Bulog Melintas Zaman
loading...
A
A
A
BUKU ini merupakan ulasan ekonomi-politik, mengaitkan antara Bulog dan Beras. Buku tidak berisi teori, tapi tinjauan historis yang melacak kaitan antara Bulog dengan politik perberasan di Indonesia dari sejak Bulog berdiri pada 1967 atau awal Orde Baru hingga kondisi paling mutakhir.
Jejak itu dilacak lewat tiga bab buku. Bab I, “Apakah (Masih) Perlu Bulog Mengurus Beras?”, melacak peran Bulog yang sejak awal berdiri mengurus beras. Di masa lalu, Bulog dan beras adalah pertahanan terakhir Presiden Soeharto. Bulog terlibat intens dalam perjudian menopang sejak awal rezim Orde Baru berdiri. Lewat kebijakan at all cost, swasembada beras bisa dicapai pada 1984. Sejak itu, beras jadi pangan superior, dari Sabang sampai Serui, menggeser pangan lain.
Jawaban atas pertanyaan di bab I dilacak dari karakteristik produksi dan konsumsi beras, dari era 1970-an hingga saat ini. Karakteristik produksi padi tak banyak berubah: diusahakan petani kecil, pola panen ajek ada panen raya dan paceklik, bergantung pada iklim, dan produksi terpusat di segelintir propinsi. Ini membuat produksi dan harga fluktuatif, yang seringkali merugikan produsen dan konsumen.
Dari sisi konsumsi, sumbangan beras dalam konsumsi kalori dan protein memang menurun dari 1970-an hingga saat ini. Tapi peran beras tak tergantikan. Konsumsi beras cenderung menurun, tapi lambat. Kaum berduit mengonsumsi beras berkualitas bagus, bukan mendiversifikasi ke pangan lain. Diversifikasi pangan tak berjalan.
Secara khusus, bab ini melacak peran beras dalam bobot biaya hidup: dari 1960-an hingga saat ini. Bobot beras dalam indeks biaya hidup turun dari 30-an% pada 1960-an tinggal 3,32% pada 2018. Meskipun mengecil, beras sampai saat ini tetap jadi komoditas terpenting bagi rumah tangga: menyedot sekitar 22-23% pengeluaran rumah tangga. Implikasinya, harga beras harus terjangkau dan stabil. Ketika harga beras naik, kemiskinan akan naik. Ini jadi masalah karena 68% warga masuk kategori miskin dan rentan, termasuk di dalamnya ya petani.
Masalah utama perberasan di Indonesia adalah produksi yang tidak bisa mengejar kenaikan permintaan. Ini karena kompleksitas masalah: konversi lahan tanpa jeda, iklim ekstrem kian rutin, infrastruktur irigasi tak memadai, kesuburan lahan menurun drastis, benih padi dan industri pupuk kurang mendukung, dan perluasan lahan yang majal. Ini semua membuat variasi produksi amat tinggi dan sulit diestimasi.
Di sisi lain, pasar beras dunia sejak 1970-an tak berubah: tipis, residual stock, jauh dari pasar sempurna, dan rentan spekulasi. Ini dilacak dari krisis beras 2008, 2011, dan selama pandemi Covid-19. Berpijak dari kondisi itu, termasuk memanfaatkan Bulog sebagai State Trading Enterprises (STE) untuk menyeimbangkan kepentingan domestik dan dunia di WTO, infrastruktur Bulog yang komplet berikut catatan “biru” sejak 1970-an menangani beras, dan berbagai regulasi penugasan beras buat Bulog, tak terbantahkan Bulog (masih) harus menangani beras.
Bab II, “Raskin: Penyelamat dan Pembawa Kiamat”, melacak krisis di negeri ini dikaitkan dengan peran beras yang kemudian melahirkan aneka program: Operasi Pasar Khusus (OPK) yang kemudian diubah jadi Raskin, berubah lagi jadi Rastra, terus Bantuan Pangan Nontunai, dan sekarang Program Sembako. Sejak 1970-an, krisis beras terparah terjadi pada 1997/1998: harga beras terus membubung sementara pendapatan warga anjlok. Inflasi tinggi, ekonomi tumbuh minus, kemiskinan melonjak, penjarahan, rush, panic buying, dan kerusuhan terjadi di mana-mana. Krisis ekonomi berujung pada krisis politik, yang diikuti jatuhnya Presiden Soeharto.
