Argumentasi Pembelaan Hukum Imam Nahrawi
loading...
A
A
A
Saleh, SH., MH
Kuasa Hukum Imam Nahrawi
PERHELATAN akbar event olahraga tersebesar se-Asia yaitu Asian Games 2018 dan Asian Paragames 2018 berlangsung di Jakarta dan Palembang tanggal 18 Agustus hingga 2 September 2018 menjadi sorotan dunia. Bahkan disebut-sebut sebagai yang terbaik dalam sejarah. Asian Games dibuka dengan pertunjukan kolosal sebagai bukti kepada dunia bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar dan mampu menyelenggarakan sebuah event bersekala Internasional.
Di bawah kepemimpinan Imam Nahrawi sebagai menteri Pemuda dan Olahraga, Indonesia mampu bertengger di peringkat keempat dengan memperoleh 31 emas, 24 perak, dan 43 perunggu. Capaian yang jauh di atas perhelatan Asian Games 4 tahun sebelumnya yang hanya memperoleh 4 emas, 5 perak, dan 11 perunggu dari 45 negara peserta.
Selain Asian Games, di pesta olahraga Asian Paragames yang berlangsung pada 6 Oktober-13 Oktober 2018, Indonesia juga memperoleh 37 emas, 47 perak, dan 51 perunggu. Pencapaian itu jauh lebih baik daripada tahun 2014 yang hanya memperoleh 9 emas, 11 perak, dan 18 perunggu.
Pujian untuk Indonesia pun datang tidak hanya dari negera peserta kontingen Asian Games dan Asian Paragames. Pujian juga datang dari penjuru dunia. Indonesia dinilai sukses sebagai tuan rumah Asian Games 2018 dan sekaligus mencapai prestasi olahraga terbaik dalam sejarah bangsa Indonesia.
Namun momen kemeriahan Asian Games dan Asian Paragames seakan sirna tiba-tiba sesaat setelah KPK menetapkan Imam Nahrawi sebagai tersangka yang diumumkan melalui media massa pada tanggal 18 September 2019. Pimpinan KPK Alexander Marwata mengumumkan bahwa Imam Nahrawi diduga melakukan tindak pidana korupsi Rp26,500 miliar.
Rinciannya Imam Nahrawi diduga telah menerima suap Rp11,800 miliar terkait pencairan Wasping I tahun 2018 dan Wasping II KONI tahun 2018. Selain itu Imam Nahrawi diduga menerima gratifikasi uang sebesar Rp14,700 miliar dalam periode 2016-2018 selama menjadi menteri Pemuda dan Olahraga.
Dugaan penerimaan Rp26,500 miliar ini diperkuat dengan jawaban KPK yang dibacakan pada 5 November 2019 atas pengajuan praperadilan yang diajukan Imam Nahrawi pada 8 Oktober 2019. KPK dalam jawaban praperadilan tidak memasukkan adanya dugaan penerimaan gratifikasi tambahan operasional perjalanan dinas menteri tahun 2015-2016 sebesar Rp4,948 miliar dan tidak memasukan penerimaan gratifikasi sebesar Rp2 miliar dari Lina Nurhasanah.
Walaupun duduk di kursi pesakitan, kesuksesan Imam Nahrawi yang membawa harum nama bangsa Indonesia tetap mendapat apresiasi dari jaksa penuntut umum (JPU) KPK. Namun hanya demi menyatakan bersalah, JPU juga mengajukan pertimbangan hal–hal yang memberatkan.
Melihat perjalanan dugaan tindak pidana korupsi yang dituduhkan kepada Imam Nahrawi dari awal ditetapkannya sebagai tersangka sampai dengan dibacakannya dakwaan, di persidangan JPU sangat tidak konsisten dalam hal menentukan jumlah besaran penerimaan suap dan gratifikasi yang selalu berubah-ubah. Indikasi ketidakkonsistenan itu di antaranya pada saat awal proses penyidikan diumumkan melalui media massa sebesar Rp26,500 miliar.
