Legalisasi Ganja Harus Hati-Hati
loading...
A
A
A
ISU pemanfaatan ganja untuk pengobatan kian mengemuka. Pemerintah melalui pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin bahkan kian memberi ruang adanya legalisasi pemanfaatan ganja ini secara terbatas, nyakni khusus untuk medis atau riset.
Agar legalisasi ganja kian kuat, Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin pun mendorong Majelis Ulama Indonesia (MUI) melakukan kajian secara matang. Harapannya tentu dari perspektif keagamaan ada dasar hukum yang makin kokoh.
Sebenarnya perlunya ganja dilegalkan demi membantu kebutuhan medis merupakan wacana lama. Termasuk bagi MUI dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sendiri, sangat mungkin jauh-jauh hari sudah mendiskusikan berulangkali dalam rangka merespons isu ganja ini.
Tentu hal yang wajar pula banyak pro dan kontra di dalamnya. Dalam bingkai hukum, setiap regulasi sejatinya hasil kompromi atas situasi dan kondisi yang ada di tengah masyarakat. Kompromi itu juga muara dari pembahasan mendalam baik dari kalangan sarjana maupun, legislatif, yudikatif dan pihak terkait lainnya.
Dengan dasar pemahaman inilah, kita semua setidaknya diajak lebih berhati-hati sekaligus bijak dalam merespons rencana legalisasi ganja untuk kebutuhan medis ini. Hati-hati bisa dimaknai dengan menyiapkan dasar pemikiran yang komprehensif, baik dilihat dari kebutuhan medis, perspektif keagamaan, sosial, hukum dalam lain sebagainya. Di sisi lain, publik juga saatnya bijak dengan mengedepankan sisi rasional dan faktual.
Dunia terus berkembang. Demikian pula penyakit juga kian bermunculan baik jenis dan variannya. Kecepatan dan ketepatan merespons perubahan zaman adalah sebuah keniscayaan. Ini semua dipahami menjaga keselamatan jiwa bersama dan terbangunnya peradaban dunia yang semakin mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.
Meski demikian, ganja yang jelas sudah ditetapkan sebagai obat-obat terlarang di Indonesia tidak mudah berubah menjadi legal begitu saja. Merujuk Undang-Undang Nomor 35/2009 tentang Narkotika, ganja hingga saat ini masih ditetapkan sebagai narkotika alami golongan 1 yang dilarang penggunaan maupun peredarannya. Merujuk ketentuan golongan 1 itu, ganja hanya boleh dimanfaatkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dari sini jelas, ganja memang begitu ketat dan tak boleh sembarangan dimanfaatkan di Indonesia.
Memang jika berkaca ke sejumlah negara, tak sekadar untuk kebutuhan medis, ganja bahkan sudah bisa dikonsumsi secara lebih luas untuk khalayak. Ini seperti fenomena di Kanada, Republik Ceko, Argentina dan Uruguay. Bahkan terakhir di Thailand, sejak 9 Juni 2022 lalu, negara tetangga Indonesia ini secara terang-terangan melegalkan ganja. Thailand memproyeksikan akan banyak mereguk keuntungan besar sekitar USD400 juta per tahun dari pembebasan ganja guna mendukung sektor hiburan dan pariwisatanya ini.
Bagi Indonesia, tentu menjadikan pelegalan ganja sebagai sumber pendapatan negara bukanlah pilihan tepat. Pelegalan ganja harus diposisikan sebagai sarana menyelamatkan jiwa manusia agar lebih sehat, kuat dan berkualitas. Dari sisi medis, ganja telah banyak terbukti menjadi pengobatan untuk sejumlah penyakit seperti epilepsi atau kejang, HIV/AIDS, alzheimer atau glaukoma. Bahkan munculnya wacana kuat pelegalan ganja di Indonesia saat ini juga akibat dipicu aksi simpatik orang tua penderita cerebral palsy di Jakarta baru-baru ini.
Bagi para sejumlah penderita sakit di atas, sangat mungkin kehadiran ganja yang di dalamnya mengandung tetrahidrokanabinol dan kanabidiol akan memacu sel-sel tubuh makin bereaksi positif. Bahkan jika digunakan secara kontinu dan teratur, zat dari ganja atau mariyuana ini akan mampu menyembuhkan pasien.
Dengan dasar-dasar di atas, sangat mungkin regulasi tentang ganja di Indonesia diperbaiki. Sebab ada kebutuhan yang lebih penting dan luas, khususnya pada sisi medis. Artinya, penggunaan ganja tak lagi sebatas untuk pengembangan teknologi atau sekadar riset.
Namun jika ruang pelonggaran pemanfaatan ini dilakukan, pada saat yang sama, ruang pengetatan juga tak boleh ditanggalkan. Kesadaran ini harus dikuatkan karena di setiap kebijakan baru selalu ada pihak-pihak yang berupaya memanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Mereka mencari celah baik dari sisi regulasi, yuridiksi dan lain sebagainya.
Maka jika benar ganja untuk kebutuhan medis ini menjadi legal, maka pengawasan di lapangan menuntut kerja-kerja yang makin ektraketat.
