Pekerjaan Menumpuk Menteri Agraria

Jum'at, 24 Juni 2022 - 17:29 WIB
loading...
Pekerjaan Menumpuk Menteri...
Mhd Zakiul Fikri (Foto: Ist)
A A A
Mhd Zakiul Fikri
Direktur Kajian Agraria Center of Economic and Law Studies (CELIOS)

PEROMBAKAN kabinet pada 15 Juni lalu membuat publik bertanya-tanya mengenai sosok mantan Panglima TNI Marsekal (Purn) Hadi Tjahjanto yang mengisi pos Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Mengapa menteri di bidang pertanahan yang diganti dan mengapa sosok yang menggantikan eks petinggi militer? Tampaknya pergantian sosok menteri di bidang pertanahan punya urgensi tersendiri.

Salah satu pekerjaan rumah yang menanti Menteri ATR/BPN adalah persoalan tata lahan di level perdesaan. Ketika berbicara tentang desa, kita dihadapkan dengan dua kondisi. Pertama, permukiman penduduk sebagai dampak populasi di desa yang terus mengalami perkembangan. Kedua, tekanan kapitalisme sebagai salah satu aktor yang memengaruhi perkembangan okupansi lahan di desa.

Melalui agen utamanya, perusahaan perkebunan monokultur, menuntut penggunaan tanah dalam skala luas. Dua kondisi ini, populasi dan kapitalisme, menyebabkan ruang akses terhadap tanah semakin sempit. Sementara tanah bagi rakyat desa merupakan instrumen pokok dalam melakukan aktivitas ekonomi. Apabila gagal dikelola dengan baik, maka terjadinya sengketa/konflik perebutan klaim akses terhadap tanah–selanjutnya disebut kasus pertanahan—akan terus meningkat.

Dengan menggunakan pandangan di atas, konflik horizontal antarwarga yang terjadi di Desa Terantang, Kabupaten Kampar, pada Minggu, 19 Juni 2022, dapat dipahami sebagai salah satu bentuk kasus pertanahan. Konflik melibatkan setidaknya beberapa aktor: koperasi dan PTPN V selaku “bapak angkat” koperasi yang mengelola tanah perkebunan seluas 425 ha.

Mengenai kasus pertanahan, Komisi II DPR pada saat rapat kerja Kamis, 17 Februari 2022, melaporkan setidaknya terdapat 8.111 kasus yang mengandung unsur pidana. Data ini merupakan kasus yang terjadi sepanjang 2021 di seluruh wilayah Indonesia. Dari 8.111 kasus, menurut Kementerian ATR/BPN, 1.591 kasus telah diselesaikan. Artinya, kasus di Terantang hanyalah bagian kecil dari kasus pertanahan yang terjadi di negeri ini.

Kerusuhan di Desa Terantang, yang kemudian viral di jagat media sosial menjadi pengingat kepada pejabat ATR/BPN bahwa kasus pertanahan di akar rumput masih terjadi. Ditambah lagi, peristiwa Terantang 2022 meletus kurang dari satu pekan sejak dilaksanakannya suksesi politik penggantian jabatan menteri dan wakil menteri ATR/BPN.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato pelantikan Menteri dan Wakil Menteri ATR/BPN yang baru pada Rabu 15 Juni 2022 bahkan menegaskan supaya Kementerian ATR/BPN dapat dengan segera menyelesaikan berbagai masalah sengketa tanah. Pernyataan Presiden ini bukannya tanpa alasan hukum, sebab salah satu tugas Kementerian ATR/BPN berdasarkan Perpres Nomor 47/2020 dan Perpres Nomor 48/2020 ialah perumusan penetapan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penanganan kasus pertanahan, yang dalam pelaksanaannya dibantu oleh Direktur Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan.

Beberapa soal yang perlu diperhatikan oleh Kementerian ATR/BPN dan pejabat birokrasi di bawahnya terkait penyelesaian kasus pertanahan. Pertama, mendeteksi dan memberikan sanksi keberadaan mafia tanah. Problem mafia tanah sering melibatkan oknum di lingkup swasta, birokrasi, dan membutuhkan modal yang tidak kecil sehingga sangat mungkin menjadi sandungan dalam menyelesaikan kasus pertanahan. Mendeteksi keberadaan aktor di balik praktik mafia tanah lebih awal ketika memetakan kasus posisi akan memudahkan langkah Kementerian ATR/BPN dalam menjalankan tugasnya sebagai problem solver.

