Hanya Satu IDI untuk Rakyat Indonesia
loading...
A
A
A
Zaenal Abidin
Ketua Umum PB IDI periode 2012-2015 dan Sekjen PB IDI periode 2006 - 2009
YUDI Latif menulis dalam buku “Pendidikan yang Berkebudayaan” bahwa karena pemerintah membutuhkan tenaga-tenaga medis terampil maka sejak 1822 dimulailah pelatihan juru medis melalui kursus-kursus vaksinator. Kursus-kursus ini kemudian dikembangkan menjadi Sekolah Dokter Djawa pada 1851.
Awalnya sekolah kejuruan ini diperuntukkan bagi anak priyai, namun anak priyai lebih suka bersekolah di Sekolah Radja. Nah, untuk menarik minat pendaftar pemerintah memberi sejumlah insentif berupa beasiswa dan janji menjadi pegawai pemerintah.
Khusus untuk Sekolah Dokter Djawa sejak 1891 dibuatkan pengaturan khusus yang memungkinkan para siswa yang berminat masuk sekolah ini bisa masuk ke Europeesch Lagere School (ELS). Dan, pada akhirnya banyak dari keluarga priyai rendahan yang berminat. Bahkan sering dari keluarga pedagang serta penduduk desa. Tahun 1900-1902, Sekolah Dokter Djawa diubah menjadi STOVIA (School tot Opleiding van Artsen).
Menjelang Lahirnya IDI
Situasi politik awal kemerdekaan menyebabkan dokter-dokter pribumi masih kesulitan mendirikan organisasi yang berskala nasional, walau sudah aktif berorganisasi. Karena itu tidak dapat dipungkiri banyak dokter menjadi pejuang kemerdekaan NKRI. Ketika itu dokter-dokter pribumi tersebar di daerah pendudukan dan daerah republik federal. Belum lagi saat itu terdapat empat macam dokter berdasarkan kelulusannya. Ada dokter Jawa lulusan Sekolah Dokter Jawa, ada Indische Arts lulusan sekolah dokter pribumi STOVIA dan NIAS Surabaya, serta dokter lulusan Faculteit Medica Batavia (1927), dan bahkan ada dokter Indonesia lulusan luar negeri.
Tahun 1948 barulah dokter-dokter Indonesia memiliki kesempatan mendirikan organisasi profesi, namanya Perkumpulan Dokter Indonesia (PDI). Pendiriannya dimotori oleh para dokter muda di bawah pimpinan dr. Darma Setiawan Notohadmojo. PDI lahir pada awal revolusi kemerdekaan sehingga berfungsi pula sebagai badan perjuangan di daerah-daerah pendudukan Belanda. Pada waktu yang hampir besamaan, berkembang juga Persatuan Perthabiban Indonesia (Perthabin) Cabang Yoyakarta.
Dua tahun setelah berdirinya PDI dan Perthabin, para pimpinan kedua organisasi profesi itu mengadakan pertemuan guna mendirikan sebuah organisasi kedokteran Indonesia yang baru. Tanggal 30 Juli 1950 pimpinan PDI dan Perthabin mengadakan rapat di rumah dr. Soeharto, Jalan Kramat 106 Jakarta (kini adalah Apotek Titimurni). Perthabin diwakili oleh dr. Abdul Rasjid dan dari PDI hadir dr. Soeharto, dr. Bahder Djohan, dr. Seno Sastroamidjojo dan lain-lain.
Peserta rapat berpendapat bahwa pada era sebelum kemerdekaan, dokter-dokter pribumi belum sempat mendirikan organisasi profesi sendiri. Walau sebelumnya pernah ada Verinigin van Indonesische Artsen sebagai tempat dokter pribumi berkumpul namun tidak berlangsung lama, dibubarkan oleh pendudukan Jepang. Karena itu, peserta rapat menginginkan sebuah perkumpulan dokter baru yang aggotanya hanya terdiri dari para dokter pribumi saja. Mereka pun bersepakat membentuk Dokter Warga Negara Indonesia (WNI).
Dokter Bahder Djohan menuturkan kesannya pada rapat 30 Juli 1950 itu dalam Majalah Kedokteran Indonesia 1962 berikut ini. “Kalau bukan karena moral yang tinggi dan tanggung jawab yang penuh keinsyafan dan kesadaran yang tinggi dari pemuka kedua pihak, maka kemungkinan akan terjadi suatu perpecahan. Tetapi moral yang tinggi dari kedua mereka yang bertanggung jawab telah membawa penyelesaian yang mulia…”
Pelajaran yang dapat dipetik dari para pendiri IDI di atas adalah bila ingin mendirikan organisasi profesi dokter maka para pendirinya harus memiliki moral tinggi, tanggung jawab yang penuh keinsyafan, disertai kesadaran yang tinggi bahwa mereka akan mendirikan organisasi profesi yang luhur. Tanpa nilai luhur seperti yang dikatakan dr. Bahder Djohan di atas maka organisasi IDI tidak terbentuk. Andai pun lahir, tidak akan bertahan sampai sekarang. Sebab, pasti ditolak oleh para dokter serta tidak akan diterima masyarakat. Ibarat bunga, “layu sebelum berkembang.”