Produksi padi saat itu menurun drastis karena saat itu terjadi El Nino. Devisa terbatas, impor beras tidak mudah karena LC bank tidak laku. Salah satu caranya adalah mencari bantuan dan pinjaman lunak. Tapi tetap tak menolong. Di sisi lain, pemerintah bertahan mensubsidi beras agar harganya terjangkau. Karena di luar negeri harga tinggi, beras diselundupkan.
Pada puncak krisis, pada 1998 kebijakan beras diubah drastis: impor dibebaskan, termasuk oleh swasta. Selain pencabutan monopoli impor Bulog, subsidi pupuk juga dicabut. Untuk konsumen dirakit program OPK: program beras bersubsidi dengan target khusus, yakni warga rentan. Ini menandai perubahan dari subsidi umum (lewat operasi pasar) menjadi subsidi tertarget (targeted subsidy).
Meskipun banyak catatan, program OPK yang dimulai pada 1998 dinilai (LSM, perguruan tinggi dll) berhasil. Akan tetapi, kritik bertubi-tubi datang dari IMF dan Bank Dunia, yang diundang Indonesia membantu menangani krisis ekonomi. Lewat kajian ahli Indonesia dan AS, diketahui program OPK amat baik, terutama dari sisi makroekonomi: lebih cost-effective, membantu rumah tangga rawan pangan, dan memperkuat ketahanan pangan. Hasil kajian ini disebar ke sejumlah menteri dan institusi, serta diyakini jadi dasar meneruskan OPK.
Di internal Bulog, OPK dianggap sebelah mata. Tapi OPK yang kemudian jadi program tahunan itu jadi penyelamat saat outlet beras Bulog untuk PNS/TNI/Polri ditiadakan dan KLBI (kredit berbunga rendah dari BI) dicabut pada akhir 1999. Outlet OPK yang besar bisa menggantikan outlet beras Bulog untuk PNS/TNI/Polri.
Masalah baru muncul: di lapangan beras OPK diperebutkan banyak warga. Periode 1999-2000 ada banyak hasil riset tentang OPK oleh LSM, perguruan tinggi, dll. Rekomendasinya, sasaran OPK belum menggambarkan program yang jelas dan manajemen, terutama monitoring-evaluasi, lemah. Maka mulai 2002 OPK diubah jadi Raskin: Beras untuk Masyarakat Miskin. Nama ini selain menggambarkan sasaran, harapannya warga tak berebut beras untuk warga miskin. Berbagai penyempurnaan ditempuh. Akan tetapi, selama 14 tahun (2002-2016) Raskin, masalah 6 tepat (sasaran, waktu, jumlah, kualitas, harga, dan administrasi) tak bisa dipenuhi. Evolusi Raskin, mulai dari jumlah anggaran, sasaran hingga aneka praktik di lapangan dilacak komplet.
Raskin yang merupakan outlet beras Bulog (rerata 2,7-3 juta ton/tahun) diubah jadi Bantuan Pangan Nontunai (BPNT)/Program Sembako setelah ada rekomendasi KPK (agar mendesain ulang Raskin), Bank Dunia menyarankan diubah ke nontunai, dan Presiden Jokowi memutuskan agar diubah jadi nontunai. Mulai 2017 dan selesai 2019, Raskin/Rastra selesai masa transisi.
Lewat BPNT/Program Sembako, penerima bantuan tak lagi dapat beras, tapi transfer duit. Duit bisa dibelikan aneka pangan (beras, telur, dll) di outlet yang ditunjuk. Berasnya tidak lagi dari Bulog. Perubahan ini membuat kebijakan perberasan terintegrasi (pengadaan di hulu, pengelolaan di tengah, dan penyaluran di hilir) selama puluhan tahun berubah drastis: terbuka di hilirnya.
Perubahan Raskin/Rastra jadi BPNT/Program Sembako membuat 6 tepat tak lagi jadi isu. Tapi Raskin/Rastra tak berdiri sendiri. Dia ada pasangannya: perlindungan produsen (petani) dan konsumen. Kala outlet Raskin/Rastra hilang, pengadaan/pengadaan beras domestik menurun drastis dan petani tak terlindungi. Kasus harga gabah kering panen di petani dan harga gabah kering giling di penggilingan jatuh di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) kian masif dua tahun terakhir (2020-2021). Beras Bulog menumpuk tak tersalur dan potensial turun mutu/rusak.
