Bulog Melintas Zaman

Sabtu, 11 Juni 2022 - 09:16 WIB
loading...
A A A
Yang menonjol, ada pergeseran pemahaman CBP di era Orde Baru dengan saat reformasi. Di Orde Baru, seluruh pembelian Bulog sepenuhnya jadi stok pemerintah untuk berbagai keperluan: operasi pasar, bantuan bencana, dll. Seluruh sistem operasi diserahkan ke Bulog. Di era reformasi hingga 2016, stok Bulog dipakai untuk mengisi Raskin/Rastra dan CBP. Stok Bulog dibiayai kredit bank berbunga komersial untuk mengisi Raskin/Rastra.

Pembiayaan CBP juga berubah: dari hanya pengadaan pertama dan biaya pemeliharaan tiap tahun jadi pembiayaan tiap tahun secara tetap Rp3 triliun dengan cara “membeli” beras Bulog. Tapi biaya perawatan, susut dan rusak, management fee, dan biaya beras turun mutu/tua yang harus dilelang belum dianggarkan. Pemisahan stok operasional Bulog dan CBP menimbulkan masalah dalam sistem operasi Bulog. Jika CBP berlebih akan meninggalkan sisa di akhir tahun, dan Bulog otomatis terbebani biaya perawatan dll yang tidak dianggarkan. Jika CBP kurang, maka untuk menambah perlu koordinasi dan proses yang memakan waktu.

Setelah Raskin/Rastra diubah jadi BNPT/Program Sembako dan outlet pasti beras Bulog di hilir hilang, pemerintah mensiasati dengan mengeluarkan skema baru CBP: Bulog bisa membeli beras petani dengan harga berapa saja, Bulog harus menjaga stok beras 1,5 juta ton tiap saat, beras yang turun mutu/usia lebih 4 bulan harus dilepaskan.

Yang paling drastis, ada perubahan sistem CBP: dari sistem persediaan ke penggantian. Jadi, saat ini pemerintah baru akan membayar Bulog (selisih) setelah CBP disalurkan. Perubahan ini, pertama, secara riil pemerintah tak punya persediaan fisik beras. Kedua, memudahkan pemerintah tapi menyulitkan Bulog. Kian disadari, mengelola CBP perlu perputaran stok besar dan cepat (yang saat ini tak ada), perlu dana besar dan kegiatan yang merugi. Dengan skema baru CBP, pendanaan dan kerugian itu ditumpukan ke Bulog. Padahal, Bulog mengemban tugas pelayanan publik dari negara yang mestinya dibiayai penuh oleh negara.

Bab ini juga dilengkapi pentingnya cadangan pangan, wabilkhusus CBP, dengan menengok kebijakan di negara-negara di Asia. Secara khusus diulas kebijakan cadangan pangan di China dan Malaysia yang menempuh kebijakan satu pintu, volume cadangan kian diperbesar, dan didukung anggaran penuh. China bahkan amat agresif: membeli lahan-lahan di berbagai negara untuk ditanami pangan dan dikirim ke China. China juga mengakuisisi sejumlah perusahaan pangan di AS, Australia, dll. Sebaliknya, CBP di Indonesia semakin tak jelas: jumlah tak pernah ditentukan, anggaran kian tak jelas, dll. Pendek kata, pemerintah cenderung lepas tangan.

Bab ini diakhiri dengan mengulas opsi-opsi tata kelola CBP (pengadaan, pengelolaan dan penyaluran, penganggaran, menghitung volume CBP, mekanisme pelepasan stok rusak/turun mutu, dll) yang ideal bagi Bulog yang bisa dipilih pemerintah. Ulasan dilengkapi kajian mendalam terhadap aneka regulasi (UU, PP, Perpres, peraturan menteri) tentang CBP. Ulasan juga dikaitkan dengan kebijakan pangan, wabilkhusus pengelolaan beras dan CBP, yang lebih terintegrasi dengan hadirnya Badan Pangan Nasional (National Food Agency/NFA) yang kepalanya ditunjuk/dilantik pada 21 Februari 2022.

Agar berdayaguna, di setiap akhir bab disajikan apa pembelajaran yang bisa diambil oleh pemerintah dan juga Bulog. Termasuk kebijakan apa yang bisa diambil oleh pemerintah, lewat NFA, untuk mengintegrasikan kebijakan perberasan hulu-tengah-hilir. NFA saat ini masih dalam tahap mencari bentuk. Kelembagaannya masih dalam tahap pengisian. Aneka kebijakan di bidang perberasan, terutama terkait relasi NFA sebagai regulator dengan Bulog sebagai operator, masih dalam tahap mencari bentuk dan penyusunan.

Karena itu, buku ini bisa menjadi salah satu jawaban atas berbagai kebutuhan terkini, baik bagi pemerintah (regulator di berbagai kementerian), NFA maupun Bulog dan BUMN bidang pangan. Lebih dari itu, buku ini menyajikan pelacakan ekonomi-politik dan historis relasi pemerintah (lewat kebijakan publik) dengan Bulog. Karena itu, buku ini bisa menjadi referensi bagi mahasiswa ekonomi pertanian, ekonomi-politik, dan studi pembangunan.

Kelebihan buku ini, jika bisa disebut begitu, adalah menyajikan pelacakan historis ekonomi-politik kebijakan perberasan dan Bulog. Sepanjang yang saya tahu, belum ada buku yang menulis topik seperti ini. Buku tentang beras sudah banyak, bahkan banyak sekali. Termasuk buku saya, Ironi Negeri Beras (terbit 2008). Tapi sebagian besar buku-buku itu tidak ada yang secara khusus mengaitkannya dengan eksistensi Bulog. Itu yang pertama.

Kedua, buku ini selain melacak jejak historis seperti dipaparkan di atas, juga mengulas kondisi terkini. Termasuk mengaitkannya dengan rekomendasi Ombudsman RI, Oktober 2021, tentang tata kelola CBP. Ulasan tidak hanya berbasis buku, jurnal, dan makalah, tetapi juga analisis penulis yang mengikuti isu beras sejak puluhan tahun lalu dengan data yang kaya. Selain itu, saya berdiskusi dengan banyak orang untuk memperdalam isu ini.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1413 seconds (0.1#10.140)