T20 Ajak Dunia Kembali Fokus Tangani Perubahan Iklim
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Pelaksana Bank Dunia Mari Elka Pangestu berharap konflik Rusia dan Ukraina yang masih berlangsung tak akan memengaruhi agenda perubahan iklim . Hal itu penting karena menekan terjadinya perubahan iklim diharapkan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi berkelanjutan di masa mendatang.
"Tetapi memang kenyataannya bahwa ruang fiskal menjadi jauh lebih terbatas," ujar Mari dalam Webinar Think 20 (T20), Sabtu (4/6/2022). Baca juga: Anies: Formula E Jadi Pesan Tanggung Jawab Indonesia Terhadap Perubahan Iklim
Selain itu, ia menilai dalam jangka pendek beberapa negara maju dan banyak negara lain kemungkinan akan menunda langkah untuk keluar dari bahan bakar fosil hanya karena masalah keamanan energi yang disebabkan oleh perang kedua negara. Baca juga:
Saat ini terdapat isu ketahanan energi yang bercampur antara argumen penundaan baru transisi kepada energi terbarukan dengan percepatan transisi energi terbarukan yang lebih besar. "Ini menjadi semacam salah satu ketegangan," ungkap dia.
Oleh karenanya, Mari berpendapat pentingnya memiliki ketahanan energi, serta aksesibilitas, keterjangkauan, dan keandalan melalui diversifikasi seluruh sumber energi, termasuk energi terbarukan. Saat ini banyak dunia berfokus pada transisi energi dalam agenda perubahan iklim lantaran sektor tersebut merupakan penyumbang emisi karbondioksida terbesar.
Di sisi lain, penghasil emisi karbondioksida terbesar adalah negara maju dan beberapa grup negara berpenghasilan menengah. Namun di saat bersamaan, lanjut dia, beberapa negara masih menangani akses energi di negara-negara termiskin. Ada sekitar 760 juta orang di dunia yang tidak memiliki listrik serta satu miliar orang tak memiliki akses ke listrik yang andal.
"Jadi ini menjadi pertanyaan besar. Bagaimana kita bisa melakukannya dengan benar? Bagaimana kita bisa sampai di sana," tutup Mari.
Sementara Lead Co-Chair T20 Indonesia Bambang Brodjonegoro mengatakan dunia membutuhkan investasi terkait iklim sebesar USD125 triliun untuk mencapai emisi nol bersih pada 2050, jika mengutip data The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
"Ini termasuk investasi tahunan sebesar USD32 triliun di enam sektor utama yang menyumbang sepertiga dari produk domestik bruto (PDB) dunia tahun 2021," ungkapnya.
Adapun keenam sektor yang dimaksud adalah listrik yang membutuhkan USD16 triliun , transportasi sebesar USD5,4 triliun, dan gedung sebanyak USD5,2 triliun. Kemudian, sektor industri yang membutuhkan investasi sebesar USD2,2 triliun, bahan bakar emisi rendah senilai USD1,5 triliun, serta agrikultur, kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya sebanyak USD1,5 triliun.
Kendati begitu, Bambang berpendapat terdapat permasalahan mengenai kesenjangan yang lebar antara kapasitas pembiayaan ekonomi hijau negara berkembang dengan negara maju.
"Kapasitas ekonomi negara berkembang secara alami lebih rendah daripada negara maju. Tidak mengherankan bahwa mereka memiliki kapasitas fiskal dan moneter yang lebih kecil," jelasnya.
Menurut dia, hal tersebut diperburuk dengan pandemi yang telah mengambil ruang pembiayaan dan membutuhkan tindakan transisi iklim yang lebih besar. Banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah yang memiliki komitmen terhadap dekarbonisasi, sering terhambat oleh ruang fiskal yang terbatas dan kendala pembiayaan eksternal yang mengikat.
Bahkan sebelum Covid-19, lanjut dia upaya dekarbonisasi skala besar di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah mengorbankan anggaran lainnya yang penting untuk agenda pembangunan ekonomi jangka panjang seperti infrastruktur dasar, sekolah, dan rumah sakit.
"Covid-19 semakin memperparah kendala fiskal yang dihadapi negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah," ucap dia.