Penyediaan outlet penyaluran pengganti bernama Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga (KPSH) atau operasi pasar justru merusak pasar. Karena menyalahi prinsip operasi pasar, juga kembali mengulangi kesalahan subsidi umum. Di sisi lain, Bulog masih diwajibkan menyerap beras domestik dengan anggaran bank berbunga komersial. Perubahan ini bukan saja membuat operasional Bulog oleng, ketahanan pangan juga terancam. Secara politik, pemerintah bisa dipersalahkan karena dari aturan (ada UU, PP, Perpres dll) kebijakan perberasan masih terintegrasi.
Di sisi lain, BPNT/Program Sembako juga bukan tanpa masalah: harga beras lebih tinggi dari pasar, KPM tak bebas memilih, ada juga keluhan kualitas. Diketahui juga tak semua daerah selalu memutakhirkan data terpadu kesejahteraan sosial. Dibandingkan saat Bulog masih terlibat penuh dalam Raskin/Rastra (sebelum 2016) dan setelah tidak terlibat sama sekali (2020-2021), ada kecenderungan beras makin banyak: GKP, GKG jatuh, disparitas harga antarawilayah dan antarmusim kian tipis, penggilingan padi dan pedagang banyak yang bangkrut dll.
Bab ini merekomendasikan perlunya kembali mengintegrasikan kebijakan perberasan: hulu-tengah-hilir. Ada dua pilihan: membiayai semua anggaran pengadaan dalam rangka pengamanan HPP dan penggantian disposal stock yang terjadi. Atau kedua, mengintegrasikan kembali kebijakan perberasan dengan cara mengembalikan outlet beras Bulog untuk program BPNT/Program Sembako.
Bab III, “Pengelolaan CBP Oleh Bulog: Adakah Opsi Ideal?”, melacak evolusi cadangan beras pemerintah (CBP) dari 1970-an sampai saat ini. Sejak berdiri, Bulog mengelola CBP. Secara historis, pengertian, penganggaran, pelepasan CBP, regulasi tata kelola, dan bagaimana relasi harmonis Bulog-pemerintah (lewat kebijakan yang ada di UU, PP, Perpres, aneka peraturan menteri) yang naik-turun dilacak dari 1970-an sampai saat ini.
Yang menonjol, ada pergeseran pemahaman CBP di era Orde Baru dengan saat reformasi. Di Orde Baru, seluruh pembelian Bulog sepenuhnya jadi stok pemerintah untuk berbagai keperluan: operasi pasar, bantuan bencana, dll. Seluruh sistem operasi diserahkan ke Bulog. Di era reformasi hingga 2016, stok Bulog dipakai untuk mengisi Raskin/Rastra dan CBP. Stok Bulog dibiayai kredit bank berbunga komersial untuk mengisi Raskin/Rastra.
Pembiayaan CBP juga berubah: dari hanya pengadaan pertama dan biaya pemeliharaan tiap tahun jadi pembiayaan tiap tahun secara tetap Rp3 triliun dengan cara “membeli” beras Bulog. Tapi biaya perawatan, susut dan rusak, management fee, dan biaya beras turun mutu/tua yang harus dilelang belum dianggarkan. Pemisahan stok operasional Bulog dan CBP menimbulkan masalah dalam sistem operasi Bulog. Jika CBP berlebih akan meninggalkan sisa di akhir tahun, dan Bulog otomatis terbebani biaya perawatan dll yang tidak dianggarkan. Jika CBP kurang, maka untuk menambah perlu koordinasi dan proses yang memakan waktu.
Setelah Raskin/Rastra diubah jadi BNPT/Program Sembako dan outlet pasti beras Bulog di hilir hilang, pemerintah mensiasati dengan mengeluarkan skema baru CBP: Bulog bisa membeli beras petani dengan harga berapa saja, Bulog harus menjaga stok beras 1,5 juta ton tiap saat, beras yang turun mutu/usia lebih 4 bulan harus dilepaskan.
