik tertentu akan mengerdilkan program JKN itu sendiri.
Maka, Kemenkes dan DJSN sebaiknya tidak perlu memaksakan program JKN KRIS. Oleh karenanya, wacana kebijakan JKN KRIS seharusnya ditelaah terlebih dahulu demi kepentingan konsumen sebagai peserta JKN. Jangan sampai di kemudian hari menimbulkan berbagai anomali dan persoalan baru yang lebihcomplicated. Bagi konsumen, yang sangat mendesak adalah standardisasi pelayanan, bukan kelas standar.