Kekerasan Daring dan Luring
loading...
A
A
A
Al Makin
Rektor UIN Sunan Kalijaga
LIHATLAH media sosial kita: Twitter, YouTube, Instagram, Facebook, atau TikTok. Lihatlah komentar-komentar yang tidak setuju atau tidak suka dengan unggahan pemilik akun. Berjibun kata-kata yang sifatnya menyerang, negatif, memojokkan, melecehkan, menghina dan nada-nada yang masuk dalam kategori perundungan (bullying).
Media sosial kita sangat sensitif dan kejam tiada ampun. Berita-berita sengaja diunggah, terutama yang dianggap provokatif dan kontroversial, dengan tujuan agar menjadi viral. Ini yang dilakukan oleh sebagian influencer kita. Lalu viral itu sendiri harus dibayar dengan ketahanan menghadapi komentar negatif.
Semua kasus yang memicu kontroversi publik selalu membuahkan pro dan kontra yang miris dengan kekerasan. Kekerasan tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi dalam bentuk kata-kata.
Kebetulan karena trendnya online, maka komentar-komentar menggusarkan hati selalu kita baca. Hampir semua kebijakan, semua peraturan, semua saran, dan pendapat publik di era medsos (media sosial) ini dengan mudah dihakimi lewat medsos juga.
Sumber-sumber berita mainstream, yang utama dan dikelola secara professional dengan standar jurnalisme, mudah dikalahkan dan sehingga tidak viral. Akun pribadi yang dikelola sambil lalu, dengan kalimat-kalimat singkat, tanpa edit, tanpa pertimbangan, tanpa pemikiran, bahkan tanpa keahlian atau standar tertentu, melampui media utama. Era disrupsi sayangnya disertai dengan kekerasan secara daring.
Kekerasan daring sudah kita rasakan dan menyakitkan. Pendidikan keragaman yang masih jauh perlu digarap. Kita belum siap berbeda dan menerima perbedaan.
Para netizen belum siap menerima ada pandangan lain. Mereka belum tahan membaca perbedaan dan posisi yang berbeda. Pandangan lain berarti salah dan bisa dipersekusi secara massal lewat komentar-komentar.
Sungguh beruntung orang-orang yang offline, tampaknya. Tidak bersambung dengan media sosial seperti sebuah kemewahan. Jika kita tutup mata dan tidak mau tahu, meninggalkan dunia media sosial, kadangkala adalah sebuah ketenangan.
Kekacauan yang terjadi secara daring ternyata, cilakanya, menggambarkan dunia luring. Kekerasan yang terjadi di dunia maya, seperti cermin dunia nyata.
Rektor UIN Sunan Kalijaga
LIHATLAH media sosial kita: Twitter, YouTube, Instagram, Facebook, atau TikTok. Lihatlah komentar-komentar yang tidak setuju atau tidak suka dengan unggahan pemilik akun. Berjibun kata-kata yang sifatnya menyerang, negatif, memojokkan, melecehkan, menghina dan nada-nada yang masuk dalam kategori perundungan (bullying).
Media sosial kita sangat sensitif dan kejam tiada ampun. Berita-berita sengaja diunggah, terutama yang dianggap provokatif dan kontroversial, dengan tujuan agar menjadi viral. Ini yang dilakukan oleh sebagian influencer kita. Lalu viral itu sendiri harus dibayar dengan ketahanan menghadapi komentar negatif.
Semua kasus yang memicu kontroversi publik selalu membuahkan pro dan kontra yang miris dengan kekerasan. Kekerasan tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi dalam bentuk kata-kata.
Kebetulan karena trendnya online, maka komentar-komentar menggusarkan hati selalu kita baca. Hampir semua kebijakan, semua peraturan, semua saran, dan pendapat publik di era medsos (media sosial) ini dengan mudah dihakimi lewat medsos juga.
Sumber-sumber berita mainstream, yang utama dan dikelola secara professional dengan standar jurnalisme, mudah dikalahkan dan sehingga tidak viral. Akun pribadi yang dikelola sambil lalu, dengan kalimat-kalimat singkat, tanpa edit, tanpa pertimbangan, tanpa pemikiran, bahkan tanpa keahlian atau standar tertentu, melampui media utama. Era disrupsi sayangnya disertai dengan kekerasan secara daring.
Kekerasan daring sudah kita rasakan dan menyakitkan. Pendidikan keragaman yang masih jauh perlu digarap. Kita belum siap berbeda dan menerima perbedaan.
Para netizen belum siap menerima ada pandangan lain. Mereka belum tahan membaca perbedaan dan posisi yang berbeda. Pandangan lain berarti salah dan bisa dipersekusi secara massal lewat komentar-komentar.
Sungguh beruntung orang-orang yang offline, tampaknya. Tidak bersambung dengan media sosial seperti sebuah kemewahan. Jika kita tutup mata dan tidak mau tahu, meninggalkan dunia media sosial, kadangkala adalah sebuah ketenangan.
Kekacauan yang terjadi secara daring ternyata, cilakanya, menggambarkan dunia luring. Kekerasan yang terjadi di dunia maya, seperti cermin dunia nyata.