Dalam dakwaan JPU yang dibacakan pada 7 Februari 2020, tiba-tiba dugaan besaran penerimaan suap dan gratifikasi terhadap Imam Nahrawi berubah menjadi Rp20,148 miliar. Dengan demikian terdapat selisih Rp6,351 miliar dari tuduhan awal saat penetapan Imam Nahrawi sebabagai tersangka.
Lantas, mengapa JPU tidak yakin dalam menentukan dugaan penerimaan suap dan gratifikasi yang ditetapkan pada saat penyidikan oleh penyidik?
Sejak digelarnya persidangan dengan agenda pembuktian yang dimulai pada 14 Februari 2020-8 Juni 2020, 30 saksi yang dihadirkan JPU hanya mendasarkan pada rumor, bukan apa yang dilihat, didengar, dan dialami sendiri. Tidak ada satu pun saksi di persidangan yang menyatakan memberikan uang langsung kepada Imam Nahrawi dan saksi yang dihadirkan hanya bersifat testimonium de auditu.
Di sisi lain, Imam Nahrawi mampu menghadirkan 142 bukti surat, 4 orang A de Charge atau saksi meringankan, dan 1 orang ahli hukum pidana yang mampu mematahkan dakwaan JPU. Bahwa Imam Nahrawi tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam persidangan, Imam Nahrawi secara tegas meminta kepada JPU untuk melakukan konfrontir antara Miftahul Ulum dengan Sekjen KONI Pusat Ending F Hamidy, Bendahara KONI Pusat Johny E Awuy, dan PNS Kemenpora Lina Nurhasanah. Namun lagi-lagi JPU tidak mengindahkan permintaan Imam Nahrawi.
Hal tersebut semakin meyakinkan akan adanya irama nada-nada sumbang yang dipaksakan merdu guna memuluskan Imam Nahwari, mempora berprestasi masuk ke dalam dinginnya jeruji besi. Dengan tidak terungkapnya fakta-fakta sebenarnya ke mana sebenarnya aliran dana KONI Pusat Rp11,500 miliar itu kalau bukan ke Imam Nahrawi?
Semua saksi-saksi dari pihak KONI Pusat maupun Kemenpora di dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) mengatakan adanya aliran dana ke oknum penegak hukum untuk menutupi perkara KONI Pusat yang sedang ditangani oleh institusi penegak hukum. Namun tiba-tiba di persidangan suara itu perlahan hilang dan memudar dengan dalih adanya pembayaran oleh KONI Pusat di Inspektorat Kemenpora untuk menutupi Laporan Pertanggungjawabannya.
Imam Nahrawi dianggap melakukan tindak pidana korupsi. Padahal sudah jelas di dalam fakta persidangan Imam Nahrawi tidak terbukti melakukan segala perbuatan sebagaimana dalam surat dakwaan dan tuntutan JPU. Sangat menyedihkan jika seseorang yang datang dengan niat suci dan ikhlas untuk membangun prestasi olahraga nasional kemudian dijerumuskan oleh orang-orang yang dipercayainya.
Haruskah Imam Nahrawi dikubur dalam kesendirian, kesunyian, dan penuh tekanan batin di balik tembok prodeo bersama kematian sang dewi keadilan? Sangat miris jika ini dibiarkan terjadi.
Oleh karena Imam Nahrawi tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan demikian harusnya ia dinyatakan bebas dari seluruh dakwaan.
Di balik semua itu, Imam Nahrawi hanya berharap kepada majelis hakim untuk dapat mengabulkan permohonan sebagai justice collaborator untuk mengungkap ke mana aliran dana tersebut. Imam juga memohon kepada majelis hakim untuk memutus perkara secara arif dan bijaksana tanpa terpengaruh opini-opini yang berkembang di luar persidangan. Hanya di tangan majelis hakim, Imam Nahrawi mendapatkan keadilan di dunia.