Ketua Umum PB IDI periode 2012-2015 dan Sekjen PB IDI periode 2006 - 2009
YUDI Latif menulis dalam buku “Pendidikan yang Berkebudayaan” bahwa karena pemerintah membutuhkan tenaga-tenaga medis terampil maka sejak 1822 dimulailah pelatihan juru medis melalui kursus-kursus vaksinator. Kursus-kursus ini kemudian dikembangkan menjadi Sekolah Dokter Djawa pada 1851.
Awalnya sekolah kejuruan ini diperuntukkan bagi anak priyai, namun anak priyai lebih suka bersekolah di Sekolah Radja. Nah, untuk menarik minat pendaftar pemerintah memberi sejumlah insentif berupa beasiswa dan janji menjadi pegawai pemerintah.
Khusus untuk Sekolah Dokter Djawa sejak 1891 dibuatkan pengaturan khusus yang memungkinkan para siswa yang berminat masuk sekolah ini bisa masuk ke Europeesch Lagere School (ELS). Dan, pada akhirnya banyak dari keluarga priyai rendahan yang berminat. Bahkan sering dari keluarga pedagang serta penduduk desa. Tahun 1900-1902, Sekolah Dokter Djawa diubah menjadi STOVIA (School tot Opleiding van Artsen).
Menjelang Lahirnya IDI
Situasi politik awal kemerdekaan menyebabkan dokter-dokter pribumi masih kesulitan mendirikan organisasi yang berskala nasional, walau sudah aktif berorganisasi. Karena itu tidak dapat dipungkiri banyak dokter menjadi pejuang kemerdekaan NKRI. Ketika itu dokter-dokter pribumi tersebar di daerah pendudukan dan daerah republik federal. Belum lagi saat itu terdapat empat macam dokter berdasarkan kelulusannya. Ada dokter Jawa lulusan Sekolah Dokter Jawa, ada Indische Arts lulusan sekolah dokter pribumi STOVIA dan NIAS Surabaya, serta dokter lulusan Faculteit Medica Batavia (1927), dan bahkan ada dokter Indonesia lulusan luar negeri.
Tahun 1948 barulah dokter-dokter Indonesia memiliki kesempatan mendirikan organisasi profesi, namanya Perkumpulan Dokter Indonesia (PDI). Pendiriannya dimotori oleh para dokter muda di bawah pimpinan dr. Darma Setiawan Notohadmojo. PDI lahir pada awal revolusi kemerdekaan sehingga berfungsi pula sebagai badan perjuangan di daerah-daerah pendudukan Belanda. Pada waktu yang hampir besamaan, berkembang juga Persatuan Perthabiban Indonesia (Perthabin) Cabang Yoyakarta.
Dua tahun setelah berdirinya PDI dan Perthabin, para pimpinan kedua organisasi profesi itu mengadakan pertemuan guna mendirikan sebuah organisasi kedokteran Indonesia yang baru. Tanggal 30 Juli 1950 pimpinan PDI dan Perthabin mengadakan rapat di rumah dr. Soeharto, Jalan Kramat 106 Jakarta (kini adalah Apotek Titimurni). Perthabin diwakili oleh dr. Abdul Rasjid dan dari PDI hadir dr. Soeharto, dr. Bahder Djohan, dr. Seno Sastroamidjojo dan lain-lain.
Peserta rapat berpendapat bahwa pada era sebelum kemerdekaan, dokter-dokter pribumi belum sempat mendirikan organisasi profesi sendiri. Walau sebelumnya pernah ada Verinigin van Indonesische Artsen sebagai tempat dokter pribumi berkumpul namun tidak berlangsung lama, dibubarkan oleh pendudukan Jepang. Karena itu, peserta rapat menginginkan sebuah perkumpulan dokter baru yang aggotanya hanya terdiri dari para dokter pribumi saja. Mereka pun bersepakat membentuk Dokter Warga Negara Indonesia (WNI).
Dokter Bahder Djohan menuturkan kesannya pada rapat 30 Juli 1950 itu dalam Majalah Kedokteran Indonesia 1962 berikut ini. “Kalau bukan karena moral yang tinggi dan tanggung jawab yang penuh keinsyafan dan kesadaran yang tinggi dari pemuka kedua pihak, maka kemungkinan akan terjadi suatu perpecahan. Tetapi moral yang tinggi dari kedua mereka yang bertanggung jawab telah membawa penyelesaian yang mulia…”
Pelajaran yang dapat dipetik dari para pendiri IDI di atas adalah bila ingin mendirikan organisasi profesi dokter maka para pendirinya harus memiliki moral tinggi, tanggung jawab yang penuh keinsyafan, disertai kesadaran yang tinggi bahwa mereka akan mendirikan organisasi profesi yang luhur. Tanpa nilai luhur seperti yang dikatakan dr. Bahder Djohan di atas maka organisasi IDI tidak terbentuk. Andai pun lahir, tidak akan bertahan sampai sekarang. Sebab, pasti ditolak oleh para dokter serta tidak akan diterima masyarakat. Ibarat bunga, “layu sebelum berkembang.”