Stagflasi Menghantui

Rabu, 20 Juli 2022 - 18:24 WIB
loading...
A A A
Di sisi pengeluaran, memberikan tekanan pada APBN 2022. Dengan target defisit APBN 4,85%, alokasi anggaran subsidi energi Rp134,02 triliun, terdiri dari subsidi jenis BBM tertentu dan LPG 3 kg sebesar Rp77,54 triliun serta subsidi listrik Rp56,47 triliun.

Meroketnya harga minyak dan gas ini akan terus memantik kenaikan harga pada bulan-bulan berikutnya. Mengonfirmasi riset Maybank dalam IHK (Indeks Harga Konsumen), bobot energi menyumbang 10–18%: Indonesia (17,5%), Filipina (14,8#), Malaysia (13,7%), dan Thailand (12%).

Merujuk data S&P Global Commodity Insights (2/2), Rusia melarang ekspor amonium nitrat (AN), bahan dasar pembuatan pupuk. Tentu, ini bakal memantik kenaikan harga pupuk. Sebanyak 15,75% pupuk impor Indonesia berasal dari Rusia. Jika hambatan amonium nitrat dan pupuk di Rusia berlangsung lama, harga pupuk subsidi akan melangit, memengaruhi biaya pertanian. Dampaknya, Nilai Tukar Petani (NTP) kembali terperosok.

Di lain sisi, konferensi Food & Agriculture Organization (FAO) di Roma, Italia, pada 10 - 11 Maret 2022, juga mengestimasi skenario jangka pendek (2022-2023), harga pangan dan pakan internasional akan meningkat 8-22%. Harga gandum naik 21,5%, jagung naik 19,5%, biji-bijian, terutama bunga matahari naik 17,9% dan berakibat naiknya minyak nabati lain sebagai substitusi.

Eskalasi ketegangan geopolitik yang diikuti dengan pengenaan sanksi pelbagai negara terhadap Rusia, telah berdampak pada defisit transaksi perdagangan, pergerakan harga komoditas dan turbulensi pasar keuangan global. Negara-negara yang kurang memiliki basis sumberdaya alam/mineral yang kuat dan tingkat ketergantungan impor pangan dunia yang tinggi akan makin kelimpungan. David Malpass, Presiden Bank Dunia (4/3/2022) pun “angkat tangan”, invasi Rusia ke Ukraina memantik perlambatan pertumbuhan ekonomi global.

Maka, dampak terburuk stagflasi adalah berkurangya lapangan kerja formal, berkonsekuensi tingkat pengangguran yang tinggi. Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) oleh BPS (Maret 2022) mencatat, jumlah pekerja yang terserap di sektor informal meningkat dibandingkan dengan kondisi pra-pandemi.

Pada Agustus 2019, pekerja informal 55,72% dari total angkatan kerja (70,49 juta orang), sedangkan pada Agustus 2021, meningkat ke 59,45% (77,91 juta orang. Tingginya angka pekerja informal itu mengirim sinyal, begitu banyaknya angkatan kerja yang bekerja mandiri, seperti, pekerja kaki lima (PKL), buruh bangunan, buruh tani, buruh nelayan, asisten rumah tangga, dan lainnya. Pekerja-pekerja informal ini adalah bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Mereka perlu pendampingan, pelatihan, dan advokasi.

Eskalasi ketidakpastian ini diperkirakan akan berlangsung lama. Terdongkraknya penerimana negara dari devisa ekspor batubara, sawit, nikel, dan lainnya, yang harganya naik signifikan akibat gejolak geopolitik, seyogianya windfall income tersebut-- diperkirakan oleh pemerintah mencapai Rp420 triliun per 30 Juni 2022, diarahkan pada program-program nyata pada pemberdayaan yang tepat sasaran, termasuk pengadaan dan perbaikan jaringan infrastruktur internet untuk mendukung kualitas pendidikan dan aksesibilitas masyarakat rentan.

Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0839 seconds (0.1#10.140)