Kekerasan pada Remaja, Sebuah Sinyal Emergency untuk Kita
loading...
A
A
A
Niken Puspita, M.Sc
Sponsorship Manager Wahana Visi Indonesia
LIBUR panjang Idul Fitri lalu menjadi masa istirahat sekaligus refleksi buat kita semua.Saya menghabiskan waktu dengan menonton film dan serial, salah satunya Juvenile Justice. Serial Korea berlatar belakang pengadilan anak ini mengingatkan saya pada pemberitaan tentang peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh remaja di Yogyakarta beberapa waktu belakangan.
Kekerasan yang terjadi mengakibatkan bukan hanya luka dan trauma, tetapi sampai kematian mengiris hati kita semua. Membayangkan keluarga yang menantikan anaknya pulang dengan membawa ijazah, justru harus menemui jenazah.
Ketika para tersangka ditangkap, usia mereka berkisar antara 14 - 20 tahun. Polres Bantul mencatat sejak Januari hingga April 2022 ada 104 pelaku kejahatan jalanan. Sementara itu di scope yang lebih besar, Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja tahun 2018 mengungkapkan bahwa lebih dari 70 persen anak mengakui kalau pelaku kekerasan adalah teman sebaya.
Kejadian semacam ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Ada 27 penembakan sekolah di Amerika Serikat selama tahun 2022. Pelakunya juga masih berusia anak atau remaja. Fakta ini sungguh menyedihkan dan membuat saya bertanya, apa yang salah dengan anak-anak kita? Sayangnya, bukan itu pertanyaan yang tepat diajukan sebenarnya. Karena ketika anak melakukan pelanggaran, maka yang pertama kali harus ditanya adalah orang tuanya. Ke mana para orang tua sampai anaknya bisa melakukan pelanggaran seserius itu?
Di dalam serial Korea berjudul Juvenile Justice saya berkali-kali diingatkan, melihat sistem peradilan pidana anak di sana yang selalu melibatkan orang tua, ini sangat menarik. Orang tua turut ditanya tentang bagaimana pola pengasuhan mereka, jika orang tua sampai tidak hadir dalam persidangan, ini akan menjadi catatan tersendiri bagi pengadilan. Orang tua juga menerima konsekuensi jika anaknya dinyatakan bersalah.
Menurut Centers for Disaster Control and Prevention (CDC), ada beberapa faktor risiko yang bisadihubungkan dengan kekerasan remaja, tetapi tidak ditemukan penyebab langsungnya. Gabungan dari faktor individu seperti sejarah kekerasan, kurang perhatian, rendahnya IQ, antisosial, keterlibatan dengan alkohol atau obat terlarang. Faktor hubungan dengan keluarga dan lingkungan, seperti kekerasan dalam keluarga, kurangnya peran pengasuhan, kurangnya monitoring, berteman dengan geng kekerasan, kurangnya aktivitas positif, rendahnya tingkat pendidikan dan sebagainya, adalah faktor-faktor yang sangat berpengaruh.
Remaja sedang berada dalam masa pencarian jati diri dan pengakuan. Ketika anak tidak mendapatkan keduanya dari lingkungan terdekat, maka sangat mungkin anak akan mencarinya di luar keluarga. Jika anak jatuh pada kelompok yang salah dan tidak mampu memberikan contoh baik, atau justru memberikan pengakuan pada saat anak melakukan pelanggaran, maka nilai ini yang akan dianutnya sepanjang masa.
Pada saat berada dalam kondisi krisis identitas, anak sangat memerlukan bimbingan. Menurut Helpguide.org, secara teori memang keluarga yang berperan paling besar di masa-masa remaja ini. Tetapi lingkungan di sekitar anak juga memiliki peran yang cukup signifikan. Menyalahkan anak ketika melakukan kesalahan, tanpa melihat gambaran besarnya adalah hal yang tidak adil bagi anak. Anak sedang belajar untuk membedakan perbuatan buruk dan baik. Anak dan remaja sedang ada dalam tahap mempelajari nilai-nilai tersebut.
