Buntut Kisruh di ACT, PFI Segera Bentuk Majelis Etik Filantropi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kisruh dugaan penyalahgunaan dana sosial dan kemanusiaan oleh pengelola organisasi filantropi, Aksi Cepat Tanggap (ACT) menjadi perhatian banyak pihak. Bahkan, kasus tersebut dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak buruk bagi kepercayaan masyarakat.
Karenanya, perlu adanya kode etik dan majelis etik untuk memastikan organisasi filantropi tetap menjaga integritasnya. Hal ini disampaikan oleh Ketua Pengurus Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI), Rizal Algamar.
Baca juga: Kasus ACT dan Kerawanan Altruisme
Dia melihat bahwa perkembangan filantropi yang pesat ini juga diikuti dengan munculnya beragam masalah yang baik dalam penggalangan, pengelolaan, maupun pendayagunaan bantuan sosial tersebut.
"Sebagian masalah berkaitan bisa juga terkait hukum atau kebijakan, dan sebagian lainnya juga berkaitan dengan tata kelola dan etika," jata Rizal dalam diskusi online yang bertajuk "Polemik Pengelolaan Dana Filantropi" yang digelar lembaga KedaKOPI, Sabtu (9/7/2022).
Terkait tata kelola dan etika, Rizal menjelaskan, berbagai persoalan tersebut jika tidak direspons dan diatasi, dapat berdampak negatif bagi kegiatan filantropi di Indonesia. Kepercayaan dan dukungan masyarakat dapat tergerus jarena praktik dan perilaku tidak efektif yang dilakukan oleh pelaku atau penggiat dalam filantropi.
Menurutnya, kepercayaan tersebut hanya dapat dijaga apabila para pelaku filantropi melakukan tugas-tugasnya, bukan hanya semata karena profesionalitas dan akuntabilitas, tapi juga harus wajib mencerminkan etika yang tinggi.
"Di Filantropi Indonesia pada tahun lalu, kita telah mengsahkan melalui rapat umum anggota yaitu Kode Etik Filantropi Indonesia, yang dikembangkan dengan tujuan: satu supaya meningkatkan kualitas pengelolaan organisasi filantropi, baik yang dilakukan oleh individu, komunitas, maupun lembaga-filantropi," jelasnya.
"Yang kedua, supaya dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap organisasi dan kemudian kelompok. Yang ketiga dapat melindungi masyarakat dari praktik-praktik penyalahgunaan dengan filantropi sebagai konsekuensi dan perkembangan di Indonesia nanti," tambahnya.
Rizal menceritakan, saat dirinya memimpin suatu lembaga filantropi internasional, mereka setiap tahun mewajibkan setiap organisasi filantropi untuk melakukan komitmen terhadap kode etik, bukan hanya ditingkat pimpinan tapi juga seluruh anggotanya. Ada berbagai studi kasus dari berbagai negara dan semua yang ada dalam organisasi wajib lulus dari ujian tersebut.
Karenanya, perlu adanya kode etik dan majelis etik untuk memastikan organisasi filantropi tetap menjaga integritasnya. Hal ini disampaikan oleh Ketua Pengurus Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI), Rizal Algamar.
Baca juga: Kasus ACT dan Kerawanan Altruisme
Dia melihat bahwa perkembangan filantropi yang pesat ini juga diikuti dengan munculnya beragam masalah yang baik dalam penggalangan, pengelolaan, maupun pendayagunaan bantuan sosial tersebut.
"Sebagian masalah berkaitan bisa juga terkait hukum atau kebijakan, dan sebagian lainnya juga berkaitan dengan tata kelola dan etika," jata Rizal dalam diskusi online yang bertajuk "Polemik Pengelolaan Dana Filantropi" yang digelar lembaga KedaKOPI, Sabtu (9/7/2022).
Terkait tata kelola dan etika, Rizal menjelaskan, berbagai persoalan tersebut jika tidak direspons dan diatasi, dapat berdampak negatif bagi kegiatan filantropi di Indonesia. Kepercayaan dan dukungan masyarakat dapat tergerus jarena praktik dan perilaku tidak efektif yang dilakukan oleh pelaku atau penggiat dalam filantropi.
Menurutnya, kepercayaan tersebut hanya dapat dijaga apabila para pelaku filantropi melakukan tugas-tugasnya, bukan hanya semata karena profesionalitas dan akuntabilitas, tapi juga harus wajib mencerminkan etika yang tinggi.
"Di Filantropi Indonesia pada tahun lalu, kita telah mengsahkan melalui rapat umum anggota yaitu Kode Etik Filantropi Indonesia, yang dikembangkan dengan tujuan: satu supaya meningkatkan kualitas pengelolaan organisasi filantropi, baik yang dilakukan oleh individu, komunitas, maupun lembaga-filantropi," jelasnya.
"Yang kedua, supaya dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap organisasi dan kemudian kelompok. Yang ketiga dapat melindungi masyarakat dari praktik-praktik penyalahgunaan dengan filantropi sebagai konsekuensi dan perkembangan di Indonesia nanti," tambahnya.
Rizal menceritakan, saat dirinya memimpin suatu lembaga filantropi internasional, mereka setiap tahun mewajibkan setiap organisasi filantropi untuk melakukan komitmen terhadap kode etik, bukan hanya ditingkat pimpinan tapi juga seluruh anggotanya. Ada berbagai studi kasus dari berbagai negara dan semua yang ada dalam organisasi wajib lulus dari ujian tersebut.