Urgensi Pembentukan Tata Kelola Pengungsi Luar Negeri di Indonesia
loading...
A
A
A
Nino Viartasiwi, Ph.D.
Dosen Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Humaniora, Universitas Presiden, Bekasi, dan Peneliti Senior Resilience Development Initiative-Urban Refugee Research Group (RDI-UREF), Bandung
TANGGAL 20 Juni adalah Hari Pengungsi Sedunia atau World Refugee Day. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tanggal ini sebagai hari internasional untuk menghormati hak asasi pengungsi, yakni mereka yang terpaksa meninggalkan tanah airnya untuk mencari keselamatan atas ancaman nyawanya. Tema World Refugee Day 2022 adalah “Whoever. Wherever. Whenever. Everyone has the right to seek safety”. Pesan dasarnya adalah bahwa mencari keselamatan merupakan hak dasar manusia yang mestinya tidak dibatasi oleh identitas, destinasi maupun waktu.
Meskipun bukan negara destinasi, Indonesia menjadi tempat transit bagi sekitar 13.000 pengungsi luar negeri dan pencari suaka. Mereka menunggu situasi aman di negara asalnya atau menunggu kesediaan negara ketiga untuk menerima. Jumlah ini tidak besar jika dibandingkan jumlah pengungsi yang transit di Malaysia dan Thailand yang mencapai ratusan ribu.
Sebagai sebuah negara besar, yang juga diakui sebagai anggota G20, bagaimana Indonesia berperan mengatasi persoalan krisis pengungsi global?
Peran Indonesia
Di tingkat internasional, keterlibatan Indonesia ikut mengatasi krisis pengungsi belum terlalu tampak. Indonesia bukan termasuk 149 negara anggota PBB (dari jumlah total 193 negara) yang ikut menandatangani Konvensi Pengungsi tahun 1951 (Refugee Convention) dan Protokol tahun 1967. Kenyataan sebagai negara bukan penandatangan konvensi menjadi alasan bagi Indonesia tidak terlibat aktif dalam krisis pengungsi global. Bahkan, Indonesia mengambil peran sangat terbatas dengan memberikan kesempatan kepada pengungsi luar negeri yang kebetulan telah berada di wilayah Indonesia tinggal sementara dengan banyak pembatasan dan aturan pengekangan. Dari waktu ke waktu, publik juga mendapat informasi tentang pengungsi Rohingya yang terdampar di garis pantai Provinsi Aceh dan biasanya baru diizinkan mendarat setelah proses advokasi panjang berbagai elemen masyarakat sipil.
Kenyataan di atas tentu tidak sejalan dengan posisi Indonesia sebagai anggota dari 20 negara dunia terkuat secara ekonomi. Mestinya, Indonesia menunjukkan peran yang lebih besar, setidaknya dalam pengelolaan dan perlindungan pengungsi luar negeri yang telah berada di wilayahnya. Posisi sebagai negara bukan penandatangan konvensi tidak serta-merta menjadi pembenar atas minimalnya keterlibatan Indonesia karena negeri ini tetap terikat pada prinsip hukum internasional lain. Misalnya, Indonesia terikat pada prinsip non-refoulement (prinsip pelarangan penolakan terhadap pengungsi dan pencari suaka) dan prinsip hak asasi manusia. Terlebih lagi, Indonesia adalah negara demokrasi dengan konstitusi yang secara jelas menjamin hak bagi setiap orang untuk mencari suaka.
Manajemen Pengungsi
Manajemen pengungsi luar negeri di Indonesia saat ini diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 25 tahun 2016. Perpres ini adalah instrumen hukum yang bersifat ramah terhadap pengungsi luar negeri. Juga, dalam Perpres ini untuk pertama kalinya Indonesia menggunakan diksi pengungsi luar negeri. Sebagai catatan, Perpres 125/2016 awalnya diluncurkan menanggapi krisis Laut Andaman di mana pengungsi Rohingya membanjiri negara-negara tetangga Myanmar, termasuk Indonesia. Tidak heran, Perpres ini sangat bersifat tanggap darurat (emergency response). Manajemen pengungsi luar negeri dalam Perpres 125/2016 efektif memberikan perlindungan sementara bagi pengungsi yang baru saja terdampar di perairan Indonesia. Namun, harus diakui peraturan ini masih belum memadai untuk memanajemen pengungsi dalam jangka panjang.
Fakta lapangan menunjukkan bahwa pengungsi luar negeri berada dalam situasi transit yang berkepanjangan di Indonesia. Hitungan tahun bagi masa transit tentu saja tidak memadai jika diatur semata-mata dalam Perpres yang bersifat tanggap darurat. Saat ini, aturan yang terbatas telah menimbulkan perbedaan pada sifat perlindungan, perlakuan dan pelayanan terhadap pengungsi luar negeri di berbagai kota di Indonesia.