Kedua, mempertimbangkan ulang model pelaksanaan reforma agraria. Pasal 7 ayat (1) Perpres Nomor 86/2018 mengatur salah satu objek reforma agraria ialah tanah hasil penyelesaian sengketa dan konflik agraria. Namun, yang perlu menjadi perhatian adalah untuk kasus yang objeknya tanah ulayat masyarakat adat tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan reforma agraria ala Perpres Nomor 86/2018, karena perpres ini masih belum mengakomodasi dengan baik keberadaan masyarakat adat dan ulayat mereka. Contoh, Reforma Agraria 2019 yang dilaksanakan di Masyarakat Adat Senama Nenek atas objek tanah yang menurut klaim masyarakat adat adalah ulayat mereka. Redistribusi administrasi kepemilikan secara de jure berhasil dilaksanakan oleh program reforma agraria. Sayangnya, konflik pokok terkait akses terhadap lahan tidak berhasil diselesaikan.

Program reforma agraria bahkan bukannya menguatkan status ulayat masyarakat adat, sebaliknya mengurangi atau bahkan membuat eksistensi ulayat menjadi hilang. Jadi, bukan hanya konflik yang gagal dipadamkan, tapi juga menyebabkan masyarakat adat kehilangan tanah ulayat mereka—sudah terjatuh lalu tertimpa tangga. Dengan demikian, harus disadari bahwa tidak semua tanah yang menjadi objek konflik dalam kasus pertanahan dapat diselesaikan dengan satu model reforma agraria yang sama.

Ketiga, meninjau ulang instrumen hukum penyelesaian kasus pertanahan. Selain Perpres Nomor 86/2018, instrumen hukum lain yang menjadi pegangan bagi Kementerian ATR/BPN dalam menjalankan tugas menyelesaikan kasus pertanahan ialah Peraturan Menteri (Permen) ATR/BPN Nomor 21/2020. Sayangnya, permen ini menggunakan paradigma yang sama dengan Perpres Nomor 86/2018 yang mengabaikan keberadaan masyarakat adat. Meskipun Bab VII Pasal 45 mengatur perihal penyelesaian kasus pertanahan oleh lembaga adat, masyarakat adat tidak diatur sebagai salah satu subjek yang berhak mengajukan pengaduan dalam kasus pertanahan sebagaimana diatur dalam Pasal 3. Padahal, mereka rentan menjadi bagian dari kasus pertanahan dan belum tentu lembaga adat yang ada berhasil menyelesaikannya. Sebab itu, keberadaan peraturan ini perlu ditinjau kembali guna memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat adat.

Keempat, sinergi dengan kementerian terkait secara transparan. Menyelesaikan konflik pertanahan merupakan pekerjaan lama, menguras energi, menghabiskan banyak modal, dan irisan kewenangannya melibatkan berbagai kementerian di luar ATR/BPN. Untuk itu, bergerak secara masif antara ATR/BPN dan kementerian terkait perlu dilakukan. Misal, untuk kasus yang melibatkan perusahaan negara sebagai salah satu aktor di dalam konflik, maka diperlukan keterlibatan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Kemudian untuk kasus yang objeknya adalah hutan maka perlu melibatkan secara intens peran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Begitu juga dengan tanah yang objeknya adalah tanah negara seperti persoalan hak guna usaha atau sengketa batas wilayah, maka perlu melibatkan peran Kementerian Dalam Negeri dalam proses penyelesaiannya. Bergerak secara masif, terukur, dan tersistematis diperlukan agar semua energi yang ada dapat diarahkan ke salah satu isu yang hendak diselesaikan.

Terakhir, peristiwa suksesi politik di jajaran kementerian dipercaya sebagai langkah konkret menuju tata kelola birokrasi yang lebih baik, meskipun kerja hanya efektif dalam waktu singkat sebelum Pemilu 2024. Dalam konteks ini, perubahan kursi pimpinan menteri dan wakil menteri ATR/BPN mesti dilihat sebagai keseriusan negara—dalam hal ini pemerintah pusat—untuk menyelesaikan kasus pertanahan yang datanya telah menumpuk di meja kerja.

Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1725 seconds (0.1#10.140)