Yang paling drastis, ada perubahan sistem CBP: dari sistem persediaan ke penggantian. Jadi, saat ini pemerintah baru akan membayar Bulog (selisih) setelah CBP disalurkan. Perubahan ini, pertama, secara riil pemerintah tak punya persediaan fisik beras. Kedua, memudahkan pemerintah tapi menyulitkan Bulog. Kian disadari, mengelola CBP perlu perputaran stok besar dan cepat (yang saat ini tak ada), perlu dana besar dan kegiatan yang merugi. Dengan skema baru CBP, pendanaan dan kerugian itu ditumpukan ke Bulog. Padahal, Bulog mengemban tugas pelayanan publik dari negara yang mestinya dibiayai penuh oleh negara.
Bab ini juga dilengkapi pentingnya cadangan pangan, wabilkhusus CBP, dengan menengok kebijakan di negara-negara di Asia. Secara khusus diulas kebijakan cadangan pangan di China dan Malaysia yang menempuh kebijakan satu pintu, volume cadangan kian diperbesar, dan didukung anggaran penuh. China bahkan amat agresif: membeli lahan-lahan di berbagai negara untuk ditanami pangan dan dikirim ke China. China juga mengakuisisi sejumlah perusahaan pangan di AS, Australia, dll. Sebaliknya, CBP di Indonesia semakin tak jelas: jumlah tak pernah ditentukan, anggaran kian tak jelas, dll. Pendek kata, pemerintah cenderung lepas tangan.
Bab ini diakhiri dengan mengulas opsi-opsi tata kelola CBP (pengadaan, pengelolaan dan penyaluran, penganggaran, menghitung volume CBP, mekanisme pelepasan stok rusak/turun mutu, dll) yang ideal bagi Bulog yang bisa dipilih pemerintah. Ulasan dilengkapi kajian mendalam terhadap aneka regulasi (UU, PP, Perpres, peraturan menteri) tentang CBP. Ulasan juga dikaitkan dengan kebijakan pangan, wabilkhusus pengelolaan beras dan CBP, yang lebih terintegrasi dengan hadirnya Badan Pangan Nasional (National Food Agency/NFA) yang kepalanya ditunjuk/dilantik pada 21 Februari 2022.
Agar berdayaguna, di setiap akhir bab disajikan apa pembelajaran yang bisa diambil oleh pemerintah dan juga Bulog. Termasuk kebijakan apa yang bisa diambil oleh pemerintah, lewat NFA, untuk mengintegrasikan kebijakan perberasan hulu-tengah-hilir. NFA saat ini masih dalam tahap mencari bentuk. Kelembagaannya masih dalam tahap pengisian. Aneka kebijakan di bidang perberasan, terutama terkait relasi NFA sebagai regulator dengan Bulog sebagai operator, masih dalam tahap mencari bentuk dan penyusunan.
Karena itu, buku ini bisa menjadi salah satu jawaban atas berbagai kebutuhan terkini, baik bagi pemerintah (regulator di berbagai kementerian), NFA maupun Bulog dan BUMN bidang pangan. Lebih dari itu, buku ini menyajikan pelacakan ekonomi-politik dan historis relasi pemerintah (lewat kebijakan publik) dengan Bulog. Karena itu, buku ini bisa menjadi referensi bagi mahasiswa ekonomi pertanian, ekonomi-politik, dan studi pembangunan.
Kelebihan buku ini, jika bisa disebut begitu, adalah menyajikan pelacakan historis ekonomi-politik kebijakan perberasan dan Bulog. Sepanjang yang saya tahu, belum ada buku yang menulis topik seperti ini. Buku tentang beras sudah banyak, bahkan banyak sekali. Termasuk buku saya, Ironi Negeri Beras (terbit 2008). Tapi sebagian besar buku-buku itu tidak ada yang secara khusus mengaitkannya dengan eksistensi Bulog. Itu yang pertama.
Kedua, buku ini selain melacak jejak historis seperti dipaparkan di atas, juga mengulas kondisi terkini. Termasuk mengaitkannya dengan rekomendasi Ombudsman RI, Oktober 2021, tentang tata kelola CBP. Ulasan tidak hanya berbasis buku, jurnal, dan makalah, tetapi juga analisis penulis yang mengikuti isu beras sejak puluhan tahun lalu dengan data yang kaya. Selain itu, saya berdiskusi dengan banyak orang untuk memperdalam isu ini.
