Bulog Melintas Zaman
loading...
A
A
A
BUKU ini merupakan ulasan ekonomi-politik, mengaitkan antara Bulog dan Beras. Buku tidak berisi teori, tapi tinjauan historis yang melacak kaitan antara Bulog dengan politik perberasan di Indonesia dari sejak Bulog berdiri pada 1967 atau awal Orde Baru hingga kondisi paling mutakhir.
Jejak itu dilacak lewat tiga bab buku. Bab I, “Apakah (Masih) Perlu Bulog Mengurus Beras?”, melacak peran Bulog yang sejak awal berdiri mengurus beras. Di masa lalu, Bulog dan beras adalah pertahanan terakhir Presiden Soeharto. Bulog terlibat intens dalam perjudian menopang sejak awal rezim Orde Baru berdiri. Lewat kebijakan at all cost, swasembada beras bisa dicapai pada 1984. Sejak itu, beras jadi pangan superior, dari Sabang sampai Serui, menggeser pangan lain.
Jawaban atas pertanyaan di bab I dilacak dari karakteristik produksi dan konsumsi beras, dari era 1970-an hingga saat ini. Karakteristik produksi padi tak banyak berubah: diusahakan petani kecil, pola panen ajek ada panen raya dan paceklik, bergantung pada iklim, dan produksi terpusat di segelintir propinsi. Ini membuat produksi dan harga fluktuatif, yang seringkali merugikan produsen dan konsumen.
Dari sisi konsumsi, sumbangan beras dalam konsumsi kalori dan protein memang menurun dari 1970-an hingga saat ini. Tapi peran beras tak tergantikan. Konsumsi beras cenderung menurun, tapi lambat. Kaum berduit mengonsumsi beras berkualitas bagus, bukan mendiversifikasi ke pangan lain. Diversifikasi pangan tak berjalan.
Secara khusus, bab ini melacak peran beras dalam bobot biaya hidup: dari 1960-an hingga saat ini. Bobot beras dalam indeks biaya hidup turun dari 30-an% pada 1960-an tinggal 3,32% pada 2018. Meskipun mengecil, beras sampai saat ini tetap jadi komoditas terpenting bagi rumah tangga: menyedot sekitar 22-23% pengeluaran rumah tangga. Implikasinya, harga beras harus terjangkau dan stabil. Ketika harga beras naik, kemiskinan akan naik. Ini jadi masalah karena 68% warga masuk kategori miskin dan rentan, termasuk di dalamnya ya petani.
Masalah utama perberasan di Indonesia adalah produksi yang tidak bisa mengejar kenaikan permintaan. Ini karena kompleksitas masalah: konversi lahan tanpa jeda, iklim ekstrem kian rutin, infrastruktur irigasi tak memadai, kesuburan lahan menurun drastis, benih padi dan industri pupuk kurang mendukung, dan perluasan lahan yang majal. Ini semua membuat variasi produksi amat tinggi dan sulit diestimasi.
Di sisi lain, pasar beras dunia sejak 1970-an tak berubah: tipis, residual stock, jauh dari pasar sempurna, dan rentan spekulasi. Ini dilacak dari krisis beras 2008, 2011, dan selama pandemi Covid-19. Berpijak dari kondisi itu, termasuk memanfaatkan Bulog sebagai State Trading Enterprises (STE) untuk menyeimbangkan kepentingan domestik dan dunia di WTO, infrastruktur Bulog yang komplet berikut catatan “biru” sejak 1970-an menangani beras, dan berbagai regulasi penugasan beras buat Bulog, tak terbantahkan Bulog (masih) harus menangani beras.
Bab II, “Raskin: Penyelamat dan Pembawa Kiamat”, melacak krisis di negeri ini dikaitkan dengan peran beras yang kemudian melahirkan aneka program: Operasi Pasar Khusus (OPK) yang kemudian diubah jadi Raskin, berubah lagi jadi Rastra, terus Bantuan Pangan Nontunai, dan sekarang Program Sembako. Sejak 1970-an, krisis beras terparah terjadi pada 1997/1998: harga beras terus membubung sementara pendapatan warga anjlok. Inflasi tinggi, ekonomi tumbuh minus, kemiskinan melonjak, penjarahan, rush, panic buying, dan kerusuhan terjadi di mana-mana. Krisis ekonomi berujung pada krisis politik, yang diikuti jatuhnya Presiden Soeharto.
Produksi padi saat itu menurun drastis karena saat itu terjadi El Nino. Devisa terbatas, impor beras tidak mudah karena LC bank tidak laku. Salah satu caranya adalah mencari bantuan dan pinjaman lunak. Tapi tetap tak menolong. Di sisi lain, pemerintah bertahan mensubsidi beras agar harganya terjangkau. Karena di luar negeri harga tinggi, beras diselundupkan.
Pada puncak krisis, pada 1998 kebijakan beras diubah drastis: impor dibebaskan, termasuk oleh swasta. Selain pencabutan monopoli impor Bulog, subsidi pupuk juga dicabut. Untuk konsumen dirakit program OPK: program beras bersubsidi dengan target khusus, yakni warga rentan. Ini menandai perubahan dari subsidi umum (lewat operasi pasar) menjadi subsidi tertarget (targeted subsidy).