Kuasa Hukum Imam Nahrawi
PERHELATAN akbar event olahraga tersebesar se-Asia yaitu Asian Games 2018 dan Asian Paragames 2018 berlangsung di Jakarta dan Palembang tanggal 18 Agustus hingga 2 September 2018 menjadi sorotan dunia. Bahkan disebut-sebut sebagai yang terbaik dalam sejarah. Asian Games dibuka dengan pertunjukan kolosal sebagai bukti kepada dunia bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar dan mampu menyelenggarakan sebuah event bersekala Internasional.
Di bawah kepemimpinan Imam Nahrawi sebagai menteri Pemuda dan Olahraga, Indonesia mampu bertengger di peringkat keempat dengan memperoleh 31 emas, 24 perak, dan 43 perunggu. Capaian yang jauh di atas perhelatan Asian Games 4 tahun sebelumnya yang hanya memperoleh 4 emas, 5 perak, dan 11 perunggu dari 45 negara peserta.
Selain Asian Games, di pesta olahraga Asian Paragames yang berlangsung pada 6 Oktober-13 Oktober 2018, Indonesia juga memperoleh 37 emas, 47 perak, dan 51 perunggu. Pencapaian itu jauh lebih baik daripada tahun 2014 yang hanya memperoleh 9 emas, 11 perak, dan 18 perunggu.
Pujian untuk Indonesia pun datang tidak hanya dari negera peserta kontingen Asian Games dan Asian Paragames. Pujian juga datang dari penjuru dunia. Indonesia dinilai sukses sebagai tuan rumah Asian Games 2018 dan sekaligus mencapai prestasi olahraga terbaik dalam sejarah bangsa Indonesia.
Namun momen kemeriahan Asian Games dan Asian Paragames seakan sirna tiba-tiba sesaat setelah KPK menetapkan Imam Nahrawi sebagai tersangka yang diumumkan melalui media massa pada tanggal 18 September 2019. Pimpinan KPK Alexander Marwata mengumumkan bahwa Imam Nahrawi diduga melakukan tindak pidana korupsi Rp26,500 miliar.
Rinciannya Imam Nahrawi diduga telah menerima suap Rp11,800 miliar terkait pencairan Wasping I tahun 2018 dan Wasping II KONI tahun 2018. Selain itu Imam Nahrawi diduga menerima gratifikasi uang sebesar Rp14,700 miliar dalam periode 2016-2018 selama menjadi menteri Pemuda dan Olahraga.
Dugaan penerimaan Rp26,500 miliar ini diperkuat dengan jawaban KPK yang dibacakan pada 5 November 2019 atas pengajuan praperadilan yang diajukan Imam Nahrawi pada 8 Oktober 2019. KPK dalam jawaban praperadilan tidak memasukkan adanya dugaan penerimaan gratifikasi tambahan operasional perjalanan dinas menteri tahun 2015-2016 sebesar Rp4,948 miliar dan tidak memasukan penerimaan gratifikasi sebesar Rp2 miliar dari Lina Nurhasanah.
Walaupun duduk di kursi pesakitan, kesuksesan Imam Nahrawi yang membawa harum nama bangsa Indonesia tetap mendapat apresiasi dari jaksa penuntut umum (JPU) KPK. Namun hanya demi menyatakan bersalah, JPU juga mengajukan pertimbangan hal–hal yang memberatkan.
Melihat perjalanan dugaan tindak pidana korupsi yang dituduhkan kepada Imam Nahrawi dari awal ditetapkannya sebagai tersangka sampai dengan dibacakannya dakwaan, di persidangan JPU sangat tidak konsisten dalam hal menentukan jumlah besaran penerimaan suap dan gratifikasi yang selalu berubah-ubah. Indikasi ketidakkonsistenan itu di antaranya pada saat awal proses penyidikan diumumkan melalui media massa sebesar Rp26,500 miliar.
