Dampak Komersialisasi Rapid Test, Pengamat: Makin Memiskinkan Rakyat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Saat pandemi Covid -19 terjadi, ada dua "barang" yang terkenal di dalam hati masyarakat, yaitu rapid test dan bansos (bantuan sosial). Kedua barang ini terkenal karena keduanya sangat dibutuhkan masyarakat dan seperti ada penyimpang karena komersialisasi.
Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif Center for Budjet Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menanggapi keluhan masyarakat terkait biaya rapid test yang mahal. Menurut dia, komersialisasi rapid test dimulai ketika masyarakat ingin memeriksa kesehatan mandiri dan ingin naik pesawat di bandara. (Baca juga: Fahri Hamzah Sebut Tiket Jakarta-Lombok Lebih Murah Ketimbang Rapid Test)
"Kemudian, salah satu kasus yang jadi perhatian publik adalah Kiai Cholil Nafis, orang tua santri yang harus mengeluarkan biaya Rp400.000 untuk melakukan rapid test di Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta," ungkap Uchok saat dihubungi SINDOnews, Rabu (24/6/2020).
Uchok menilai, memang biaya rapid test ini mahal sekali. Buat sebagian penumpang, sangat mencekik sekali. Padahal, seharusnya pemerintah bisa menggratiskan rapid test, karena bagian dari tindakan preventif untuk mencegah semakin meluasnya kasus atau penderita baru Covid-19.
Karena saat ini, menurut dia, masyarakat sedang kesulitan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Seharusnya, pemerintah hadir membantu masyarakat untuk menggratiskan rapid test kepada masyarakat di ruang ruang publik. “Namun yang terjadi saat ini, ketika rapid test harus ada biayanya, ini sama saja, pemerintah tidur dalam pelayanan kepada rakyatnya,” tandasnya.
Di sisi lain, perusahaan yang memiliki alat rapid test justru mengambil keuntungan secara tidak terpuji dari kesusahan rakyat di masa pandemi Covid-19 ini. "Berarti betul kata-kata bijak ini, rakyat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Rakyat sudah kena pendemi Covid-19, harus bayar biaya Covid-19. Kejam sekali yang melakukan komersialisasi tersebut," ujarnya.
Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif Center for Budjet Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menanggapi keluhan masyarakat terkait biaya rapid test yang mahal. Menurut dia, komersialisasi rapid test dimulai ketika masyarakat ingin memeriksa kesehatan mandiri dan ingin naik pesawat di bandara. (Baca juga: Fahri Hamzah Sebut Tiket Jakarta-Lombok Lebih Murah Ketimbang Rapid Test)
"Kemudian, salah satu kasus yang jadi perhatian publik adalah Kiai Cholil Nafis, orang tua santri yang harus mengeluarkan biaya Rp400.000 untuk melakukan rapid test di Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta," ungkap Uchok saat dihubungi SINDOnews, Rabu (24/6/2020).
Uchok menilai, memang biaya rapid test ini mahal sekali. Buat sebagian penumpang, sangat mencekik sekali. Padahal, seharusnya pemerintah bisa menggratiskan rapid test, karena bagian dari tindakan preventif untuk mencegah semakin meluasnya kasus atau penderita baru Covid-19.
Karena saat ini, menurut dia, masyarakat sedang kesulitan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Seharusnya, pemerintah hadir membantu masyarakat untuk menggratiskan rapid test kepada masyarakat di ruang ruang publik. “Namun yang terjadi saat ini, ketika rapid test harus ada biayanya, ini sama saja, pemerintah tidur dalam pelayanan kepada rakyatnya,” tandasnya.
Di sisi lain, perusahaan yang memiliki alat rapid test justru mengambil keuntungan secara tidak terpuji dari kesusahan rakyat di masa pandemi Covid-19 ini. "Berarti betul kata-kata bijak ini, rakyat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Rakyat sudah kena pendemi Covid-19, harus bayar biaya Covid-19. Kejam sekali yang melakukan komersialisasi tersebut," ujarnya.
(nbs)