Secara hormonal anak-anak juga sedang berada di dalam masa pubertas, kemampuan mengatur emosi belum berkembang dengan sempurna. Anak cenderung berubah-ubah emosinya. Pada saat seperti ini anak membutuhkan penyaluran emosi. Kegiatan berkesenian, belajar keterampilan baru, menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan positif, adalah hal-hal yang bisa orang tua arahkan menyalurkan emosi dan energi anak.
Mengatakan hal tersebut memang mudah. Sayangnya, memang kita tidak selalu memiliki privilege berada di dunia yang ideal. Bagi orang tua yang mampu, tentu mudah saja mencarikan aktivitas tersebut untuk anak-anaknya. Bagaimana dengan orang tua yang memiliki keterbatasan ekonomi, pengetahuan, dan akses terhadap fasilitas tersebut?
Disebutkan oleh CDC bahwa kemiskinan juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan anak terlibat dengan kekerasan. Yang dimaksud sesungguhnya bukan hanya kondisi miskin saja, karena kita juga percaya bahwa di lingkungan yang miskin tidak semua anak atau remajanya melakukan kekerasan.
Adalah tugas kita semua untuk tidak membawa anak-anak lebih jauh terlibat pada kekerasan, sehingga mereka menormalisasinya sebagai bagian dari gaya hidup. Anak-anak yang melakukan kekerasan sesungguhnya sedang mengirimkan sinyal emergency yang kuat pada kita para orang dewasa di sekelilingnya, bahwa ada kebutuhan anak yang belum kita penuhi.
Kita sebagai orang dewasa yang telah lulus dari masa anak dan remaja, seharusnya bisa menjadi contoh bagi anak agar dapat melalui masa perubahan itu dengan lebih baik. Tidak perlu menjadi orang tua dulu, agar bisa menjadi role model buat anak. Siapa pun kita; kakak, tetangga, guru, penyelenggara negara, selebriti, pengusaha, semua orang yang memiliki potensi memengaruhi anak harus menjadi model yang baik untuk dicontoh.
Jika kita sudah bisa memastikan semua hal tersebut telah kita lakukan dan masih ada kekerasanyang dilakukan oleh anak, maka kita baru boleh bertanya, apa yang salah dengan anak-anak kita.
Sponsorship Manager Wahana Visi Indonesia
LIBUR panjang Idul Fitri lalu menjadi masa istirahat sekaligus refleksi buat kita semua.Saya menghabiskan waktu dengan menonton film dan serial, salah satunya Juvenile Justice. Serial Korea berlatar belakang pengadilan anak ini mengingatkan saya pada pemberitaan tentang peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh remaja di Yogyakarta beberapa waktu belakangan.
Kekerasan yang terjadi mengakibatkan bukan hanya luka dan trauma, tetapi sampai kematian mengiris hati kita semua. Membayangkan keluarga yang menantikan anaknya pulang dengan membawa ijazah, justru harus menemui jenazah.
Ketika para tersangka ditangkap, usia mereka berkisar antara 14 - 20 tahun. Polres Bantul mencatat sejak Januari hingga April 2022 ada 104 pelaku kejahatan jalanan. Sementara itu di scope yang lebih besar, Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja tahun 2018 mengungkapkan bahwa lebih dari 70 persen anak mengakui kalau pelaku kekerasan adalah teman sebaya.
Kejadian semacam ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Ada 27 penembakan sekolah di Amerika Serikat selama tahun 2022. Pelakunya juga masih berusia anak atau remaja. Fakta ini sungguh menyedihkan dan membuat saya bertanya, apa yang salah dengan anak-anak kita? Sayangnya, bukan itu pertanyaan yang tepat diajukan sebenarnya. Karena ketika anak melakukan pelanggaran, maka yang pertama kali harus ditanya adalah orang tuanya. Ke mana para orang tua sampai anaknya bisa melakukan pelanggaran seserius itu?
Di dalam serial Korea berjudul Juvenile Justice saya berkali-kali diingatkan, melihat sistem peradilan pidana anak di sana yang selalu melibatkan orang tua, ini sangat menarik. Orang tua turut ditanya tentang bagaimana pola pengasuhan mereka, jika orang tua sampai tidak hadir dalam persidangan, ini akan menjadi catatan tersendiri bagi pengadilan. Orang tua juga menerima konsekuensi jika anaknya dinyatakan bersalah.
