Kasus ACT dan Kerawanan Altruisme

Jum'at, 08 Juli 2022 - 17:24 WIB
loading...
Kasus ACT dan Kerawanan...
Wildani Hefni (Foto: Ist)
A A A
Wildani Hefni
Kepala Pusat Penelitian LP2M, Dosen Fakultas Syariah dan Pascasarjana UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember

DUGAAN penyelewengan dana umat oleh petinggi lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) menjadi perbincangan publik. Atensi perbincangan itu mengarah pada gonjang-ganjing fasilitas fantastis, gaji besar, dan segala kemewahan lainnya yang diterima oleh para petinggi ACT.

Hal yang memprihatinkan, tudingan penyelewangan dana ini diduga mengalir dalam transaksi yang berkaitan dengan aktivitas terlarang. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah menyerahkan hasil analisis transaksi keuangan kepada penegak hukum. Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri juga mendalami kemungkinan aliran dana lembaga nirlaba pengumpul dana masyarakat ini ke aktivitas terlarang yang diduga berkaitan dengan terorisme (Sindonews, 5 Juli 2022).

Pada titik ini, menjadi wajar naluri kita semua terpanggil untuk mendiskusikannya, bahkan untuk terlibat menggugatnya. Tulisan ini tidak dalam konteks menyimpulkan karena masih dalam unsur dugaan dan pemeriksaan. Tapi jika itu semua benar, sungguh sangat memalukan.

Altruisme
Dalam praktik filantropi, donasi yang dihimpun untuk kepentingan kemanusiaan itu berasal dari keinginan mendalam dan kejernihan hati para donatur untuk turut membantu meringankan beban orang lain. Aksi filantropi itu sejatinya adalah kemurahatian, kedermawanan, sumbangan sosial, yang kesemuanya berujung pada cinta kasih pada manusia.

Pada tataran teoritisnya, filantropi merupakan kerja yang sifatnya giving, services, yang dilakukan secara sukarela untuk kepentingan publik. Dalam bahasa agama, konsep filantropi kerapkali disamakan dengan konsep al-a’ta al-ijtima’i yang berarti pemberian sosial, al-takaful al-insani yang memiliki arti solidaritas kemanusiaan. Filantropi dapat dimaknai sebagai charity, yaitu cinta yang tak bersyarat (unconditional love).

Praktik filantropi ini berkaitan dengan satu sikap yang dikenal dengan altruisme, lawan dari egoisme. Keberpihakan kepada orang lain untuk membantu kepentingan publik dan mengesampingkan kepentingan pribadi, menjadi ciri dasar seseorang berjiwa altruistik. Setidakknya terdapat tiga komponen penting dalam altruisme. Pertama, mencita orang lain (loving others).

Mencintai orang lain berarti peduli pada liyan dengan maksud untuk membantu atau meringankan beban sebagai wujud tanggung jawab sosial. Kedua, membantu orang lain (helping them doing their time of need). Hal ini berarti memiliki sifat kepedulian, simpati dan empati terhadap orang lain. Sementara yang ketiga, memastikan bahwa orang lain dihargai (making sure that they are appreciated). Dalam konteks ini, altruistik dicirikan dengan kemampuan mengontrol ego untuk respek terhadap orang lain.

Kontra Produktif
Wajar jika publik geram ketika mendengar donasi umat melalui gerakan altruisme justru diselewengkan. Titik rawan itu berpangkal pada dana yang seharusnya disalurkan dalam hal kemanusiaan, justru tersendat oleh kepentingan pribadi dan gelimang kemewahan. Dari altruisme menjadi egoisme akibat ulah segelintir oknum.

Setidaknya, dua hal kontraproduktif yang sangat mencolok. Pertama, aktivitas filantropi yang bertujuan untuk membantu orang lain berbanding terbalik dengan realitas. Empati altruistik ternodai oleh dugaan kejahatan yang diindikasikan berpangkal pada sokongan aktivitas terlarang. Jika dugaan ini benar dan terbukti, maka gerakan deradikalisasi, penanggulangan terorisme, dan segala kegiatan untuk memutus mata rantai radikalisme dan terorisme, tidak akan berjalan efektif, bahkan tumpul.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1373 seconds (0.1#10.140)