Mitigasi Dampak Kenaikan Iuran JKN
loading...
A
A
A
Timboel Siregar
Koordinator Advokasi BPJS Watch dan Sekjen OPSI-KRPI
KEHADIRAN Peraturan Presiden (Perpres) No. 64 Tahun 2020 tiba-tiba menyentak peserta mandiri Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Iuran peserta mandiri JKN yang sudah diturunkan oleh Mahkamah Agung (MA) dengan batalnya Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Perpres No. 75 Tahun 2019, akan naik lagi per 1 Juli 2020 untuk kelas 1 dan 2, dan untuk kelas 3 per 1 Januari 2021. Kenaikan iuran JKN tersebut dituangkan di Pasal 34 Perpres No. 64 Tahun 2020.
Putusan MA yang dibacakan pada 27 Februari 2020 lalu disambut baik peserta mandiri, namun putusan tersebut hanya berlaku tiga bulan. Per 1 Juli 2020, iuran kelas 1 akan naik menjadi Rp150.000, kelas 2 menjadi Rp.100.000, dan per 1 Januari 2021 kelas 3 menjadi Rp35.000. Pemerintah menggunakan Pasal 27 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional juncto Pasal 38 ayat (1) Perpres No. 82 Tahun 2018 yang mengamanatkan iuran JKN ditinjau paling lambat dua tahun, untuk menaikkan lagi iuran di tengah pandemi Covid-19 ini.
Menurut saya, kenaikan iuran JKN di saat pandemi Covid-19 ini tidak tepat waktunya; walaupun secara yuridis, pemerintah memiliki kewenangan untuk itu. Mengacu pada pertimbangan hukum putusan MA yang menyebutkan daya beli masyarakat masih rendah dan pelayanan BPJS Kesehatan belum membaik secara signifikan, sebagai dasar argumentasi untuk membatalkan kenaikan iuran di Pasal 34 Perpres No. 75 Tahun 2019, seharusnya kenaikan iuran ditunda hingga kondisi ekonomi membaik.
Daya beli masyarakat yang menurun ini, salah satunya ditunjukkan dengan terjadinya deflasi bahan pangan sebesar 0,13% pada April lalu, dan deflasinya meningkat menjadi 0,32% pada Mei. Untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan saja sudah sulit, pemerintah malah menaikkan iuran JKN pada Juli nanti.
Demikian juga pelayanan BPJS Kesehatan belum membaik. Pasal 68 ayat (1) Perpres No. 82 Tahun 2018 melarang fasilitas kesehatan menarik biaya pelayanan, namun pasien JKN harus membayar tes Covid-19 sebelum rawat inap. Seharusnya BPJS Kesehatan memastikan pasien JKN tidak membayar lagi ketika akan dirawat.
Kehadiran Peraturan BPJS Kesehatan No. 1 Tahun 2020 tentang Prosedur Penjaminan Operasi Katarak dan Rehabilitasi Medik dalam JKN akan berpotensi mempersulit pasien JKN mendapat layanan operasi katarak dan rehabilitasi medik. Peraturan BPJS Kesehatan ini merupakan replika Peraturan Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan No. 2 Tahun 2018 tentang Katarak dan No. 5 Tahun 2018 tentang Rehabilitasi Medik, yang sudah dibatalkan oleh MA. Persoalan pelayanan lainnya seperti pasien JKN membeli obat sendiri dan sulitnya mendapatkan kamar perawatan, kerap kali masih terjadi.
Turun Kelas Perawatan dan Nonaaktif
Ketika Perpres No. 75 Tahun 2019 yang ditetapkan tanggal 24 Oktober 2019 dirilis ke publik, paling tidak ada dua respons peserta atas kenaikan iuran ini yaitu peserta kelas 1 dan kelas 2 turun kelas perawatan, dan peserta menjadi nonaktif. Tentunya dengan dua respons ini, pendapatan iuran dari peserta mandiri berpotensi menurun.
Tentang respons turun kelas, membandingkan data peserta kelas 1 dan 2 di akhir Oktober 2019 dengan akhir Februari 2020, ada penurunan kepesertaan di kelas 1 sebanyak 854.349 orang (per 31 Oktober 2019 peserta kelas 1 sebanyak 4.400.791 orang, dan di 29 Februari 2020 menjadi 3.546.442 orang). Sementara itu, penurunan kepesertaan di kelas 2 sebanyak 1.201.232 orang (per 31 Oktober 2019 peserta kelas 2 sebanyak 6.660.191 orang, dan di 29 Februari 2020 menjadi 5.458.959 orang).
Selain potensi pendapatan menurun, banyaknya peserta yang turun kelas menyebabkan jumlah peserta kelas 3 semakin besar (per 29 Februari 2020 jumlahnya 155.013.529 orang atau 69,5%). Dengan jumlah tempat tidur di kelas 3 yang terbatas, 126.696 atau 40,78% (sumber : Ditjen Pelayanan Kesehatan, Kemenkes RI, 2019, per 9 Januari 2019 ), peningkatan jumlah peserta kelas 3 ini akan menurunkan akses peserta PBI yang miskin mendapat ruang perawatan kelas 3, sementara peserta kelas 3 yang mampu akan dengan mudah naik ke kelas 2 menggunakan Peraturan Menteri Kesehatan No. 51 Tahun 2018.
