Fadli Zon Sebut Politik Identitas Bukan Ancaman Demokrasi
loading...
A
A
A
Pertama, pada dasarnya identitas tidak dapat dipisahkan dari politik. Bahkan semua yang berkaitan dengan politik sebenarnya selalu terkait dengan identitas, baik itu agama, ideologi, ras, dan kelas. Pemilihan kepala daerah misalnya, seringkali mempertimbangkan asal daerah, kadang latar belakang agama, bahkan ras.
Fadli Zon menjelaskan, menurut para ahli filsafat politik, seperti Charles Taylor atau Amy Gutmann, politik identitas adalah sesuatu tak bisa dipisahkan dari perjuangan politik demokrasi. Semua manusia pasti memiliki identitas, dan identitas itulah yang mereka perjuangkan dalam proses demokrasi.
"Itu sebabnya, Amy Gutman, dalam bukunya Identity in Democracy (2003), jelas menulis bahwa penggunaan identitas dalam politik adalah sah. Identitas dalam demokrasi, apalagi di tengah masyarakat yang majemuk, merupakan bentuk agregasi sosial yang merefleksikan kepentingan masyarakat itu sendiri," katanya.
Kedua, Fadli Zon berpendapat bahwa ancaman keterbelahan di Indonesia bukanlah politik identitas, melainkan kesenjangan ekonomi yang mengganggu rasa keadilan sosial. Inilah yang dipotret oleh Norris dan Inglehart ketika menelusuri penyebab utama lahirnya populisme. Keduanya sepakat bahwa populisme akan selalu terkait dengan kesenjangan ekonomi dan benturan kebudayaan.
Dalam konteks Indonesia, kata Fadli Zon, gesekan antarkelompok di tengah hajatan politik bukanlah berangkat dari tergerusnya komitmen masyarakat terhadap persatuan, tapi lebih karena dipancing oleh meningkatnya ketidakadilan sosial, politik, hukum dan ekonomi. Inilah yang menjadi faktor utama keterbelahan politik belakangan ini.
"Jika pemerintah taat kepada prinsip good governance, clean governance, hukum ditegakkan secara adil, peraturan perundangan disusun dengan melibatkan masyarakat, kebijakan publik tidak mencederai rasa keadilan masyarakat, saya kira tidak akan muncul gesekan berarti," katanya.
Di samping itu, gesekan juga terjadi karena lemahnya pemimpin. Pemimpin kita tak pernah sabdo pandito ratu, ucapannya tidak menyatu dengan perbuatannya, sehingga menimbulkan public distrust atau ketidakpercayaan publik.
Fadli Zon melihat wacana politik identitas telah dikampanyekan sedemikian rupa, seolah otomatis negatif, sebagai upaya menekan kelompok politik tertentu. Apalagi, selama ini isu politik identitas memang dinilai menurut standar ganda dalam dunia politik Indonesia.
"Pada 2019, ketika Presiden Joko Widodo jelas-jelas memilih seorang kiai sebagai calon wakil presidennya, kenapa tak ada yang melihat strategi politik itu sebagai politik-identitas, misalnya?" katanya.
Karena itu, Fadli Zon meminta kepada semua pihak jangan gegabah dan harus hati-hati dalam mendudukkan apa yang dimaksud dengan politik-identitas. Tanpa argumentasi akademis dan hukum yang memadai, lontaran terkait politik identitas bisa mencederai proses demokrasi Pemilu 2024.
Fadli Zon menjelaskan, menurut para ahli filsafat politik, seperti Charles Taylor atau Amy Gutmann, politik identitas adalah sesuatu tak bisa dipisahkan dari perjuangan politik demokrasi. Semua manusia pasti memiliki identitas, dan identitas itulah yang mereka perjuangkan dalam proses demokrasi.
"Itu sebabnya, Amy Gutman, dalam bukunya Identity in Democracy (2003), jelas menulis bahwa penggunaan identitas dalam politik adalah sah. Identitas dalam demokrasi, apalagi di tengah masyarakat yang majemuk, merupakan bentuk agregasi sosial yang merefleksikan kepentingan masyarakat itu sendiri," katanya.
Kedua, Fadli Zon berpendapat bahwa ancaman keterbelahan di Indonesia bukanlah politik identitas, melainkan kesenjangan ekonomi yang mengganggu rasa keadilan sosial. Inilah yang dipotret oleh Norris dan Inglehart ketika menelusuri penyebab utama lahirnya populisme. Keduanya sepakat bahwa populisme akan selalu terkait dengan kesenjangan ekonomi dan benturan kebudayaan.
Dalam konteks Indonesia, kata Fadli Zon, gesekan antarkelompok di tengah hajatan politik bukanlah berangkat dari tergerusnya komitmen masyarakat terhadap persatuan, tapi lebih karena dipancing oleh meningkatnya ketidakadilan sosial, politik, hukum dan ekonomi. Inilah yang menjadi faktor utama keterbelahan politik belakangan ini.
"Jika pemerintah taat kepada prinsip good governance, clean governance, hukum ditegakkan secara adil, peraturan perundangan disusun dengan melibatkan masyarakat, kebijakan publik tidak mencederai rasa keadilan masyarakat, saya kira tidak akan muncul gesekan berarti," katanya.
Di samping itu, gesekan juga terjadi karena lemahnya pemimpin. Pemimpin kita tak pernah sabdo pandito ratu, ucapannya tidak menyatu dengan perbuatannya, sehingga menimbulkan public distrust atau ketidakpercayaan publik.
Fadli Zon melihat wacana politik identitas telah dikampanyekan sedemikian rupa, seolah otomatis negatif, sebagai upaya menekan kelompok politik tertentu. Apalagi, selama ini isu politik identitas memang dinilai menurut standar ganda dalam dunia politik Indonesia.
"Pada 2019, ketika Presiden Joko Widodo jelas-jelas memilih seorang kiai sebagai calon wakil presidennya, kenapa tak ada yang melihat strategi politik itu sebagai politik-identitas, misalnya?" katanya.
Karena itu, Fadli Zon meminta kepada semua pihak jangan gegabah dan harus hati-hati dalam mendudukkan apa yang dimaksud dengan politik-identitas. Tanpa argumentasi akademis dan hukum yang memadai, lontaran terkait politik identitas bisa mencederai proses demokrasi Pemilu 2024.