Mengenang 1.000 Hari Wafatnya BJ Habibie: Berawal di Akhir, Berakhir di Awal

Rabu, 22 Juni 2022 - 06:01 WIB
loading...
Mengenang 1.000 Hari Wafatnya BJ Habibie: Berawal di Akhir, Berakhir di Awal
Menko Kemaritiman 2014-2015 dan Profesor Riset Emiritus BPPT hingga 2021 Indroyono Soesilo. Foto: SINDOnews/Dok
A A A
Indroyono Soesilo
Menko Kemaritiman 2014-2015, Profesor Riset Emiritus BPPT hingga 2021

MEMASUKI bulan Juni 2022, tidak terasa, kita memperingati 1.000 hari wafatnya Profesor BJ Habibie, Presiden RI Ke-3 dan Bapak Teknologi Indonesia. Wafat pada 11 September 2019 di Jakarta, Beliau telah meninggalkan banyak legacy untuk bangsa ini.

Ia termasuk kelompok kecil pemuda-pemudi Indonesia yang dikirim Presiden Soekarno ke luar negeri pada pertengahan dekade 1950-an, untuk belajar teknologi maritim dan teknologi penerbangan. Hal ini bertujuan guna menghubungan dan menyatukan kepulauan Nusantara yang terdiri lebih dari 17.000 Pulau merentang di khatulistiwa sepanjang 5.000 kilometer.

Pada 1974 saat sudah menjabat sebagai Direktur di pabrik pesawat terbang Jerman terkemuka, Messerschmit- Bolkow – Blohm (MBB), Habibie dipanggil pulang Presiden Soeharto guna menyiapkan Indonesia lepas landas menuju era industri di awal abad 21.

Kala itu, Indonesia baru menyelesaikan Program Pembangunan Lima Tahun I, 1968 – 1973 (Pelita I) dan memasuki Pelita II. Konsep: ”Berawal di Akhir & Berakhir di Awal”, segera digulirkan Habibie untuk menjawab tugas Presiden ke-II RI ini.



Konsep ini dijabarkan menjadi empat tahapan transformasi teknologi yang dapat diterapkan di berbagai jenis industri di Indonesia dengan sasaran memenuhi kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu dan membuka lapangan kerja.

Latar belakangnya sebagai seorang Insinyur tentu perlu pembuktian nyata. Di sinilah kemudian konsep di atas direalisasikan pada pembangunan industri pesawat terbang di Tanah Air, sebuah industri yang amat ia kuasai dan diharapkan dapat direplikasikan pada industri-industri lain di dalam negeri.

Transformasi teknologi tahap I mencakup pembuatan pesawat terbang secara perakitan melalui lisensi dan menghasilkan pesawat angkut CN-212 Aviocar dan helikopter NBO-105 Bolkow. Pada tahapan ini, para insinyur dan teknisi domestik sudah mulai menguasai teknologi pesawat terbang dan telah mendapatkan penghasilkan lewat akumulasi jam kerja.

Kemudian, transformasi teknologi tahap ke-II dimulai dengan memberikan nilai tambah dan menjejalkan kandungan lokal pada produk-produk teknologi yang dibuat, serta meningkatkan jumlah jam kerja domestik pada setiap produk yang dihasilkan.



Muncullah pesawat CN-235 Tetuko dan Indonesia juga mulai mampu membuat helikopter ukuran lebih besar jenis NAS-332 Super Puma. Produk teknologi tahap I dan tahap II juga sudah bergerak memasuki pasar, baik domestik maupun ekspor. Transformasi teknologi tahap III diarahkan pada pembuatan produk industri dengan rancang-bangun penuh dilaksanakan oleh para insinyur dan teknisi dalam negeri secara mandiri.

Lewat integrasi sistem dan rancang-bangun teknologi mutakhir tadi maka muncullah pesawat N-250 Gatotkoco, yang merupakan pesawat komuter paling canggih dikelasnya pada saat itu, termasuk sistem kendali “fly by wire”, yang kala itu hanya diterapkan pada pesawat-pesawat penumpang bermesin jet.

N-250 Gatotkoco sukses terbang perdana pada 10 Agustus 1995. Hari itu kemudian diperingati sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional. Transformasi teknologi tahap IV segera dimulai. Di sini, berbagai riset dasar dan riset terapan digairahkan guna menghasilkan produk-produk baru yang lebih unggul, dengan teknologi lebih maju dan membuka lapangan kerja lebih banyak.

