Tak Buat Solusi, Epidemiolog UI Kritik Cara Pemerintah Tangani Covid-19
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pakar Epidemiologi Universitas Indonesia (UI) dr Syahrizal Syarif mengkritik cara pemerintah pusat dalam penanganan Covid-19 . Menurut dia, selama ini pemerintah pusat hanya berhenti pada pembuatan regulasi tanpa memberikan solusi.
“Selama ini pusat rasanya tidak memberikan solusi apapun. Pusatkan tahunya buat regulasi, sepenuhnya Pemda buat ketentuan sendiri-sendiri protokol lengkap sampai pedoman lengkap,” katanya kepada SINDOnews, Jumat (26/6/2020).
Bahkan, kata Syahrizal, regulasi yang dibuat pemerintah pusat pun di lapangan ternyata kurang efektif untuk menekan masyarakat untuk menaati protokol kesehatan demi menahan penyebaran virus Corona tersebut. “Yang diperlukan adalah terapkan protokol kesehatan ketat dan berdenda,” tegasnya.
(Baca: Masalah Penanganan COVID-19, Drajad Wibowo: Tidak Berdasarkan Sains)
Selain itu, di wilayah RT zona merah diterapkan karantina 14 hari, lalu dilakukan tes, dan cek kesehatan berkala setiap hari. Warga tetap diwajibkan di rumah bila tidak ada kepentingan yang sangat mendesak.
”Pasti turun (angka Covid-19). Masa 70% ndak pakai masker yang ke masjid, ini kan keterlaluan? Juga pedagang di pasar. Ini semua akibat ketidaktegasan pemerintah,” tambah Syahrizal.
Hal lain yang disorotinya adalah kemampuan pemeriksaan spesimen untuk tracing kontak kasus positif Covid-19 di tengah masyarakat juga harus ditingkatkan. “Tentu kemampuan pemeriksaan spesimen harus ditingkatkan,” jelasnya.
Menurut Syahrizal, pemerintah pusat seharusnya tidak hanya mengultimatum Jawa Timur, tapi juga DKI Jakarta. Sebab di ibu kota risiko penularan lebih besar 3,9 kali dari Jawa Timur. Seperti diketahui, Jawa Timur kini menjadi provinsi dengan akumulasi angka kasus Covid-19 tertinggi di Tanah Air.
(Baca: Hampir Dua Kali DKI Jakarta, Kenaikan Covid-19 di Jawa Timur Masih Tertinggi)
Hingga 26 Juni 2020, akumulasi kasus Covid-19 di Jatim sebanyak 10.901 kasus. Angka ini melebihi DKI Jakarta sebanyak 10.793 kasus. Menurut Syahrizal, hal itu tidak bisa dilepaskan dari faktor jumlah penduduk. Dengan jumlah penduduk yang jauh lebih empat kali lebih besar ketimbang Jakarta, risiko penularan di Jawa Timur sejatinya lebih kecil.
”Kasus Covid di DKI 106 per 100.000 jumlah penduduk. Sedangkan di Jatim 26 per 100.000 jumlah penduduk,” kata Syahrizal.
Syahrizal mengatakan, pemerintah seharusnya mengambil analogi keseimbangan balon dalam penanganan Covid-19, yaitu pada aspek ekonomi dan kesehatan. Bila pemerintah melonggarkan ekonomi, maka di sisi lain aspek kesehatan harus diperketat.
“Seperti balon, keseimbangan antara kesehatan dan ekonomi. Jadi seharusnya kalau tekanan ekonomi kita kurangi, maka seperti balon ditekan di sini maka tekanan sebelah sana harus lebih tinggi. Artinya protokol kesehatan harus semakin ketat. Tidak pakai masker denda saja. Kalau dua-duanya longgar, sama saja seperti balon kempes,” ungkapnya.
“Selama ini pusat rasanya tidak memberikan solusi apapun. Pusatkan tahunya buat regulasi, sepenuhnya Pemda buat ketentuan sendiri-sendiri protokol lengkap sampai pedoman lengkap,” katanya kepada SINDOnews, Jumat (26/6/2020).
Bahkan, kata Syahrizal, regulasi yang dibuat pemerintah pusat pun di lapangan ternyata kurang efektif untuk menekan masyarakat untuk menaati protokol kesehatan demi menahan penyebaran virus Corona tersebut. “Yang diperlukan adalah terapkan protokol kesehatan ketat dan berdenda,” tegasnya.
(Baca: Masalah Penanganan COVID-19, Drajad Wibowo: Tidak Berdasarkan Sains)
Selain itu, di wilayah RT zona merah diterapkan karantina 14 hari, lalu dilakukan tes, dan cek kesehatan berkala setiap hari. Warga tetap diwajibkan di rumah bila tidak ada kepentingan yang sangat mendesak.
”Pasti turun (angka Covid-19). Masa 70% ndak pakai masker yang ke masjid, ini kan keterlaluan? Juga pedagang di pasar. Ini semua akibat ketidaktegasan pemerintah,” tambah Syahrizal.
Hal lain yang disorotinya adalah kemampuan pemeriksaan spesimen untuk tracing kontak kasus positif Covid-19 di tengah masyarakat juga harus ditingkatkan. “Tentu kemampuan pemeriksaan spesimen harus ditingkatkan,” jelasnya.
Menurut Syahrizal, pemerintah pusat seharusnya tidak hanya mengultimatum Jawa Timur, tapi juga DKI Jakarta. Sebab di ibu kota risiko penularan lebih besar 3,9 kali dari Jawa Timur. Seperti diketahui, Jawa Timur kini menjadi provinsi dengan akumulasi angka kasus Covid-19 tertinggi di Tanah Air.
(Baca: Hampir Dua Kali DKI Jakarta, Kenaikan Covid-19 di Jawa Timur Masih Tertinggi)
Hingga 26 Juni 2020, akumulasi kasus Covid-19 di Jatim sebanyak 10.901 kasus. Angka ini melebihi DKI Jakarta sebanyak 10.793 kasus. Menurut Syahrizal, hal itu tidak bisa dilepaskan dari faktor jumlah penduduk. Dengan jumlah penduduk yang jauh lebih empat kali lebih besar ketimbang Jakarta, risiko penularan di Jawa Timur sejatinya lebih kecil.
”Kasus Covid di DKI 106 per 100.000 jumlah penduduk. Sedangkan di Jatim 26 per 100.000 jumlah penduduk,” kata Syahrizal.
Syahrizal mengatakan, pemerintah seharusnya mengambil analogi keseimbangan balon dalam penanganan Covid-19, yaitu pada aspek ekonomi dan kesehatan. Bila pemerintah melonggarkan ekonomi, maka di sisi lain aspek kesehatan harus diperketat.
“Seperti balon, keseimbangan antara kesehatan dan ekonomi. Jadi seharusnya kalau tekanan ekonomi kita kurangi, maka seperti balon ditekan di sini maka tekanan sebelah sana harus lebih tinggi. Artinya protokol kesehatan harus semakin ketat. Tidak pakai masker denda saja. Kalau dua-duanya longgar, sama saja seperti balon kempes,” ungkapnya.
(muh)