Dari Tiga Ketum Partai di KIB, Airlangga Paling Berpeluang Diusung
loading...
A
A
A
JAKARTA - Koalisi Indonesia Baru (KIB) telah dibentuk oleh tiga partai politik (parpol). Ketiga parpol itu yakni Partai Golkar dengan Ketua Umum (Ketum) Airlangga Hartarto, PAN dengan Ketum Zulkifli Hasan, dan PPP dengan Ketumnya Suharso Monoarfa.
"Airlangga yang berpeluang. Airlangga itu sudah secara resmi ditetapkan Golkar dalam Munas dan Rapimnas sebagai capres. Dan Golkar juga mendapatkan kursi terbesar di DPR jika dibandingkan dengan PAN dan PPP," kata Ujang, Kamis (9/6/2022).
Ujang menjelaskan, bisa saja KIB melakukan kombinasi untuk mengusung figur internal dan eksternal. Misalnya capres dari dalam koalisi dan cawapresnya berasal dari luar.
"Atau bisa juga kombinasi figur internal dengan tokoh eksternal. Soal namanya tentu KIB yang tahu," jelas Ujang.
Jika disandingkan dengan tokoh eksternal di luar KIB, Ujang menyampaikan, bilamana Airlangga yang tetap memiliki kans menjadi capres. Hanya saja KIB harus teliti mencari pasangan cawapresnya agar meraup suara dari masyarakat.
"Dengan sosok yang memiliki elektabilitas tinggi. Siapapun dia," tandasnya.
Sementara Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelora Indonesia Fahri Hamzah mengkritisi pembentukan KIB. Karena dalam sistem presidensial, tidak dikenal adanya pembentukan koalisi.
"Problemnya gini, di Indonesia ini tidak ada aturan mengenai koalisi, karena kita sistemnya presidensialisme," kata Fahri kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, dikutip Rabu (8/6/2022).
"Dalam sistem itu tidak ada koalisi, itu yang perlu disadari dulu, ini bukan parlementer. Kalau parlementer ada koalisi, pembentukan koalisi itu identik dengan pembentukan the ruling majority dalam parlementer," tambahnya.
Fahri menjelaskan, dalam sistem presidensial tidak ada koalisi. Dalam sistem ini rakyat memilih presiden atau dengan kata lain presiden berkoalisi dengan rakyat. Sementara DPR dipilih oleh rakyat sebagai pengawas dan oposisi terhadap eksekutif, dan tidak ada koalisi.
Bahkan, Fahri menjelaskan, sebenarnya parpol itu tidak boleh berkoalisi di dalam sistem presidensial, sebab itu artinya persekongkolan.
Karena menurutnya, rakyat memilih anggota DPR itu harus menjadi oposisi, tidak boleh anggota DPR mendukung pemerintah, karena bunyi konstitusi yakni Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) demikian.
"Jadi saya kira elite kita ada semacam kekurangan memahami sistem kita ini bahwa tidak ada yang namanya koalisi di dalam sistem presidensial ini. Coba cek di seluruh dunia, tidak ada, koalisi itu terminologi dalam parlementer, bingung saya," tukas Fahri.
Lihat Juga: PDIP Anggap Janggal Hakim PTUN Tak Menerima Gugatan Pencalonan Gibran: Kita Menang Dismissal
"Airlangga yang berpeluang. Airlangga itu sudah secara resmi ditetapkan Golkar dalam Munas dan Rapimnas sebagai capres. Dan Golkar juga mendapatkan kursi terbesar di DPR jika dibandingkan dengan PAN dan PPP," kata Ujang, Kamis (9/6/2022).
Ujang menjelaskan, bisa saja KIB melakukan kombinasi untuk mengusung figur internal dan eksternal. Misalnya capres dari dalam koalisi dan cawapresnya berasal dari luar.
"Atau bisa juga kombinasi figur internal dengan tokoh eksternal. Soal namanya tentu KIB yang tahu," jelas Ujang.
Jika disandingkan dengan tokoh eksternal di luar KIB, Ujang menyampaikan, bilamana Airlangga yang tetap memiliki kans menjadi capres. Hanya saja KIB harus teliti mencari pasangan cawapresnya agar meraup suara dari masyarakat.
"Dengan sosok yang memiliki elektabilitas tinggi. Siapapun dia," tandasnya.
Sementara Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelora Indonesia Fahri Hamzah mengkritisi pembentukan KIB. Karena dalam sistem presidensial, tidak dikenal adanya pembentukan koalisi.
"Problemnya gini, di Indonesia ini tidak ada aturan mengenai koalisi, karena kita sistemnya presidensialisme," kata Fahri kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, dikutip Rabu (8/6/2022).
"Dalam sistem itu tidak ada koalisi, itu yang perlu disadari dulu, ini bukan parlementer. Kalau parlementer ada koalisi, pembentukan koalisi itu identik dengan pembentukan the ruling majority dalam parlementer," tambahnya.
Fahri menjelaskan, dalam sistem presidensial tidak ada koalisi. Dalam sistem ini rakyat memilih presiden atau dengan kata lain presiden berkoalisi dengan rakyat. Sementara DPR dipilih oleh rakyat sebagai pengawas dan oposisi terhadap eksekutif, dan tidak ada koalisi.
Bahkan, Fahri menjelaskan, sebenarnya parpol itu tidak boleh berkoalisi di dalam sistem presidensial, sebab itu artinya persekongkolan.
Karena menurutnya, rakyat memilih anggota DPR itu harus menjadi oposisi, tidak boleh anggota DPR mendukung pemerintah, karena bunyi konstitusi yakni Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) demikian.
"Jadi saya kira elite kita ada semacam kekurangan memahami sistem kita ini bahwa tidak ada yang namanya koalisi di dalam sistem presidensial ini. Coba cek di seluruh dunia, tidak ada, koalisi itu terminologi dalam parlementer, bingung saya," tukas Fahri.
Lihat Juga: PDIP Anggap Janggal Hakim PTUN Tak Menerima Gugatan Pencalonan Gibran: Kita Menang Dismissal
(maf)