Baca Juga
Menurut Centers for Disaster Control and Prevention (CDC), ada beberapa faktor risiko yang bisadihubungkan dengan kekerasan remaja, tetapi tidak ditemukan penyebab langsungnya. Gabungan dari faktor individu seperti sejarah kekerasan, kurang perhatian, rendahnya IQ, antisosial, keterlibatan dengan alkohol atau obat terlarang. Faktor hubungan dengan keluarga dan lingkungan, seperti kekerasan dalam keluarga, kurangnya peran pengasuhan, kurangnya monitoring, berteman dengan geng kekerasan, kurangnya aktivitas positif, rendahnya tingkat pendidikan dan sebagainya, adalah faktor-faktor yang sangat berpengaruh.
Remaja sedang berada dalam masa pencarian jati diri dan pengakuan. Ketika anak tidak mendapatkan keduanya dari lingkungan terdekat, maka sangat mungkin anak akan mencarinya di luar keluarga. Jika anak jatuh pada kelompok yang salah dan tidak mampu memberikan contoh baik, atau justru memberikan pengakuan pada saat anak melakukan pelanggaran, maka nilai ini yang akan dianutnya sepanjang masa.
Pada saat berada dalam kondisi krisis identitas, anak sangat memerlukan bimbingan. Menurut Helpguide.org, secara teori memang keluarga yang berperan paling besar di masa-masa remaja ini. Tetapi lingkungan di sekitar anak juga memiliki peran yang cukup signifikan. Menyalahkan anak ketika melakukan kesalahan, tanpa melihat gambaran besarnya adalah hal yang tidak adil bagi anak. Anak sedang belajar untuk membedakan perbuatan buruk dan baik. Anak dan remaja sedang ada dalam tahap mempelajari nilai-nilai tersebut.
Secara hormonal anak-anak juga sedang berada di dalam masa pubertas, kemampuan mengatur emosi belum berkembang dengan sempurna. Anak cenderung berubah-ubah emosinya. Pada saat seperti ini anak membutuhkan penyaluran emosi. Kegiatan berkesenian, belajar keterampilan baru, menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan positif, adalah hal-hal yang bisa orang tua arahkan menyalurkan emosi dan energi anak.
Mengatakan hal tersebut memang mudah. Sayangnya, memang kita tidak selalu memiliki privilege berada di dunia yang ideal. Bagi orang tua yang mampu, tentu mudah saja mencarikan aktivitas tersebut untuk anak-anaknya. Bagaimana dengan orang tua yang memiliki keterbatasan ekonomi, pengetahuan, dan akses terhadap fasilitas tersebut?
Disebutkan oleh CDC bahwa kemiskinan juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan anak terlibat dengan kekerasan. Yang dimaksud sesungguhnya bukan hanya kondisi miskin saja, karena kita juga percaya bahwa di lingkungan yang miskin tidak semua anak atau remajanya melakukan kekerasan.
Adalah tugas kita semua untuk tidak membawa anak-anak lebih jauh terlibat pada kekerasan, sehingga mereka menormalisasinya sebagai bagian dari gaya hidup. Anak-anak yang melakukan kekerasan sesungguhnya sedang mengirimkan sinyal emergency yang kuat pada kita para orang dewasa di sekelilingnya, bahwa ada kebutuhan anak yang belum kita penuhi.
Kita sebagai orang dewasa yang telah lulus dari masa anak dan remaja, seharusnya bisa menjadi contoh bagi anak agar dapat melalui masa perubahan itu dengan lebih baik. Tidak perlu menjadi orang tua dulu, agar bisa menjadi role model buat anak. Siapa pun kita; kakak, tetangga, guru, penyelenggara negara, selebriti, pengusaha, semua orang yang memiliki potensi memengaruhi anak harus menjadi model yang baik untuk dicontoh.
Jika kita sudah bisa memastikan semua hal tersebut telah kita lakukan dan masih ada kekerasanyang dilakukan oleh anak, maka kita baru boleh bertanya, apa yang salah dengan anak-anak kita.
(zik)