Pengaturan dan Pengawasan Praktik Telemedisin

Kamis, 21 Juli 2022 - 16:27 WIB
loading...
Pengaturan dan Pengawasan...
Slamet Riyadi (Foto: Ist)
A A A
Slamet Riyadi
Anggota Komisi Penelitian dan Pengembangan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)

PENGGUNA internet di Indonesia kian meningkat. Peningkatan tersebut diikuti dengan masifnya penggunaan berbagai aplikasi dan layanan digital. Saat pandemi Covid-19, pelayanan medis jarak jauh (telemedisin) menjadi salah satu layanan digital yang banyak digunakan.

Hasil survei dari Katadata Insight Center yang berlangsung sejak Februari – Maret 2022 menunjukkan bahwa selama enam bulan terakhir, pengguna baru layanan telemedisin telah mencapai angka 44,1%. Layanan telemedisin terbanyak yang digunakan adalah Good Doctor, Alodokter, Halodoc, dan beberapa aplikasi lainnya. Konsumen semakin dipermudah dengan adanya layanan telemedisin ini, karena hemat waktu dan biaya perjalanan, bisa digunakan kapan dan di mana saja, serta dapat menghindari penularan Covid-19.

Layanan telemedisin sebenarnya bukan tempat praktik atau fasilitas kesehatan (faskes), tetapi hanya sarana yang menghubungkan antara faskes dengan pasien. Layanan ini juga sebenarnya bertujuan untuk menurunkan tren swamedikasi. Telemedisin dapat mempersempit kekeliruan masyarakat dalam mengonsumsi obat bebas dan obat wajib apotek yang dilakukan secara swamedikasi oleh masyarakat. Pada prinsipnya, telemedisin ini bertujuan untuk meningkatkan personal health, akses health service, serta regional dan global health security.

Masalah Telemedisin
Telemedisinmemang menawarkan berbagai kemudahan, namun di samping itu juga banyak kekhawatiran yang muncul. Pada beberapa layanan telemedisin, seringkali dokter memberikan resep obat setelah dilakukan konsultasi melalui fitur chat. Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan adanya salah diagnosis ataupun kekeliruan terapi yang dapat merugikan pasien.

Berbagai isu lainnya yang muncul pada layanan telemedisin di antaranya fenomena dokteroid (bukan dokter namun mengaku dokter), kejelasan perjanjian terapeutik/informed consent, standardisasi alat, serta isu perlindungan privasi data pasien.

Kebanyakan permasalahan yang terjadi antara dokter dan pasien pada layanan telemedisin adalah terkait masalah komunikasi. Telemedisin merupakan salah satu alternatif bagi dokter dengan pasien untuk berkomunikasi, namun sifatnya darurat. Untuk sebagian orang, pengobatan lebih baik dilakukan apabila bertemu langsung dengan dokter karena ada jalan selesainya.

Sebagai salah satu wujud perlindungan terhadap pasien, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran telah mengatur bahwa seorang dokter wajib memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP). Sesuai dengan Pasal 37 ayat (2), dokter hanya bisa praktik terbatas pada tiga lokasi saja. Tetapi, dengan adanya layanan kesehatan online, lokasi praktik dokter tidak terbatas dan bisa di mana saja.

Berkaitan dengan kontrak terapeutik mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak, layanan telemedisin hanya mengandalkan kepercayaan (trust) antara pasien dengan dokter. Pada layanan kesehatan online, tidak bisa dipastikan pihak yang nantinya bertanggung jawab ketika terjadi hal-hal yang merugikan pasien karena adanya kekeliruan diagnosis maupun kesalahan saat terapi.

Sampai saat ini, layanan kesehatan online (telemedisin) di Indonesia belum memiliki regulasi yang spesifik. Belum diatur mengenai kriteria device yang digunakan, mekanisme pemberian resep secara online, dan perlindungan pasien jika terjadi malapraktik. Kelonggaran pelaksanaan layanan telemedisin di masa Pandemi Covid-19 sebaiknya juga perlu diikuti dengan peningkatan perhatian terhadap perlindungan dan keamanan pasien.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1688 seconds (0.1#10.140)