Judul : Bulog dan Politik Perberasan
Penulis : Khudori
Terbit : Mei 2022
Penerbit : Obor
Jejak itu dilacak lewat tiga bab buku. Bab I, “Apakah (Masih) Perlu Bulog Mengurus Beras?”, melacak peran Bulog yang sejak awal berdiri mengurus beras. Di masa lalu, Bulog dan beras adalah pertahanan terakhir Presiden Soeharto. Bulog terlibat intens dalam perjudian menopang sejak awal rezim Orde Baru berdiri. Lewat kebijakan at all cost, swasembada beras bisa dicapai pada 1984. Sejak itu, beras jadi pangan superior, dari Sabang sampai Serui, menggeser pangan lain.
Jawaban atas pertanyaan di bab I dilacak dari karakteristik produksi dan konsumsi beras, dari era 1970-an hingga saat ini. Karakteristik produksi padi tak banyak berubah: diusahakan petani kecil, pola panen ajek ada panen raya dan paceklik, bergantung pada iklim, dan produksi terpusat di segelintir propinsi. Ini membuat produksi dan harga fluktuatif, yang seringkali merugikan produsen dan konsumen.
Dari sisi konsumsi, sumbangan beras dalam konsumsi kalori dan protein memang menurun dari 1970-an hingga saat ini. Tapi peran beras tak tergantikan. Konsumsi beras cenderung menurun, tapi lambat. Kaum berduit mengonsumsi beras berkualitas bagus, bukan mendiversifikasi ke pangan lain. Diversifikasi pangan tak berjalan.
Secara khusus, bab ini melacak peran beras dalam bobot biaya hidup: dari 1960-an hingga saat ini. Bobot beras dalam indeks biaya hidup turun dari 30-an% pada 1960-an tinggal 3,32% pada 2018. Meskipun mengecil, beras sampai saat ini tetap jadi komoditas terpenting bagi rumah tangga: menyedot sekitar 22-23% pengeluaran rumah tangga. Implikasinya, harga beras harus terjangkau dan stabil. Ketika harga beras naik, kemiskinan akan naik. Ini jadi masalah karena 68% warga masuk kategori miskin dan rentan, termasuk di dalamnya ya petani.
Masalah utama perberasan di Indonesia adalah produksi yang tidak bisa mengejar kenaikan permintaan. Ini karena kompleksitas masalah: konversi lahan tanpa jeda, iklim ekstrem kian rutin, infrastruktur irigasi tak memadai, kesuburan lahan menurun drastis, benih padi dan industri pupuk kurang mendukung, dan perluasan lahan yang majal. Ini semua membuat variasi produksi amat tinggi dan sulit diestimasi.
Di sisi lain, pasar beras dunia sejak 1970-an tak berubah: tipis, residual stock, jauh dari pasar sempurna, dan rentan spekulasi. Ini dilacak dari krisis beras 2008, 2011, dan selama pandemi Covid-19. Berpijak dari kondisi itu, termasuk memanfaatkan Bulog sebagai State Trading Enterprises (STE) untuk menyeimbangkan kepentingan domestik dan dunia di WTO, infrastruktur Bulog yang komplet berikut catatan “biru” sejak 1970-an menangani beras, dan berbagai regulasi penugasan beras buat Bulog, tak terbantahkan Bulog (masih) harus menangani beras.
Bab II, “Raskin: Penyelamat dan Pembawa Kiamat”, melacak krisis di negeri ini dikaitkan dengan peran beras yang kemudian melahirkan aneka program: Operasi Pasar Khusus (OPK) yang kemudian diubah jadi Raskin, berubah lagi jadi Rastra, terus Bantuan Pangan Nontunai, dan sekarang Program Sembako. Sejak 1970-an, krisis beras terparah terjadi pada 1997/1998: harga beras terus membubung sementara pendapatan warga anjlok. Inflasi tinggi, ekonomi tumbuh minus, kemiskinan melonjak, penjarahan, rush, panic buying, dan kerusuhan terjadi di mana-mana. Krisis ekonomi berujung pada krisis politik, yang diikuti jatuhnya Presiden Soeharto.