Kebijakan-kebijakan dari pemerintah yang dalam praktiknya disalahgunakan baik aparat atau masyarakat selama ini harus jadi pelajaran berharga. Jangan sampai niat mulia kita menyelamatkan satu korban, malah memicu jatuhnya banyak korban.
Baca Juga: koran-sindo.com
Agar legalisasi ganja kian kuat, Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin pun mendorong Majelis Ulama Indonesia (MUI) melakukan kajian secara matang. Harapannya tentu dari perspektif keagamaan ada dasar hukum yang makin kokoh.
Sebenarnya perlunya ganja dilegalkan demi membantu kebutuhan medis merupakan wacana lama. Termasuk bagi MUI dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sendiri, sangat mungkin jauh-jauh hari sudah mendiskusikan berulangkali dalam rangka merespons isu ganja ini.
Tentu hal yang wajar pula banyak pro dan kontra di dalamnya. Dalam bingkai hukum, setiap regulasi sejatinya hasil kompromi atas situasi dan kondisi yang ada di tengah masyarakat. Kompromi itu juga muara dari pembahasan mendalam baik dari kalangan sarjana maupun, legislatif, yudikatif dan pihak terkait lainnya.
Dengan dasar pemahaman inilah, kita semua setidaknya diajak lebih berhati-hati sekaligus bijak dalam merespons rencana legalisasi ganja untuk kebutuhan medis ini. Hati-hati bisa dimaknai dengan menyiapkan dasar pemikiran yang komprehensif, baik dilihat dari kebutuhan medis, perspektif keagamaan, sosial, hukum dalam lain sebagainya. Di sisi lain, publik juga saatnya bijak dengan mengedepankan sisi rasional dan faktual.
Dunia terus berkembang. Demikian pula penyakit juga kian bermunculan baik jenis dan variannya. Kecepatan dan ketepatan merespons perubahan zaman adalah sebuah keniscayaan. Ini semua dipahami menjaga keselamatan jiwa bersama dan terbangunnya peradaban dunia yang semakin mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.
Meski demikian, ganja yang jelas sudah ditetapkan sebagai obat-obat terlarang di Indonesia tidak mudah berubah menjadi legal begitu saja. Merujuk Undang-Undang Nomor 35/2009 tentang Narkotika, ganja hingga saat ini masih ditetapkan sebagai narkotika alami golongan 1 yang dilarang penggunaan maupun peredarannya. Merujuk ketentuan golongan 1 itu, ganja hanya boleh dimanfaatkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dari sini jelas, ganja memang begitu ketat dan tak boleh sembarangan dimanfaatkan di Indonesia.
Memang jika berkaca ke sejumlah negara, tak sekadar untuk kebutuhan medis, ganja bahkan sudah bisa dikonsumsi secara lebih luas untuk khalayak. Ini seperti fenomena di Kanada, Republik Ceko, Argentina dan Uruguay. Bahkan terakhir di Thailand, sejak 9 Juni 2022 lalu, negara tetangga Indonesia ini secara terang-terangan melegalkan ganja. Thailand memproyeksikan akan banyak mereguk keuntungan besar sekitar USD400 juta per tahun dari pembebasan ganja guna mendukung sektor hiburan dan pariwisatanya ini.
Bagi Indonesia, tentu menjadikan pelegalan ganja sebagai sumber pendapatan negara bukanlah pilihan tepat. Pelegalan ganja harus diposisikan sebagai sarana menyelamatkan jiwa manusia agar lebih sehat, kuat dan berkualitas. Dari sisi medis, ganja telah banyak terbukti menjadi pengobatan untuk sejumlah penyakit seperti epilepsi atau kejang, HIV/AIDS, alzheimer atau glaukoma. Bahkan munculnya wacana kuat pelegalan ganja di Indonesia saat ini juga akibat dipicu aksi simpatik orang tua penderita cerebral palsy di Jakarta baru-baru ini.
Bagi para sejumlah penderita sakit di atas, sangat mungkin kehadiran ganja yang di dalamnya mengandung tetrahidrokanabinol dan kanabidiol akan memacu sel-sel tubuh makin bereaksi positif. Bahkan jika digunakan secara kontinu dan teratur, zat dari ganja atau mariyuana ini akan mampu menyembuhkan pasien.
Dengan dasar-dasar di atas, sangat mungkin regulasi tentang ganja di Indonesia diperbaiki. Sebab ada kebutuhan yang lebih penting dan luas, khususnya pada sisi medis. Artinya, penggunaan ganja tak lagi sebatas untuk pengembangan teknologi atau sekadar riset.
Namun jika ruang pelonggaran pemanfaatan ini dilakukan, pada saat yang sama, ruang pengetatan juga tak boleh ditanggalkan. Kesadaran ini harus dikuatkan karena di setiap kebijakan baru selalu ada pihak-pihak yang berupaya memanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Mereka mencari celah baik dari sisi regulasi, yuridiksi dan lain sebagainya.
Maka jika benar ganja untuk kebutuhan medis ini menjadi legal, maka pengawasan di lapangan menuntut kerja-kerja yang makin ektraketat.
Kebijakan-kebijakan dari pemerintah yang dalam praktiknya disalahgunakan baik aparat atau masyarakat selama ini harus jadi pelajaran berharga. Jangan sampai niat mulia kita menyelamatkan satu korban, malah memicu jatuhnya banyak korban.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)