Hanya Satu IDI untuk Rakyat Indonesia

Kamis, 09 Juni 2022 - 14:26 WIB
loading...
A A A
Keinsyafan dan moral tinggi para pendiri IDI perlu diteladani oleh Indonesia setelahnya. Moral etik profesi sudah melekat pada diri mereka masing-masing. Melalui kebiasaan berdialog secara demoktaris, moral etik individu berkembang menjadi moral etik komunitas, yang menjadi modal dasar untuk mendirikan dan mengembangkan organisasi profesi dokter yang baru.

Kembali pada rapat di Jalan Kramat 106. Dokter Seno Sastroamidjojo mengusulkan pembentukan panitia penyelenggara Muktamar Dokter WNI, diketua dr. Bahder Djohan. Panitia ditugaskan untuk menyelenggarakan Muktamar Dokter WNI, 22-25 September. Usulan itu disetujui oleh peserta yang lain. Tujuan muktamar ialah untuk mendirikan satu organisasi baru, yaitu perkumpulan dokter WNI, yang merupakan representasi dunia dokter dan dunia kedokteran Indonesia ke dalam dan ke luar negeri.

Langkah pertama yang dilakukan adalah mengirim undangan muktamar kepada seluruh dokter warga negara Indonesia, saat itu berjumlah 262 orang. Dilampiri draft Anggaran Dasar serta kuesioner berisi pertanyaan yang harus diisi. Pertama, apakah dalam prinsip setuju mendirikan perkumpulan dokter warga negara Indonesia? Kedua, apakah dalam prinsip setuju dengan draft atau rancangan Anggaran Dasar? Sebanyak 224 dokter yang membalas surat dan mengisi kuesioner.

Muktamar dihadiri 181 dokter WNI dan bersepakat membentuk organisasi profesi dokter warga negara Indonesia dengan nama Ikatan Dokter Indonesia.

Sebulan kemudian, tepat 24 Oktober 1950, dr. Soeharto yang mewakili panitia Dewan Pimpinan Pusat IDI, atas nama diri sendiri dan atan nama pengusus IDI lainnya, yakni dr. Sarwono Prawirohardjo, dr. Pirngadi, dr. Tang Eng Tie (alias dr. Arief Sukardi), Letkol dr. Aziz Saleh, serta dr. Hadrianus Sinaga, menghadap notaris R. Kardiman. Tujuannya untuk mencatatkan Ikatan Dokter Indonesia kepada notaris agar mendapatkan dasar hukum berdirinya perkumpulan dokter Indonesia dengan nama Ikatan Dokter Indonesia. Sejak berdirinya IDI maka sampai sekarang hanya IDI yang menjadi Ikatan untuk berkumpul profesi dokter di Indonesia.

Mengapa Hanya Satu IDI?

Profesi dokter itu melayani hampir semua lapisan masyarakat secara langsung. Organisasi profesi itu membuat dan menerapkan stadar profesi. Bila standar profesinya berbeda bagaimana mengevaluasinya? Organisasi profesi juga membuat dan menerapkan etika dan kode etik. Bagaimana kalau etika dan kode etiknya berbeda? Ketika seorang dokter dinilai melakukan pelanggaran etika oleh organisasi profesinya, bolehkah ia pindah keanggotaan ke organisasi agar terhindar dari sanksi tersebut? Dan seterusnya.

Bahwa ada segelintir orang berpendapat, atas dasar kebebasan berserikat maka organisasi profesi dokter dalam satu negara boleh lebih dari satu, tentu perlu diluruskan sebelum menyesatkan. Sebab, organisasi profesi dokter itu bukan organisasi biasa, ia sangat unik. Dan, bagi yang ingin mendirikan organisasi profesi sebaiknya belajar dari kemurnian niat dan keluhuran cita-cita para pendiri IDI.

Dengan keinsyafaan dan moral yang tinggi, para pendiri IDI lebih mengutamakan persatuan dalam kesejawatan dibanding perpecahan. Tujuannya, agar organisasi profesi dokter yang baru didirikannya menjadi representasi dunia dokter dan dunia kedokteran Indonesia ke dalam dan ke luar negeri. Mereka pun ingin sekali meningkatkan harkat dokter Indonesia agar setara dengan dokter di negara lain. Bahkan mereka ingin agar profesi dokter Indonesia selalu dipandang sebagai Officium Nobile (jabatan mulia), yang menjaga martabat dan kehormatan masyarakat. Ingin menjadi moral community (masyarakat moral), yang memiliki cita-cita dan nilai bersama.

Bila merujuk kepada negara-negara anggota Word Medical Association (WMA) kita pun menemukan hanya satu organisasi profesi dokter yang menjadi representasi seluruh dokter untuk satu negara. Bahwa kemudian lahir perhimpunan dokter berdasarkan spesialisasi dan keseminatan, namun semua menginduk pada hanya satu organisasi profesi saja. Dokter WNI pun demikian, mempersembahkan hanya satu IDI untuk rakyat Indonesia. Seperti halnya, hanya satu NKRI untuk rakyat Indonesia.

Mendirikan organisasi profesi tidak boleh sembarangan, harus memiliki cita-cita luhur yang mengedepankan independensi dan otonomi profesi serta mengutamakan kepentingan masyarakat. Profesi itu sangat spesifik oleh sebab itu mengurusnya pun spesifik, dengan keinsyafan dan moral yang tinggi. “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (HR Bukhari). Wallahu a'lam bishawab.

Baca Juga: koran-sindo.com
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1860 seconds (0.1#10.140)