Produksi padi saat itu menurun drastis karena saat itu terjadi El Nino. Devisa terbatas, impor beras tidak mudah karena LC bank tidak laku. Salah satu caranya adalah mencari bantuan dan pinjaman lunak. Tapi tetap tak menolong. Di sisi lain, pemerintah bertahan mensubsidi beras agar harganya terjangkau. Karena di luar negeri harga tinggi, beras diselundupkan.
Pada puncak krisis, pada 1998 kebijakan beras diubah drastis: impor dibebaskan, termasuk oleh swasta. Selain pencabutan monopoli impor Bulog, subsidi pupuk juga dicabut. Untuk konsumen dirakit program OPK: program beras bersubsidi dengan target khusus, yakni warga rentan. Ini menandai perubahan dari subsidi umum (lewat operasi pasar) menjadi subsidi tertarget (targeted subsidy).
Meskipun banyak catatan, program OPK yang dimulai pada 1998 dinilai (LSM, perguruan tinggi dll) berhasil. Akan tetapi, kritik bertubi-tubi datang dari IMF dan Bank Dunia, yang diundang Indonesia membantu menangani krisis ekonomi. Lewat kajian ahli Indonesia dan AS, diketahui program OPK amat baik, terutama dari sisi makroekonomi: lebih cost-effective, membantu rumah tangga rawan pangan, dan memperkuat ketahanan pangan. Hasil kajian ini disebar ke sejumlah menteri dan institusi, serta diyakini jadi dasar meneruskan OPK.
Di internal Bulog, OPK dianggap sebelah mata. Tapi OPK yang kemudian jadi program tahunan itu jadi penyelamat saat outlet beras Bulog untuk PNS/TNI/Polri ditiadakan dan KLBI (kredit berbunga rendah dari BI) dicabut pada akhir 1999. Outlet OPK yang besar bisa menggantikan outlet beras Bulog untuk PNS/TNI/Polri.
Masalah baru muncul: di lapangan beras OPK diperebutkan banyak warga. Periode 1999-2000 ada banyak hasil riset tentang OPK oleh LSM, perguruan tinggi, dll. Rekomendasinya, sasaran OPK belum menggambarkan program yang jelas dan manajemen, terutama monitoring-evaluasi, lemah. Maka mulai 2002 OPK diubah jadi Raskin: Beras untuk Masyarakat Miskin. Nama ini selain menggambarkan sasaran, harapannya warga tak berebut beras untuk warga miskin. Berbagai penyempurnaan ditempuh. Akan tetapi, selama 14 tahun (2002-2016) Raskin, masalah 6 tepat (sasaran, waktu, jumlah, kualitas, harga, dan administrasi) tak bisa dipenuhi. Evolusi Raskin, mulai dari jumlah anggaran, sasaran hingga aneka praktik di lapangan dilacak komplet.
Raskin yang merupakan outlet beras Bulog (rerata 2,7-3 juta ton/tahun) diubah jadi Bantuan Pangan Nontunai (BPNT)/Program Sembako setelah ada rekomendasi KPK (agar mendesain ulang Raskin), Bank Dunia menyarankan diubah ke nontunai, dan Presiden Jokowi memutuskan agar diubah jadi nontunai. Mulai 2017 dan selesai 2019, Raskin/Rastra selesai masa transisi.
Lewat BPNT/Program Sembako, penerima bantuan tak lagi dapat beras, tapi transfer duit. Duit bisa dibelikan aneka pangan (beras, telur, dll) di outlet yang ditunjuk. Berasnya tidak lagi dari Bulog. Perubahan ini membuat kebijakan perberasan terintegrasi (pengadaan di hulu, pengelolaan di tengah, dan penyaluran di hilir) selama puluhan tahun berubah drastis: terbuka di hilirnya.
Perubahan Raskin/Rastra jadi BPNT/Program Sembako membuat 6 tepat tak lagi jadi isu. Tapi Raskin/Rastra tak berdiri sendiri. Dia ada pasangannya: perlindungan produsen (petani) dan konsumen. Kala outlet Raskin/Rastra hilang, pengadaan/pengadaan beras domestik menurun drastis dan petani tak terlindungi. Kasus harga gabah kering panen di petani dan harga gabah kering giling di penggilingan jatuh di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) kian masif dua tahun terakhir (2020-2021). Beras Bulog menumpuk tak tersalur dan potensial turun mutu/rusak.
