Pekerjaan Menumpuk Menteri Agraria
loading...
A
A
A
Program reforma agraria bahkan bukannya menguatkan status ulayat masyarakat adat, sebaliknya mengurangi atau bahkan membuat eksistensi ulayat menjadi hilang. Jadi, bukan hanya konflik yang gagal dipadamkan, tapi juga menyebabkan masyarakat adat kehilangan tanah ulayat mereka—sudah terjatuh lalu tertimpa tangga. Dengan demikian, harus disadari bahwa tidak semua tanah yang menjadi objek konflik dalam kasus pertanahan dapat diselesaikan dengan satu model reforma agraria yang sama.
Ketiga, meninjau ulang instrumen hukum penyelesaian kasus pertanahan. Selain Perpres Nomor 86/2018, instrumen hukum lain yang menjadi pegangan bagi Kementerian ATR/BPN dalam menjalankan tugas menyelesaikan kasus pertanahan ialah Peraturan Menteri (Permen) ATR/BPN Nomor 21/2020. Sayangnya, permen ini menggunakan paradigma yang sama dengan Perpres Nomor 86/2018 yang mengabaikan keberadaan masyarakat adat. Meskipun Bab VII Pasal 45 mengatur perihal penyelesaian kasus pertanahan oleh lembaga adat, masyarakat adat tidak diatur sebagai salah satu subjek yang berhak mengajukan pengaduan dalam kasus pertanahan sebagaimana diatur dalam Pasal 3. Padahal, mereka rentan menjadi bagian dari kasus pertanahan dan belum tentu lembaga adat yang ada berhasil menyelesaikannya. Sebab itu, keberadaan peraturan ini perlu ditinjau kembali guna memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat adat.
Keempat, sinergi dengan kementerian terkait secara transparan. Menyelesaikan konflik pertanahan merupakan pekerjaan lama, menguras energi, menghabiskan banyak modal, dan irisan kewenangannya melibatkan berbagai kementerian di luar ATR/BPN. Untuk itu, bergerak secara masif antara ATR/BPN dan kementerian terkait perlu dilakukan. Misal, untuk kasus yang melibatkan perusahaan negara sebagai salah satu aktor di dalam konflik, maka diperlukan keterlibatan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Kemudian untuk kasus yang objeknya adalah hutan maka perlu melibatkan secara intens peran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Begitu juga dengan tanah yang objeknya adalah tanah negara seperti persoalan hak guna usaha atau sengketa batas wilayah, maka perlu melibatkan peran Kementerian Dalam Negeri dalam proses penyelesaiannya. Bergerak secara masif, terukur, dan tersistematis diperlukan agar semua energi yang ada dapat diarahkan ke salah satu isu yang hendak diselesaikan.
Terakhir, peristiwa suksesi politik di jajaran kementerian dipercaya sebagai langkah konkret menuju tata kelola birokrasi yang lebih baik, meskipun kerja hanya efektif dalam waktu singkat sebelum Pemilu 2024. Dalam konteks ini, perubahan kursi pimpinan menteri dan wakil menteri ATR/BPN mesti dilihat sebagai keseriusan negara—dalam hal ini pemerintah pusat—untuk menyelesaikan kasus pertanahan yang datanya telah menumpuk di meja kerja.
Baca Juga: koran-sindo.com
Ketiga, meninjau ulang instrumen hukum penyelesaian kasus pertanahan. Selain Perpres Nomor 86/2018, instrumen hukum lain yang menjadi pegangan bagi Kementerian ATR/BPN dalam menjalankan tugas menyelesaikan kasus pertanahan ialah Peraturan Menteri (Permen) ATR/BPN Nomor 21/2020. Sayangnya, permen ini menggunakan paradigma yang sama dengan Perpres Nomor 86/2018 yang mengabaikan keberadaan masyarakat adat. Meskipun Bab VII Pasal 45 mengatur perihal penyelesaian kasus pertanahan oleh lembaga adat, masyarakat adat tidak diatur sebagai salah satu subjek yang berhak mengajukan pengaduan dalam kasus pertanahan sebagaimana diatur dalam Pasal 3. Padahal, mereka rentan menjadi bagian dari kasus pertanahan dan belum tentu lembaga adat yang ada berhasil menyelesaikannya. Sebab itu, keberadaan peraturan ini perlu ditinjau kembali guna memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat adat.
Keempat, sinergi dengan kementerian terkait secara transparan. Menyelesaikan konflik pertanahan merupakan pekerjaan lama, menguras energi, menghabiskan banyak modal, dan irisan kewenangannya melibatkan berbagai kementerian di luar ATR/BPN. Untuk itu, bergerak secara masif antara ATR/BPN dan kementerian terkait perlu dilakukan. Misal, untuk kasus yang melibatkan perusahaan negara sebagai salah satu aktor di dalam konflik, maka diperlukan keterlibatan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Kemudian untuk kasus yang objeknya adalah hutan maka perlu melibatkan secara intens peran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Begitu juga dengan tanah yang objeknya adalah tanah negara seperti persoalan hak guna usaha atau sengketa batas wilayah, maka perlu melibatkan peran Kementerian Dalam Negeri dalam proses penyelesaiannya. Bergerak secara masif, terukur, dan tersistematis diperlukan agar semua energi yang ada dapat diarahkan ke salah satu isu yang hendak diselesaikan.
Terakhir, peristiwa suksesi politik di jajaran kementerian dipercaya sebagai langkah konkret menuju tata kelola birokrasi yang lebih baik, meskipun kerja hanya efektif dalam waktu singkat sebelum Pemilu 2024. Dalam konteks ini, perubahan kursi pimpinan menteri dan wakil menteri ATR/BPN mesti dilihat sebagai keseriusan negara—dalam hal ini pemerintah pusat—untuk menyelesaikan kasus pertanahan yang datanya telah menumpuk di meja kerja.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)