Di industri pesawat terbang, transformasi teknologi tahap IV akan diwujudkan pada produk pesawat N-2130. Sayang, krisis multi-dimensi yang berujung pada Reformasi 1998 terjadi di Indonesia. Proyek pesawat CN-250, yang segera memasuki tahapan produksi, harus dihentikan sesuai bunyi Letter of Intent yang ditandatangani Indonesia – International Monetary Fund (IMF). Proses transformasi teknologi terhenti dan para insinyur penerbangan Indonesia, yang sudah sangat mumpuni tadi, harus mencari kerja di industri-industri penerbangan Perancis, AS, Canada dan Brasil. “Brain Drain” telah terjadi.

Teori Zig-Zag
Habibie sebagai Presiden RI ke-3 harus berjuang menanggulangi krisis. Ia mengibaratkan “Pesawat sedang menghadapi goncangan cuaca buruk”. Intuisinya sebagai insinyur muncul. Ibarat pesawat terbang, semua masalah harus didekati dengan ilmu pasti, bila tidak maka pesawat akan oleng dan jatuh.

Nilai tukar rupiah membumbung hingga Rp16.500 per dollar AS. Di sini, ia mencari hal-hal yang pasti di tengah ketidakpastian. “Ada berapa elemen yang menyebabkan nilai tukar rupiah anjlog terus?”, 10 elemen?, 100?, 1000 elemen?”, pikirnya.

Menggunakan perangkat super-komputer yang ada di IPTN-Bandung maka semua elemen tadi ia masukkan ke dalam super-komputer tadi dan dibuat model matematika-nya. Lalu diterapkan rumusan finite element method dan inverse finite element method, yang biasa dipakai menghitung struktur sayap pesawat terbang, pada kurva time series multi dimensi, nilai tukar rupiah terhadap waktu, terhadap nilai dollar AS, terhadap elemen lain dan seterusnya.

Dari sini, Presiden Habibie dapat memprediksi kapan nilai dollar AS akan menguat dan kapan akan melemah, dalam hitungan hari, jam bahkan menit. Melalui model matematika tadi, Habibie dapat menginformasikan Bank Indonesia waktu yang tepat untuk menaikkan suku bunga maupun menurunkan suku bunga guna “melawan” gejolak nilai tukar dollar AS dimaksud.

Hasilnya?, secara perlahan nilai tukar rupiah menguat terhadap dollar AS dan dalam tempo hanya 520 hari, nilai satu dollar AS telah turun menjadi Rp6.500 kembali. Teori ini dikenal sebagai “Teori Zig Zag”, yang sekarang jamak diterapkan pada robot-robot komputer evaluator pergerakan valuta asing.

Latar belakangnya sebagai insinyur, bukan politisi, membuat ia lupa menyusun sistem kelembagaan iptek yang telah digelutinya sebagai Menteri Riset & Teknologi/Ketua Badan Pengkajian & Penerapan Teknologi (BPPT) selama 20 tahun. Utamanya tentang Undang-Undang yang berkaitan dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

Baru pada era Presiden Megawati Soekarnoputri terbit UU Nomor 18 Tahun 2002 tentang Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Iptek. UU Nomor 18 Tahun 2002 lalu direvisi menjadi UU Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan & Teknologi.

Tentu, sejarah yang kelak akan menilai apakah UU Nomor 11 Tahun 2019 ini akan membawa Indonesia menjadi negara maju berbasis iptek dengan sumber daya manusia unggul, seperti yang dicita-citakan almarhum BJ Habibie.

Legacy yang ia tinggalkan, seperti ribuan anak-didik Beliau dibidang iptek, juga produk pesawat N-219 Nurtanio sebagai alih teknologi dari insinyur senior kepada juniornya. Juga pendirian Defense Industry Indonesia, atau Defense ID, sebuah BUMN yang menggabungkan semua perusahaan industri pertahanan Indonesia, mirip Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) yang dibangun Habibie, adalah beberapa contohnya.

Bila kita berkunjung ke Markas International Civil Aviation Organization (ICAO), Badang Penerbangan Sipil Internasional, Montreal, Canada, terpampang nama-nama para penerima Edward Warner Award.

Ada nama BJ Habibie di situ. Ia penerima penghargaan bergengsi ini pada tahun 1994. Kala itu, ia merupakan orang Asia pertama yang memperoleh penghargaan, yang tidak dianugerahkan ICAO setiap tahun, ini.
(thm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2644 seconds (0.1#10.140)