Penyediaan outlet penyaluran pengganti bernama Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga (KPSH) atau operasi pasar justru merusak pasar. Karena menyalahi prinsip operasi pasar, juga kembali mengulangi kesalahan subsidi umum. Di sisi lain, Bulog masih diwajibkan menyerap beras domestik dengan anggaran bank berbunga komersial. Perubahan ini bukan saja membuat operasional Bulog oleng, ketahanan pangan juga terancam. Secara politik, pemerintah bisa dipersalahkan karena dari aturan (ada UU, PP, Perpres dll) kebijakan perberasan masih terintegrasi.
Di sisi lain, BPNT/Program Sembako juga bukan tanpa masalah: harga beras lebih tinggi dari pasar, KPM tak bebas memilih, ada juga keluhan kualitas. Diketahui juga tak semua daerah selalu memutakhirkan data terpadu kesejahteraan sosial. Dibandingkan saat Bulog masih terlibat penuh dalam Raskin/Rastra (sebelum 2016) dan setelah tidak terlibat sama sekali (2020-2021), ada kecenderungan beras makin banyak: GKP, GKG jatuh, disparitas harga antarawilayah dan antarmusim kian tipis, penggilingan padi dan pedagang banyak yang bangkrut dll.
Bab ini merekomendasikan perlunya kembali mengintegrasikan kebijakan perberasan: hulu-tengah-hilir. Ada dua pilihan: membiayai semua anggaran pengadaan dalam rangka pengamanan HPP dan penggantian disposal stock yang terjadi. Atau kedua, mengintegrasikan kembali kebijakan perberasan dengan cara mengembalikan outlet beras Bulog untuk program BPNT/Program Sembako.
Bab III, “Pengelolaan CBP Oleh Bulog: Adakah Opsi Ideal?”, melacak evolusi cadangan beras pemerintah (CBP) dari 1970-an sampai saat ini. Sejak berdiri, Bulog mengelola CBP. Secara historis, pengertian, penganggaran, pelepasan CBP, regulasi tata kelola, dan bagaimana relasi harmonis Bulog-pemerintah (lewat kebijakan yang ada di UU, PP, Perpres, aneka peraturan menteri) yang naik-turun dilacak dari 1970-an sampai saat ini.
Yang menonjol, ada pergeseran pemahaman CBP di era Orde Baru dengan saat reformasi. Di Orde Baru, seluruh pembelian Bulog sepenuhnya jadi stok pemerintah untuk berbagai keperluan: operasi pasar, bantuan bencana, dll. Seluruh sistem operasi diserahkan ke Bulog. Di era reformasi hingga 2016, stok Bulog dipakai untuk mengisi Raskin/Rastra dan CBP. Stok Bulog dibiayai kredit bank berbunga komersial untuk mengisi Raskin/Rastra.
Pembiayaan CBP juga berubah: dari hanya pengadaan pertama dan biaya pemeliharaan tiap tahun jadi pembiayaan tiap tahun secara tetap Rp3 triliun dengan cara “membeli” beras Bulog. Tapi biaya perawatan, susut dan rusak, management fee, dan biaya beras turun mutu/tua yang harus dilelang belum dianggarkan. Pemisahan stok operasional Bulog dan CBP menimbulkan masalah dalam sistem operasi Bulog. Jika CBP berlebih akan meninggalkan sisa di akhir tahun, dan Bulog otomatis terbebani biaya perawatan dll yang tidak dianggarkan. Jika CBP kurang, maka untuk menambah perlu koordinasi dan proses yang memakan waktu.
Setelah Raskin/Rastra diubah jadi BNPT/Program Sembako dan outlet pasti beras Bulog di hilir hilang, pemerintah mensiasati dengan mengeluarkan skema baru CBP: Bulog bisa membeli beras petani dengan harga berapa saja, Bulog harus menjaga stok beras 1,5 juta ton tiap saat, beras yang turun mutu/usia lebih 4 bulan harus dilepaskan.
