Lagi, Presiden Ingatkan Krisis Pangan dan Energi
loading...
A
A
A
Untuk kesekian kalinya Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan pentingnya menjaga ketahanan pangan nasional. Pernyataan terbaru disampaikan Presiden saat memberikan sambutan dalam rangka peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-50 Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Himpi) di Jakarta, Jumat (10/6) lalu.
Apa yang disampaikan Jokowi di hadapan para pengusaha itu memang wajar adanya. Pasalnya, akhir-akhir ini persoalan pangan bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di tingkat global.
Gejala-gejala kenaikan harga pangan juga mulai terlihat di lapangan. Misalnya saja, harga minyak goreng yang tak kunjung turun kendati pemerintah telah melepas harga eceran tertinggi (HET)-nya. Kenaikan harga juga terjadi pada cabai yang pada sepekan terakhir naik menjadi di atas Rp100.000 per kg.
Musabab sejumlah kenaikan pangan ini, khusus cabai, karena pasokan di dalam negeri berkurang akibat ganguan produksi.
Selain komoditas pangan, komoditas energi juga masih terkena imbas akibat perang Rusia dan Ukraina yang belum berakhir. Sejumlah operator yang menjual Bahan Bakar Minyak (BBM) pun meresponsnya dengan menaikkan harga jual produk bensin dan sejenisnya.
Di samping itu, yang harus diwaspadai adalah masalah lain yakni adanya ketidakpastian dalam hal prospek pertumbuhan eknonomi global. Kondisi iIni mau tidak mau memberikan sentimen negatif ke sejumlah sektor ekonomi.
Sejumlah tantangan pun harus dihadapi depan mata akibat kenaikan harga pangan ini. Yang paling nyata adalah imbas ke masalah inflasi yang di beberapa negara sudah melonjak sangat tinggi.
Sebagai contoh, di Amerika Serikat (AS) yang baisanya tingkat inflasi hanya di kisaran 1%, kini sudah mencapai 8,3%. Level inflasi itu merupakan yang tertingi di Negeri Paman Sam dalam 41 tahun terakhir.
Salah satu yang paling ekstrem terjadi di Turki di mana laju infasi mencapai 36,1%, tertinggi dalam 19 tahun. Sementara di Indonesia, pada Mei 2022 mencapai 3,55%, tertinggi sejak 2017 silam.
Dalam pidato di hadapan anggota Hipmi, Jokowi juga mengungkapkan saat ini diperkirakan ada 60 negara yang akan mengalami kesulitan keuangan maupun ekonomi, dan diperkirakan mereka akan menjadi negara gagal kalau tidak bisa segera mengatasi ekonominya.
Untuk itu Presiden mengingatkan kepada seluruh undangan yang hadir agar jangan sampai kondisi ini disebut sebagai hal yang normal. Sehingga perlu upaya khusus agar perekonomian tetap bisa bergeran dan inflasi terkendali.
Jokowi mengakui bahwa masalah besar saat ini ada di dua sektor ekonomi. Pertama terkait kenaikan harga energi, dan yang kedua kenaikan harga pangan. Khusus untuk komoditas pangan, penyebabnya karena sejumlah negara mulai mengetatkan ekspor mereka sehingga tersendatnya pasokan ke negara-negara yang biasanya mendatangkan bahan pangan dari luar negeri.
Saat ini, kata Jokowi, dari semula hanya tiga negara yang menyetop ekspor pangan, kini sudah ada 22 negara menghentikan ekspor pangan. Sehingga kemandarian menjadi sangat penting di dalam penyediaan pangan.
Jokowi pun wanti wanti agar para pemangku kepentingan berhati-hati karena ada kenaikan-kenaikan yang perlu diwaspadai seperti komoditas gandum, jagung, dan kedelai yang harganya mulai naik kurang lebih 30% dari harga normal.
Diketahui, gandum adalah komoditas utama yang diproduksi para petani di Rusia dan Ukraina sehingga kondisi perang telah menyebabkan ganguan pasokan. Bahkan bukan tidak mungkin nantinya Indonesia akan terdampak karena banyajk makanan yang dijual di tanah air menggunakan bahan baku gandum, seperti mie dan roti.
Kegundahan Jokowi terkait masalah pangan dan energi ini cukup beralasan. Pasalnya, kedua sektor ini adalah penopang utama konsumsi masyarakat Indonesia.