Berbagai lembaga dan pemerintah daerah tidak jarang memiliki terjemahan berbeda terhadap Perpres 125/2016. Riset dari Resilience Development Initiative-Urban Refugee Research Group (RDI UREF) menunjukkan bahwa tulang punggung manajemen pengungsi di Indonesia adalah aktor masyarakat sipil. Di satu sisi, keterlibatan masyarakat sipil dalam persoalan sosial dan negara tentu sangat positif, tetapi di sisi lain juga menunjukkan kelemahan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan perlindungan.
Indonesia perlu memiliki aturan dan tata kelola yang memadai bagi pengungsi luar negeri yang berada di wilayahnya. Tata kelola ini akan menjamin tidak saja kepastian perlindungan terhadap hak asasi pengungsi sesuai harkat-martabatnya, tetapi juga menunjukkan komitmen Indonesia sebagai bagian dari komunitas global. Terlebih lagi, persoalan pengungsi luar negeri adalah amanah dunia internasional terhadap negara demokrasi seperti Indonesia.
Tata Kelola Pengungsi ala Indonesia
Tata kelola pengungsi macam apa yang perlu dimiliki Indonesia? PBB dan organisasi internasional yang mengurusi pengungsi seperti IOM (International Organization for Migration) telah memiliki berbagai kerangka kerja (framework) yang dapat digunakan sebagai acuan pembentukan tata kelola pengungsi. Global Compact on Refugees dari Badan Pengungsi PBB (UNHCR) serta Global Compact for Migration dari IOM adalah contoh acuan yang dapat dipakai. Agar dapat berjalan efektif, tata kelola pengungsi luar negeri versi Indonesia perlu memperhatikan persoalan-persoalan yang menjadi kekhawatiran masyarakat dan aparat negara terkait keberadaan orang asing di tanah air.
Tanpa menjadi negara penandatangan Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967, Indonesia tetap dapat dan berkewajiban memberikan perlindungan kepada manusia yang meninggalkan negaranya untuk alasan keselamatan. Pengungsi tidak lantas kehilangan hak asasinya hanya karena dirinya tidak memiliki kewarganegaraan atau lari dari negaranya. Tata kelola pengungsi bukan hanya akan menjadi tanda kesiapan Indonesia untuk menjunjung prinsip hak asasi manusia yang universal, namun juga memberikan landasan hukum bagi penyelenggara negara untuk melaksanakan tugas pemerintahan.
Baca Juga: koran-sindo.com
Dosen Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Humaniora, Universitas Presiden, Bekasi, dan Peneliti Senior Resilience Development Initiative-Urban Refugee Research Group (RDI-UREF), Bandung
TANGGAL 20 Juni adalah Hari Pengungsi Sedunia atau World Refugee Day. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tanggal ini sebagai hari internasional untuk menghormati hak asasi pengungsi, yakni mereka yang terpaksa meninggalkan tanah airnya untuk mencari keselamatan atas ancaman nyawanya. Tema World Refugee Day 2022 adalah “Whoever. Wherever. Whenever. Everyone has the right to seek safety”. Pesan dasarnya adalah bahwa mencari keselamatan merupakan hak dasar manusia yang mestinya tidak dibatasi oleh identitas, destinasi maupun waktu.
Meskipun bukan negara destinasi, Indonesia menjadi tempat transit bagi sekitar 13.000 pengungsi luar negeri dan pencari suaka. Mereka menunggu situasi aman di negara asalnya atau menunggu kesediaan negara ketiga untuk menerima. Jumlah ini tidak besar jika dibandingkan jumlah pengungsi yang transit di Malaysia dan Thailand yang mencapai ratusan ribu.
Sebagai sebuah negara besar, yang juga diakui sebagai anggota G20, bagaimana Indonesia berperan mengatasi persoalan krisis pengungsi global?
Peran Indonesia
Di tingkat internasional, keterlibatan Indonesia ikut mengatasi krisis pengungsi belum terlalu tampak. Indonesia bukan termasuk 149 negara anggota PBB (dari jumlah total 193 negara) yang ikut menandatangani Konvensi Pengungsi tahun 1951 (Refugee Convention) dan Protokol tahun 1967. Kenyataan sebagai negara bukan penandatangan konvensi menjadi alasan bagi Indonesia tidak terlibat aktif dalam krisis pengungsi global. Bahkan, Indonesia mengambil peran sangat terbatas dengan memberikan kesempatan kepada pengungsi luar negeri yang kebetulan telah berada di wilayah Indonesia tinggal sementara dengan banyak pembatasan dan aturan pengekangan. Dari waktu ke waktu, publik juga mendapat informasi tentang pengungsi Rohingya yang terdampar di garis pantai Provinsi Aceh dan biasanya baru diizinkan mendarat setelah proses advokasi panjang berbagai elemen masyarakat sipil.
