Kurban: Spiritual Sosial
loading...
A
A
A
Hewan Bagian dari Aset Masyarakat
Sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama di daerah perdesaan, memiliki kecenderungan untuk lebih memilih menginvestasikan dana yang dimilikinya ke dalam bentuk sawah maupun hewan ternak dibandingkan harus berinvestasi pada deposito bank maupun pasar modal yang belum banyak mereka kenal model dan pola kerjanya. Hal ini bisa dilihat tingkat literasi keuangan nasional yang masih rendah (38%) apalagi jika dilihat pada masyarakat di perdesaan.
Hewan ternak, juga merupakan simbol kemakmuran dan kejayaan, di berbagai kelompok masyarakat, bahkan di Afrika, jazirah arab, sehingga salah satu nama surat di Alquran juga Bernama al-baqarah (sapi betina). Bagi masyarakat Indonesia di daerah, selain simbol status sosial, mereka juga yakin bahwa memelihara hewan ternak lebih menguntungkan daripada harus menyimpan uang di bank.
Hal ini sejalan, karena hewan yang diternak biasanya akan dibeli ketika masih anakan yang selanjutnya dipelihara dalam beberapa waktu untuk dikembangbiakkan dan dijual di kemudian hari yang tentunya akan berpotensi memberikan keuntungan bagi pemeliharanya.
Tiga tahun terakhir situasinya tidak begitu berpihak pada masyarakat peternak.Pertama, Indonesia dihadapkan dengan pandemi selama dua tahun. Kedua, munculnya kasus penyakit mulut dan kaki (PMK) di Indonesia sejak April 2022. Munculnya wabah PMKmembuat peternak kian terjepit. Di berbagai daerah harga ternak turun sekitar 70-80%. Ironisnya, penurunan harga tersebut bukan hanya terjadi pada sapi sakit, melainkan sapi sehat pun juga mengalami penurunan harga.
Urgensi Penanganan Terstruktur
Penyebaran wabah PMK di berbagai daerah berpotensi menekan laju produksi daging dan populasi ternak di Indonesia karena dampak yang dihasilkan cukup beragam. Mulai dari penurunan tingkat pertumbuhan sapi potong, penurunan fertilitas, hingga kematian hewan ternak.
Kondisi tersebut cukup mengkhawatirkan mengingat hasil perhitungan analisis Self Sufficiency Ratio (SSR) yang menunjukkan bahwa kemampuan produksi daging sapi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan daging sapi masyarakat Indonesia kian mengalami penurunan dari tahun 2016 sebesar 81,62% menjadi 75,17% di tahun 2020.
Selain itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat bahwa volume dan nilai impor daging sapi Indonesia mengalami kenaikan pada 2021. Nilai daging impor di 2021 bahkan yang tertinggi selama lima tahun terakhir.
Jika kebijakan impor kembali dibuka saat stok daging di dalam negeri kurang untuk memenuhi konsumsi imbas wabah PMK, nilai dan kuota daging impor di 2022 berpotensi semakin tinggi. Oleh sebab itu, bukan hal yang tak mungkin apabila tingginya potensi angka kematian hewan akibat wabah PMK dapat memicu berkurangnya ketersediaan stok daging lokal.
Selama ini, tanpa wabah PMK, kebutuhan daging di Indonesia telah memiliki angka pertumbuhan yang lebih tinggi daripada produksi yang dihasilkan.Rata-rata pertumbuhan produksi daging sapi dalam negeri sejak 2010 - 2019 hanya 1,41% per tahun, sedangkan kebutuhan daging nasional tumbuh 2,04% setiap tahun. Akibatnya, Indonesia mengalami defisit daging sapi sekitar 0,63 % setiap tahun.
Konsumen daging tidak hanya untuk kebutuhan rumah tangga, tetapi hotel, restoran, rumah sakit serta pedagang makanan berbahan pokok daging juga terancam tidak bisa mendapatkan daging yang mereka butuhkan karena populasi ternak yang sehat semakin berkurang karena wabah PMK yang saat ini terjadi.
Sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama di daerah perdesaan, memiliki kecenderungan untuk lebih memilih menginvestasikan dana yang dimilikinya ke dalam bentuk sawah maupun hewan ternak dibandingkan harus berinvestasi pada deposito bank maupun pasar modal yang belum banyak mereka kenal model dan pola kerjanya. Hal ini bisa dilihat tingkat literasi keuangan nasional yang masih rendah (38%) apalagi jika dilihat pada masyarakat di perdesaan.
Hewan ternak, juga merupakan simbol kemakmuran dan kejayaan, di berbagai kelompok masyarakat, bahkan di Afrika, jazirah arab, sehingga salah satu nama surat di Alquran juga Bernama al-baqarah (sapi betina). Bagi masyarakat Indonesia di daerah, selain simbol status sosial, mereka juga yakin bahwa memelihara hewan ternak lebih menguntungkan daripada harus menyimpan uang di bank.
Hal ini sejalan, karena hewan yang diternak biasanya akan dibeli ketika masih anakan yang selanjutnya dipelihara dalam beberapa waktu untuk dikembangbiakkan dan dijual di kemudian hari yang tentunya akan berpotensi memberikan keuntungan bagi pemeliharanya.
Tiga tahun terakhir situasinya tidak begitu berpihak pada masyarakat peternak.Pertama, Indonesia dihadapkan dengan pandemi selama dua tahun. Kedua, munculnya kasus penyakit mulut dan kaki (PMK) di Indonesia sejak April 2022. Munculnya wabah PMKmembuat peternak kian terjepit. Di berbagai daerah harga ternak turun sekitar 70-80%. Ironisnya, penurunan harga tersebut bukan hanya terjadi pada sapi sakit, melainkan sapi sehat pun juga mengalami penurunan harga.
Urgensi Penanganan Terstruktur
Penyebaran wabah PMK di berbagai daerah berpotensi menekan laju produksi daging dan populasi ternak di Indonesia karena dampak yang dihasilkan cukup beragam. Mulai dari penurunan tingkat pertumbuhan sapi potong, penurunan fertilitas, hingga kematian hewan ternak.
Kondisi tersebut cukup mengkhawatirkan mengingat hasil perhitungan analisis Self Sufficiency Ratio (SSR) yang menunjukkan bahwa kemampuan produksi daging sapi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan daging sapi masyarakat Indonesia kian mengalami penurunan dari tahun 2016 sebesar 81,62% menjadi 75,17% di tahun 2020.
Selain itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat bahwa volume dan nilai impor daging sapi Indonesia mengalami kenaikan pada 2021. Nilai daging impor di 2021 bahkan yang tertinggi selama lima tahun terakhir.
Jika kebijakan impor kembali dibuka saat stok daging di dalam negeri kurang untuk memenuhi konsumsi imbas wabah PMK, nilai dan kuota daging impor di 2022 berpotensi semakin tinggi. Oleh sebab itu, bukan hal yang tak mungkin apabila tingginya potensi angka kematian hewan akibat wabah PMK dapat memicu berkurangnya ketersediaan stok daging lokal.
Selama ini, tanpa wabah PMK, kebutuhan daging di Indonesia telah memiliki angka pertumbuhan yang lebih tinggi daripada produksi yang dihasilkan.Rata-rata pertumbuhan produksi daging sapi dalam negeri sejak 2010 - 2019 hanya 1,41% per tahun, sedangkan kebutuhan daging nasional tumbuh 2,04% setiap tahun. Akibatnya, Indonesia mengalami defisit daging sapi sekitar 0,63 % setiap tahun.
Konsumen daging tidak hanya untuk kebutuhan rumah tangga, tetapi hotel, restoran, rumah sakit serta pedagang makanan berbahan pokok daging juga terancam tidak bisa mendapatkan daging yang mereka butuhkan karena populasi ternak yang sehat semakin berkurang karena wabah PMK yang saat ini terjadi.