Maka dari itu, ia berharap kolaborasi antar negara sangat diperlukan untuk menjawab tantangan yang ada untuk mengatasi perubahan iklim.
"Tetapi memang kenyataannya bahwa ruang fiskal menjadi jauh lebih terbatas," ujar Mari dalam Webinar Think 20 (T20), Sabtu (4/6/2022). Baca juga: Anies: Formula E Jadi Pesan Tanggung Jawab Indonesia Terhadap Perubahan Iklim
Selain itu, ia menilai dalam jangka pendek beberapa negara maju dan banyak negara lain kemungkinan akan menunda langkah untuk keluar dari bahan bakar fosil hanya karena masalah keamanan energi yang disebabkan oleh perang kedua negara. Baca juga:
Saat ini terdapat isu ketahanan energi yang bercampur antara argumen penundaan baru transisi kepada energi terbarukan dengan percepatan transisi energi terbarukan yang lebih besar. "Ini menjadi semacam salah satu ketegangan," ungkap dia.
Oleh karenanya, Mari berpendapat pentingnya memiliki ketahanan energi, serta aksesibilitas, keterjangkauan, dan keandalan melalui diversifikasi seluruh sumber energi, termasuk energi terbarukan. Saat ini banyak dunia berfokus pada transisi energi dalam agenda perubahan iklim lantaran sektor tersebut merupakan penyumbang emisi karbondioksida terbesar.
Di sisi lain, penghasil emisi karbondioksida terbesar adalah negara maju dan beberapa grup negara berpenghasilan menengah. Namun di saat bersamaan, lanjut dia, beberapa negara masih menangani akses energi di negara-negara termiskin. Ada sekitar 760 juta orang di dunia yang tidak memiliki listrik serta satu miliar orang tak memiliki akses ke listrik yang andal.
"Jadi ini menjadi pertanyaan besar. Bagaimana kita bisa melakukannya dengan benar? Bagaimana kita bisa sampai di sana," tutup Mari.
Sementara Lead Co-Chair T20 Indonesia Bambang Brodjonegoro mengatakan dunia membutuhkan investasi terkait iklim sebesar USD125 triliun untuk mencapai emisi nol bersih pada 2050, jika mengutip data The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
"Ini termasuk investasi tahunan sebesar USD32 triliun di enam sektor utama yang menyumbang sepertiga dari produk domestik bruto (PDB) dunia tahun 2021," ungkapnya.
Adapun keenam sektor yang dimaksud adalah listrik yang membutuhkan USD16 triliun , transportasi sebesar USD5,4 triliun, dan gedung sebanyak USD5,2 triliun. Kemudian, sektor industri yang membutuhkan investasi sebesar USD2,2 triliun, bahan bakar emisi rendah senilai USD1,5 triliun, serta agrikultur, kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya sebanyak USD1,5 triliun.
Kendati begitu, Bambang berpendapat terdapat permasalahan mengenai kesenjangan yang lebar antara kapasitas pembiayaan ekonomi hijau negara berkembang dengan negara maju.
"Kapasitas ekonomi negara berkembang secara alami lebih rendah daripada negara maju. Tidak mengherankan bahwa mereka memiliki kapasitas fiskal dan moneter yang lebih kecil," jelasnya.
Menurut dia, hal tersebut diperburuk dengan pandemi yang telah mengambil ruang pembiayaan dan membutuhkan tindakan transisi iklim yang lebih besar. Banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah yang memiliki komitmen terhadap dekarbonisasi, sering terhambat oleh ruang fiskal yang terbatas dan kendala pembiayaan eksternal yang mengikat.
Bahkan sebelum Covid-19, lanjut dia upaya dekarbonisasi skala besar di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah mengorbankan anggaran lainnya yang penting untuk agenda pembangunan ekonomi jangka panjang seperti infrastruktur dasar, sekolah, dan rumah sakit.
"Covid-19 semakin memperparah kendala fiskal yang dihadapi negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah," ucap dia.
Maka dari itu, ia berharap kolaborasi antar negara sangat diperlukan untuk menjawab tantangan yang ada untuk mengatasi perubahan iklim.
(kri)