Sektor konsumsi juga merupakan kontributor utama pertumbuhan ekonomi masyarakat yang menyumbang lebih dari 65% nilai produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Untuk itu, diperlukan upaya untuk terus dapat menjaga daya beli masyarakat agar dan meredam kenaikan harga yang ekstrem.
Apa yang disampaikan Jokowi di hadapan para pengusaha itu memang wajar adanya. Pasalnya, akhir-akhir ini persoalan pangan bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di tingkat global.
Gejala-gejala kenaikan harga pangan juga mulai terlihat di lapangan. Misalnya saja, harga minyak goreng yang tak kunjung turun kendati pemerintah telah melepas harga eceran tertinggi (HET)-nya. Kenaikan harga juga terjadi pada cabai yang pada sepekan terakhir naik menjadi di atas Rp100.000 per kg.
Musabab sejumlah kenaikan pangan ini, khusus cabai, karena pasokan di dalam negeri berkurang akibat ganguan produksi.
Selain komoditas pangan, komoditas energi juga masih terkena imbas akibat perang Rusia dan Ukraina yang belum berakhir. Sejumlah operator yang menjual Bahan Bakar Minyak (BBM) pun meresponsnya dengan menaikkan harga jual produk bensin dan sejenisnya.
Di samping itu, yang harus diwaspadai adalah masalah lain yakni adanya ketidakpastian dalam hal prospek pertumbuhan eknonomi global. Kondisi iIni mau tidak mau memberikan sentimen negatif ke sejumlah sektor ekonomi.
Sejumlah tantangan pun harus dihadapi depan mata akibat kenaikan harga pangan ini. Yang paling nyata adalah imbas ke masalah inflasi yang di beberapa negara sudah melonjak sangat tinggi.
Sebagai contoh, di Amerika Serikat (AS) yang baisanya tingkat inflasi hanya di kisaran 1%, kini sudah mencapai 8,3%. Level inflasi itu merupakan yang tertingi di Negeri Paman Sam dalam 41 tahun terakhir.
Salah satu yang paling ekstrem terjadi di Turki di mana laju infasi mencapai 36,1%, tertinggi dalam 19 tahun. Sementara di Indonesia, pada Mei 2022 mencapai 3,55%, tertinggi sejak 2017 silam.
Dalam pidato di hadapan anggota Hipmi, Jokowi juga mengungkapkan saat ini diperkirakan ada 60 negara yang akan mengalami kesulitan keuangan maupun ekonomi, dan diperkirakan mereka akan menjadi negara gagal kalau tidak bisa segera mengatasi ekonominya.
Untuk itu Presiden mengingatkan kepada seluruh undangan yang hadir agar jangan sampai kondisi ini disebut sebagai hal yang normal. Sehingga perlu upaya khusus agar perekonomian tetap bisa bergeran dan inflasi terkendali.
Jokowi mengakui bahwa masalah besar saat ini ada di dua sektor ekonomi. Pertama terkait kenaikan harga energi, dan yang kedua kenaikan harga pangan. Khusus untuk komoditas pangan, penyebabnya karena sejumlah negara mulai mengetatkan ekspor mereka sehingga tersendatnya pasokan ke negara-negara yang biasanya mendatangkan bahan pangan dari luar negeri.
Saat ini, kata Jokowi, dari semula hanya tiga negara yang menyetop ekspor pangan, kini sudah ada 22 negara menghentikan ekspor pangan. Sehingga kemandarian menjadi sangat penting di dalam penyediaan pangan.
Jokowi pun wanti wanti agar para pemangku kepentingan berhati-hati karena ada kenaikan-kenaikan yang perlu diwaspadai seperti komoditas gandum, jagung, dan kedelai yang harganya mulai naik kurang lebih 30% dari harga normal.
Diketahui, gandum adalah komoditas utama yang diproduksi para petani di Rusia dan Ukraina sehingga kondisi perang telah menyebabkan ganguan pasokan. Bahkan bukan tidak mungkin nantinya Indonesia akan terdampak karena banyajk makanan yang dijual di tanah air menggunakan bahan baku gandum, seperti mie dan roti.
Kegundahan Jokowi terkait masalah pangan dan energi ini cukup beralasan. Pasalnya, kedua sektor ini adalah penopang utama konsumsi masyarakat Indonesia.
Sektor konsumsi juga merupakan kontributor utama pertumbuhan ekonomi masyarakat yang menyumbang lebih dari 65% nilai produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Untuk itu, diperlukan upaya untuk terus dapat menjaga daya beli masyarakat agar dan meredam kenaikan harga yang ekstrem.
(ynt)