Kenyataan di atas tentu tidak sejalan dengan posisi Indonesia sebagai anggota dari 20 negara dunia terkuat secara ekonomi. Mestinya, Indonesia menunjukkan peran yang lebih besar, setidaknya dalam pengelolaan dan perlindungan pengungsi luar negeri yang telah berada di wilayahnya. Posisi sebagai negara bukan penandatangan konvensi tidak serta-merta menjadi pembenar atas minimalnya keterlibatan Indonesia karena negeri ini tetap terikat pada prinsip hukum internasional lain. Misalnya, Indonesia terikat pada prinsip non-refoulement (prinsip pelarangan penolakan terhadap pengungsi dan pencari suaka) dan prinsip hak asasi manusia. Terlebih lagi, Indonesia adalah negara demokrasi dengan konstitusi yang secara jelas menjamin hak bagi setiap orang untuk mencari suaka.
Manajemen Pengungsi
Manajemen pengungsi luar negeri di Indonesia saat ini diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 25 tahun 2016. Perpres ini adalah instrumen hukum yang bersifat ramah terhadap pengungsi luar negeri. Juga, dalam Perpres ini untuk pertama kalinya Indonesia menggunakan diksi pengungsi luar negeri. Sebagai catatan, Perpres 125/2016 awalnya diluncurkan menanggapi krisis Laut Andaman di mana pengungsi Rohingya membanjiri negara-negara tetangga Myanmar, termasuk Indonesia. Tidak heran, Perpres ini sangat bersifat tanggap darurat (emergency response). Manajemen pengungsi luar negeri dalam Perpres 125/2016 efektif memberikan perlindungan sementara bagi pengungsi yang baru saja terdampar di perairan Indonesia. Namun, harus diakui peraturan ini masih belum memadai untuk memanajemen pengungsi dalam jangka panjang.
Fakta lapangan menunjukkan bahwa pengungsi luar negeri berada dalam situasi transit yang berkepanjangan di Indonesia. Hitungan tahun bagi masa transit tentu saja tidak memadai jika diatur semata-mata dalam Perpres yang bersifat tanggap darurat. Saat ini, aturan yang terbatas telah menimbulkan perbedaan pada sifat perlindungan, perlakuan dan pelayanan terhadap pengungsi luar negeri di berbagai kota di Indonesia.
Berbagai lembaga dan pemerintah daerah tidak jarang memiliki terjemahan berbeda terhadap Perpres 125/2016. Riset dari Resilience Development Initiative-Urban Refugee Research Group (RDI UREF) menunjukkan bahwa tulang punggung manajemen pengungsi di Indonesia adalah aktor masyarakat sipil. Di satu sisi, keterlibatan masyarakat sipil dalam persoalan sosial dan negara tentu sangat positif, tetapi di sisi lain juga menunjukkan kelemahan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan perlindungan.
Indonesia perlu memiliki aturan dan tata kelola yang memadai bagi pengungsi luar negeri yang berada di wilayahnya. Tata kelola ini akan menjamin tidak saja kepastian perlindungan terhadap hak asasi pengungsi sesuai harkat-martabatnya, tetapi juga menunjukkan komitmen Indonesia sebagai bagian dari komunitas global. Terlebih lagi, persoalan pengungsi luar negeri adalah amanah dunia internasional terhadap negara demokrasi seperti Indonesia.
Tata Kelola Pengungsi ala Indonesia
Tata kelola pengungsi macam apa yang perlu dimiliki Indonesia? PBB dan organisasi internasional yang mengurusi pengungsi seperti IOM (International Organization for Migration) telah memiliki berbagai kerangka kerja (framework) yang dapat digunakan sebagai acuan pembentukan tata kelola pengungsi. Global Compact on Refugees dari Badan Pengungsi PBB (UNHCR) serta Global Compact for Migration dari IOM adalah contoh acuan yang dapat dipakai. Agar dapat berjalan efektif, tata kelola pengungsi luar negeri versi Indonesia perlu memperhatikan persoalan-persoalan yang menjadi kekhawatiran masyarakat dan aparat negara terkait keberadaan orang asing di tanah air.
Tanpa menjadi negara penandatangan Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967, Indonesia tetap dapat dan berkewajiban memberikan perlindungan kepada manusia yang meninggalkan negaranya untuk alasan keselamatan. Pengungsi tidak lantas kehilangan hak asasinya hanya karena dirinya tidak memiliki kewarganegaraan atau lari dari negaranya. Tata kelola pengungsi bukan hanya akan menjadi tanda kesiapan Indonesia untuk menjunjung prinsip hak asasi manusia yang universal, namun juga memberikan landasan hukum bagi penyelenggara negara untuk melaksanakan tugas pemerintahan.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)