Dalam dakwaan JPU yang dibacakan pada 7 Februari 2020, tiba-tiba dugaan besaran penerimaan suap dan gratifikasi terhadap Imam Nahrawi berubah menjadi Rp20,148 miliar. Dengan demikian terdapat selisih Rp6,351 miliar dari tuduhan awal saat penetapan Imam Nahrawi sebabagai tersangka.
Lantas, mengapa JPU tidak yakin dalam menentukan dugaan penerimaan suap dan gratifikasi yang ditetapkan pada saat penyidikan oleh penyidik?
Sejak digelarnya persidangan dengan agenda pembuktian yang dimulai pada 14 Februari 2020-8 Juni 2020, 30 saksi yang dihadirkan JPU hanya mendasarkan pada rumor, bukan apa yang dilihat, didengar, dan dialami sendiri. Tidak ada satu pun saksi di persidangan yang menyatakan memberikan uang langsung kepada Imam Nahrawi dan saksi yang dihadirkan hanya bersifat testimonium de auditu.
Di sisi lain, Imam Nahrawi mampu menghadirkan 142 bukti surat, 4 orang A de Charge atau saksi meringankan, dan 1 orang ahli hukum pidana yang mampu mematahkan dakwaan JPU. Bahwa Imam Nahrawi tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam persidangan, Imam Nahrawi secara tegas meminta kepada JPU untuk melakukan konfrontir antara Miftahul Ulum dengan Sekjen KONI Pusat Ending F Hamidy, Bendahara KONI Pusat Johny E Awuy, dan PNS Kemenpora Lina Nurhasanah. Namun lagi-lagi JPU tidak mengindahkan permintaan Imam Nahrawi.
Hal tersebut semakin meyakinkan akan adanya irama nada-nada sumbang yang dipaksakan merdu guna memuluskan Imam Nahwari, mempora berprestasi masuk ke dalam dinginnya jeruji besi. Dengan tidak terungkapnya fakta-fakta sebenarnya ke mana sebenarnya aliran dana KONI Pusat Rp11,500 miliar itu kalau bukan ke Imam Nahrawi?
Semua saksi-saksi dari pihak KONI Pusat maupun Kemenpora di dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) mengatakan adanya aliran dana ke oknum penegak hukum untuk menutupi perkara KONI Pusat yang sedang ditangani oleh institusi penegak hukum. Namun tiba-tiba di persidangan suara itu perlahan hilang dan memudar dengan dalih adanya pembayaran oleh KONI Pusat di Inspektorat Kemenpora untuk menutupi Laporan Pertanggungjawabannya.
Imam Nahrawi dianggap melakukan tindak pidana korupsi. Padahal sudah jelas di dalam fakta persidangan Imam Nahrawi tidak terbukti melakukan segala perbuatan sebagaimana dalam surat dakwaan dan tuntutan JPU. Sangat menyedihkan jika seseorang yang datang dengan niat suci dan ikhlas untuk membangun prestasi olahraga nasional kemudian dijerumuskan oleh orang-orang yang dipercayainya.
Haruskah Imam Nahrawi dikubur dalam kesendirian, kesunyian, dan penuh tekanan batin di balik tembok prodeo bersama kematian sang dewi keadilan? Sangat miris jika ini dibiarkan terjadi.
Oleh karena Imam Nahrawi tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan demikian harusnya ia dinyatakan bebas dari seluruh dakwaan.
Di balik semua itu, Imam Nahrawi hanya berharap kepada majelis hakim untuk dapat mengabulkan permohonan sebagai justice collaborator untuk mengungkap ke mana aliran dana tersebut. Imam juga memohon kepada majelis hakim untuk memutus perkara secara arif dan bijaksana tanpa terpengaruh opini-opini yang berkembang di luar persidangan. Hanya di tangan majelis hakim, Imam Nahrawi mendapatkan keadilan di dunia.
(poe)