Hukum Jangan Terus Dibuat Tumpul
loading...
A
A
A
FUNGSI hukum itu ibarat pisau yang digunakan untuk mengiris persoalan keadilan. Hukum itu harus tajam layaknya sebuah mata pisau. Jika berhadapan dengan masalah keadilan, hukum atau pisau harus bisa mengiris siapa pun.
Namun pada kenyataannya, yang teriris atau bahkan dikorbankan adalah yang lemah. Mereka yang di bawah adalah rakyat kecil, orang-orang miskin, orang-orang yang tidak paham hukum ataupun orang-orang yang tak memiliki kekuatan, jaringan, hingga uang.
Mereka inilah yang paling terkena dengan penerapan hukum, apapun persoalan keadilan yang dihadapi. Sementara para penegak hukum, pemegang "pisau", jarang yang teriris alias terkena sanksi hukum.Seandainya terkena pisau pun, para pemegang pisau ini kebanyakan hanya terkena pada bagian yang tumpul.
Banyak kasus di mana rakyat kecil yang melakukan kejahatan dengan kategori ringan seperti mencuri kayu mendapatkan hukuman berat. Sedangkan kalangan atas atau bahkan mereka yang seharusnya menegakkan hukum melakukan korupsi triliunan atau pelanggaran hukum lain hanya dihukum ringan serta masih bisa mendapat fasilitas yang nyaman di penjara.
Dua pekan ini, masyarakat disuguhi dengan hiruk pikuk pengungkapan apa yang kini disebut sebagai pembunuhan seorang bintara Polri di rumah dinas perwira tinggi.
Masyarakat disuguhi beragam isu yang simpang siur, membingungkan dan seolah terjadi sebuah rekayasa. Ambil contoh, pengungkapan dilakukan tiga hari setelah kejadian. Hal yang sangat tidak lazim untuk sebuah perkara pidana, apalagi ada korban yang kehilangan nyawa.
Kejanggalan bermula sejak polisi memberikan keterangan berbeda di awal ihwal penembakan sang bintara. Pada rilis awal disebut ada insiden baku tembak yang tak disebutkan pemantiknya. Lalu berubah menjadi sang bintara melakukan tindakan pelecehan yang kemudian berlanjut dengan adanya baku tembak.
Akal sehat masyarakat pun seolah dipermainkan karena apa yang disebut dengan aksi baku tembak itu tak terdengar oleh penghuni rumah yang berjarak tak lebih dari 50 meter dari tempat kejadian.
Kejanggalan demi kejanggalan dipertontonkan. Kamera CCTV yang sebelumnya dinyatakan rusak tersambar petir lalu disebut hilang, kini berubah menjadi ditemukan di sekitar tempat kejadian.
Tentu masyarakat semakin bertanya-tanya, mengapa kesimpangsiuran itu seolah sengaja diciptakan. Berbeda jauh apabila kejadian tersebut semisal melibatkan masyarakat biasa. Kalangan awam atau dari kaum papa. Tentu pengungkapannya tak serumit sekarang. Bahkan konstruksi kejahatannya pun akan mudah ditemukan.
Namun pada kenyataannya, yang teriris atau bahkan dikorbankan adalah yang lemah. Mereka yang di bawah adalah rakyat kecil, orang-orang miskin, orang-orang yang tidak paham hukum ataupun orang-orang yang tak memiliki kekuatan, jaringan, hingga uang.
Mereka inilah yang paling terkena dengan penerapan hukum, apapun persoalan keadilan yang dihadapi. Sementara para penegak hukum, pemegang "pisau", jarang yang teriris alias terkena sanksi hukum.Seandainya terkena pisau pun, para pemegang pisau ini kebanyakan hanya terkena pada bagian yang tumpul.
Banyak kasus di mana rakyat kecil yang melakukan kejahatan dengan kategori ringan seperti mencuri kayu mendapatkan hukuman berat. Sedangkan kalangan atas atau bahkan mereka yang seharusnya menegakkan hukum melakukan korupsi triliunan atau pelanggaran hukum lain hanya dihukum ringan serta masih bisa mendapat fasilitas yang nyaman di penjara.
Dua pekan ini, masyarakat disuguhi dengan hiruk pikuk pengungkapan apa yang kini disebut sebagai pembunuhan seorang bintara Polri di rumah dinas perwira tinggi.
Masyarakat disuguhi beragam isu yang simpang siur, membingungkan dan seolah terjadi sebuah rekayasa. Ambil contoh, pengungkapan dilakukan tiga hari setelah kejadian. Hal yang sangat tidak lazim untuk sebuah perkara pidana, apalagi ada korban yang kehilangan nyawa.
Kejanggalan bermula sejak polisi memberikan keterangan berbeda di awal ihwal penembakan sang bintara. Pada rilis awal disebut ada insiden baku tembak yang tak disebutkan pemantiknya. Lalu berubah menjadi sang bintara melakukan tindakan pelecehan yang kemudian berlanjut dengan adanya baku tembak.
Akal sehat masyarakat pun seolah dipermainkan karena apa yang disebut dengan aksi baku tembak itu tak terdengar oleh penghuni rumah yang berjarak tak lebih dari 50 meter dari tempat kejadian.
Kejanggalan demi kejanggalan dipertontonkan. Kamera CCTV yang sebelumnya dinyatakan rusak tersambar petir lalu disebut hilang, kini berubah menjadi ditemukan di sekitar tempat kejadian.
Tentu masyarakat semakin bertanya-tanya, mengapa kesimpangsiuran itu seolah sengaja diciptakan. Berbeda jauh apabila kejadian tersebut semisal melibatkan masyarakat biasa. Kalangan awam atau dari kaum papa. Tentu pengungkapannya tak serumit sekarang. Bahkan konstruksi kejahatannya pun akan mudah ditemukan.