Yang paling drastis, ada perubahan sistem CBP: dari sistem persediaan ke penggantian. Jadi, saat ini pemerintah baru akan membayar Bulog (selisih) setelah CBP disalurkan. Perubahan ini, pertama, secara riil pemerintah tak punya persediaan fisik beras. Kedua, memudahkan pemerintah tapi menyulitkan Bulog. Kian disadari, mengelola CBP perlu perputaran stok besar dan cepat (yang saat ini tak ada), perlu dana besar dan kegiatan yang merugi. Dengan skema baru CBP, pendanaan dan kerugian itu ditumpukan ke Bulog. Padahal, Bulog mengemban tugas pelayanan publik dari negara yang mestinya dibiayai penuh oleh negara.
Bab ini juga dilengkapi pentingnya cadangan pangan, wabilkhusus CBP, dengan menengok kebijakan di negara-negara di Asia. Secara khusus diulas kebijakan cadangan pangan di China dan Malaysia yang menempuh kebijakan satu pintu, volume cadangan kian diperbesar, dan didukung anggaran penuh. China bahkan amat agresif: membeli lahan-lahan di berbagai negara untuk ditanami pangan dan dikirim ke China. China juga mengakuisisi sejumlah perusahaan pangan di AS, Australia, dll. Sebaliknya, CBP di Indonesia semakin tak jelas: jumlah tak pernah ditentukan, anggaran kian tak jelas, dll. Pendek kata, pemerintah cenderung lepas tangan.
Bab ini diakhiri dengan mengulas opsi-opsi tata kelola CBP (pengadaan, pengelolaan dan penyaluran, penganggaran, menghitung volume CBP, mekanisme pelepasan stok rusak/turun mutu, dll) yang ideal bagi Bulog yang bisa dipilih pemerintah. Ulasan dilengkapi kajian mendalam terhadap aneka regulasi (UU, PP, Perpres, peraturan menteri) tentang CBP. Ulasan juga dikaitkan dengan kebijakan pangan, wabilkhusus pengelolaan beras dan CBP, yang lebih terintegrasi dengan hadirnya Badan Pangan Nasional (National Food Agency/NFA) yang kepalanya ditunjuk/dilantik pada 21 Februari 2022.
Agar berdayaguna, di setiap akhir bab disajikan apa pembelajaran yang bisa diambil oleh pemerintah dan juga Bulog. Termasuk kebijakan apa yang bisa diambil oleh pemerintah, lewat NFA, untuk mengintegrasikan kebijakan perberasan hulu-tengah-hilir. NFA saat ini masih dalam tahap mencari bentuk. Kelembagaannya masih dalam tahap pengisian. Aneka kebijakan di bidang perberasan, terutama terkait relasi NFA sebagai regulator dengan Bulog sebagai operator, masih dalam tahap mencari bentuk dan penyusunan.
Karena itu, buku ini bisa menjadi salah satu jawaban atas berbagai kebutuhan terkini, baik bagi pemerintah (regulator di berbagai kementerian), NFA maupun Bulog dan BUMN bidang pangan. Lebih dari itu, buku ini menyajikan pelacakan ekonomi-politik dan historis relasi pemerintah (lewat kebijakan publik) dengan Bulog. Karena itu, buku ini bisa menjadi referensi bagi mahasiswa ekonomi pertanian, ekonomi-politik, dan studi pembangunan.
Kelebihan buku ini, jika bisa disebut begitu, adalah menyajikan pelacakan historis ekonomi-politik kebijakan perberasan dan Bulog. Sepanjang yang saya tahu, belum ada buku yang menulis topik seperti ini. Buku tentang beras sudah banyak, bahkan banyak sekali. Termasuk buku saya, Ironi Negeri Beras (terbit 2008). Tapi sebagian besar buku-buku itu tidak ada yang secara khusus mengaitkannya dengan eksistensi Bulog. Itu yang pertama.
Kedua, buku ini selain melacak jejak historis seperti dipaparkan di atas, juga mengulas kondisi terkini. Termasuk mengaitkannya dengan rekomendasi Ombudsman RI, Oktober 2021, tentang tata kelola CBP. Ulasan tidak hanya berbasis buku, jurnal, dan makalah, tetapi juga analisis penulis yang mengikuti isu beras sejak puluhan tahun lalu dengan data yang kaya. Selain itu, saya berdiskusi dengan banyak orang untuk memperdalam isu ini.
Judul : Bulog dan Politik Perberasan
Penulis : Khudori
Terbit : Mei 2022
Penerbit : Obor
(hdr)