Kekerasan pada Remaja, Sebuah Sinyal Emergency untuk Kita
loading...
A
A
A
Secara hormonal anak-anak juga sedang berada di dalam masa pubertas, kemampuan mengatur emosi belum berkembang dengan sempurna. Anak cenderung berubah-ubah emosinya. Pada saat seperti ini anak membutuhkan penyaluran emosi. Kegiatan berkesenian, belajar keterampilan baru, menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan positif, adalah hal-hal yang bisa orang tua arahkan menyalurkan emosi dan energi anak.
Mengatakan hal tersebut memang mudah. Sayangnya, memang kita tidak selalu memiliki privilege berada di dunia yang ideal. Bagi orang tua yang mampu, tentu mudah saja mencarikan aktivitas tersebut untuk anak-anaknya. Bagaimana dengan orang tua yang memiliki keterbatasan ekonomi, pengetahuan, dan akses terhadap fasilitas tersebut?
Disebutkan oleh CDC bahwa kemiskinan juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan anak terlibat dengan kekerasan. Yang dimaksud sesungguhnya bukan hanya kondisi miskin saja, karena kita juga percaya bahwa di lingkungan yang miskin tidak semua anak atau remajanya melakukan kekerasan.
Adalah tugas kita semua untuk tidak membawa anak-anak lebih jauh terlibat pada kekerasan, sehingga mereka menormalisasinya sebagai bagian dari gaya hidup. Anak-anak yang melakukan kekerasan sesungguhnya sedang mengirimkan sinyal emergency yang kuat pada kita para orang dewasa di sekelilingnya, bahwa ada kebutuhan anak yang belum kita penuhi.
Kita sebagai orang dewasa yang telah lulus dari masa anak dan remaja, seharusnya bisa menjadi contoh bagi anak agar dapat melalui masa perubahan itu dengan lebih baik. Tidak perlu menjadi orang tua dulu, agar bisa menjadi role model buat anak. Siapa pun kita; kakak, tetangga, guru, penyelenggara negara, selebriti, pengusaha, semua orang yang memiliki potensi memengaruhi anak harus menjadi model yang baik untuk dicontoh.
Jika kita sudah bisa memastikan semua hal tersebut telah kita lakukan dan masih ada kekerasanyang dilakukan oleh anak, maka kita baru boleh bertanya, apa yang salah dengan anak-anak kita.
Mengatakan hal tersebut memang mudah. Sayangnya, memang kita tidak selalu memiliki privilege berada di dunia yang ideal. Bagi orang tua yang mampu, tentu mudah saja mencarikan aktivitas tersebut untuk anak-anaknya. Bagaimana dengan orang tua yang memiliki keterbatasan ekonomi, pengetahuan, dan akses terhadap fasilitas tersebut?
Disebutkan oleh CDC bahwa kemiskinan juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan anak terlibat dengan kekerasan. Yang dimaksud sesungguhnya bukan hanya kondisi miskin saja, karena kita juga percaya bahwa di lingkungan yang miskin tidak semua anak atau remajanya melakukan kekerasan.
Adalah tugas kita semua untuk tidak membawa anak-anak lebih jauh terlibat pada kekerasan, sehingga mereka menormalisasinya sebagai bagian dari gaya hidup. Anak-anak yang melakukan kekerasan sesungguhnya sedang mengirimkan sinyal emergency yang kuat pada kita para orang dewasa di sekelilingnya, bahwa ada kebutuhan anak yang belum kita penuhi.
Kita sebagai orang dewasa yang telah lulus dari masa anak dan remaja, seharusnya bisa menjadi contoh bagi anak agar dapat melalui masa perubahan itu dengan lebih baik. Tidak perlu menjadi orang tua dulu, agar bisa menjadi role model buat anak. Siapa pun kita; kakak, tetangga, guru, penyelenggara negara, selebriti, pengusaha, semua orang yang memiliki potensi memengaruhi anak harus menjadi model yang baik untuk dicontoh.
Jika kita sudah bisa memastikan semua hal tersebut telah kita lakukan dan masih ada kekerasanyang dilakukan oleh anak, maka kita baru boleh bertanya, apa yang salah dengan anak-anak kita.
(zik)