Jejak itu dilacak lewat tiga bab buku. Bab I, “Apakah (Masih) Perlu Bulog Mengurus Beras?”, melacak peran Bulog yang sejak awal berdiri mengurus beras. Di masa lalu, Bulog dan beras adalah pertahanan terakhir Presiden Soeharto. Bulog terlibat intens dalam perjudian menopang sejak awal rezim Orde Baru berdiri. Lewat kebijakan at all cost, swasembada beras bisa dicapai pada 1984. Sejak itu, beras jadi pangan superior, dari Sabang sampai Serui, menggeser pangan lain.
Jawaban atas pertanyaan di bab I dilacak dari karakteristik produksi dan konsumsi beras, dari era 1970-an hingga saat ini. Karakteristik produksi padi tak banyak berubah: diusahakan petani kecil, pola panen ajek ada panen raya dan paceklik, bergantung pada iklim, dan produksi terpusat di segelintir propinsi. Ini membuat produksi dan harga fluktuatif, yang seringkali merugikan produsen dan konsumen.
Dari sisi konsumsi, sumbangan beras dalam konsumsi kalori dan protein memang menurun dari 1970-an hingga saat ini. Tapi peran beras tak tergantikan. Konsumsi beras cenderung menurun, tapi lambat. Kaum berduit mengonsumsi beras berkualitas bagus, bukan mendiversifikasi ke pangan lain. Diversifikasi pangan tak berjalan.
Secara khusus, bab ini melacak peran beras dalam bobot biaya hidup: dari 1960-an hingga saat ini. Bobot beras dalam indeks biaya hidup turun dari 30-an% pada 1960-an tinggal 3,32% pada 2018. Meskipun mengecil, beras sampai saat ini tetap jadi komoditas terpenting bagi rumah tangga: menyedot sekitar 22-23% pengeluaran rumah tangga. Implikasinya, harga beras harus terjangkau dan stabil. Ketika harga beras naik, kemiskinan akan naik. Ini jadi masalah karena 68% warga masuk kategori miskin dan rentan, termasuk di dalamnya ya petani.
Masalah utama perberasan di Indonesia adalah produksi yang tidak bisa mengejar kenaikan permintaan. Ini karena kompleksitas masalah: konversi lahan tanpa jeda, iklim ekstrem kian rutin, infrastruktur irigasi tak memadai, kesuburan lahan menurun drastis, benih padi dan industri pupuk kurang mendukung, dan perluasan lahan yang majal. Ini semua membuat variasi produksi amat tinggi dan sulit diestimasi.
Di sisi lain, pasar beras dunia sejak 1970-an tak berubah: tipis, residual stock, jauh dari pasar sempurna, dan rentan spekulasi. Ini dilacak dari krisis beras 2008, 2011, dan selama pandemi Covid-19. Berpijak dari kondisi itu, termasuk memanfaatkan Bulog sebagai State Trading Enterprises (STE) untuk menyeimbangkan kepentingan domestik dan dunia di WTO, infrastruktur Bulog yang komplet berikut catatan “biru” sejak 1970-an menangani beras, dan berbagai regulasi penugasan beras buat Bulog, tak terbantahkan Bulog (masih) harus menangani beras.
Bab II, “Raskin: Penyelamat dan Pembawa Kiamat”, melacak krisis di negeri ini dikaitkan dengan peran beras yang kemudian melahirkan aneka program: Operasi Pasar Khusus (OPK) yang kemudian diubah jadi Raskin, berubah lagi jadi Rastra, terus Bantuan Pangan Nontunai, dan sekarang Program Sembako. Sejak 1970-an, krisis beras terparah terjadi pada 1997/1998: harga beras terus membubung sementara pendapatan warga anjlok. Inflasi tinggi, ekonomi tumbuh minus, kemiskinan melonjak, penjarahan, rush, panic buying, dan kerusuhan terjadi di mana-mana. Krisis ekonomi berujung pada krisis politik, yang diikuti jatuhnya Presiden Soeharto.
Produksi padi saat itu menurun drastis karena saat itu terjadi El Nino. Devisa terbatas, impor beras tidak mudah karena LC bank tidak laku. Salah satu caranya adalah mencari bantuan dan pinjaman lunak. Tapi tetap tak menolong. Di sisi lain, pemerintah bertahan mensubsidi beras agar harganya terjangkau. Karena di luar negeri harga tinggi, beras diselundupkan.
Pada puncak krisis, pada 1998 kebijakan beras diubah drastis: impor dibebaskan, termasuk oleh swasta. Selain pencabutan monopoli impor Bulog, subsidi pupuk juga dicabut. Untuk konsumen dirakit program OPK: program beras bersubsidi dengan target khusus, yakni warga rentan. Ini menandai perubahan dari subsidi umum (lewat operasi pasar) menjadi subsidi tertarget (targeted subsidy).