Koordinator Advokasi BPJS Watch dan Sekjen OPSI-KRPI
KEHADIRAN Peraturan Presiden (Perpres) No. 64 Tahun 2020 tiba-tiba menyentak peserta mandiri Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Iuran peserta mandiri JKN yang sudah diturunkan oleh Mahkamah Agung (MA) dengan batalnya Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Perpres No. 75 Tahun 2019, akan naik lagi per 1 Juli 2020 untuk kelas 1 dan 2, dan untuk kelas 3 per 1 Januari 2021. Kenaikan iuran JKN tersebut dituangkan di Pasal 34 Perpres No. 64 Tahun 2020.
Putusan MA yang dibacakan pada 27 Februari 2020 lalu disambut baik peserta mandiri, namun putusan tersebut hanya berlaku tiga bulan. Per 1 Juli 2020, iuran kelas 1 akan naik menjadi Rp150.000, kelas 2 menjadi Rp.100.000, dan per 1 Januari 2021 kelas 3 menjadi Rp35.000. Pemerintah menggunakan Pasal 27 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional juncto Pasal 38 ayat (1) Perpres No. 82 Tahun 2018 yang mengamanatkan iuran JKN ditinjau paling lambat dua tahun, untuk menaikkan lagi iuran di tengah pandemi Covid-19 ini.
Menurut saya, kenaikan iuran JKN di saat pandemi Covid-19 ini tidak tepat waktunya; walaupun secara yuridis, pemerintah memiliki kewenangan untuk itu. Mengacu pada pertimbangan hukum putusan MA yang menyebutkan daya beli masyarakat masih rendah dan pelayanan BPJS Kesehatan belum membaik secara signifikan, sebagai dasar argumentasi untuk membatalkan kenaikan iuran di Pasal 34 Perpres No. 75 Tahun 2019, seharusnya kenaikan iuran ditunda hingga kondisi ekonomi membaik.
Daya beli masyarakat yang menurun ini, salah satunya ditunjukkan dengan terjadinya deflasi bahan pangan sebesar 0,13% pada April lalu, dan deflasinya meningkat menjadi 0,32% pada Mei. Untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan saja sudah sulit, pemerintah malah menaikkan iuran JKN pada Juli nanti.
Demikian juga pelayanan BPJS Kesehatan belum membaik. Pasal 68 ayat (1) Perpres No. 82 Tahun 2018 melarang fasilitas kesehatan menarik biaya pelayanan, namun pasien JKN harus membayar tes Covid-19 sebelum rawat inap. Seharusnya BPJS Kesehatan memastikan pasien JKN tidak membayar lagi ketika akan dirawat.
Kehadiran Peraturan BPJS Kesehatan No. 1 Tahun 2020 tentang Prosedur Penjaminan Operasi Katarak dan Rehabilitasi Medik dalam JKN akan berpotensi mempersulit pasien JKN mendapat layanan operasi katarak dan rehabilitasi medik. Peraturan BPJS Kesehatan ini merupakan replika Peraturan Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan No. 2 Tahun 2018 tentang Katarak dan No. 5 Tahun 2018 tentang Rehabilitasi Medik, yang sudah dibatalkan oleh MA. Persoalan pelayanan lainnya seperti pasien JKN membeli obat sendiri dan sulitnya mendapatkan kamar perawatan, kerap kali masih terjadi.
Turun Kelas Perawatan dan Nonaaktif
Ketika Perpres No. 75 Tahun 2019 yang ditetapkan tanggal 24 Oktober 2019 dirilis ke publik, paling tidak ada dua respons peserta atas kenaikan iuran ini yaitu peserta kelas 1 dan kelas 2 turun kelas perawatan, dan peserta menjadi nonaktif. Tentunya dengan dua respons ini, pendapatan iuran dari peserta mandiri berpotensi menurun.
Tentang respons turun kelas, membandingkan data peserta kelas 1 dan 2 di akhir Oktober 2019 dengan akhir Februari 2020, ada penurunan kepesertaan di kelas 1 sebanyak 854.349 orang (per 31 Oktober 2019 peserta kelas 1 sebanyak 4.400.791 orang, dan di 29 Februari 2020 menjadi 3.546.442 orang). Sementara itu, penurunan kepesertaan di kelas 2 sebanyak 1.201.232 orang (per 31 Oktober 2019 peserta kelas 2 sebanyak 6.660.191 orang, dan di 29 Februari 2020 menjadi 5.458.959 orang).
Selain potensi pendapatan menurun, banyaknya peserta yang turun kelas menyebabkan jumlah peserta kelas 3 semakin besar (per 29 Februari 2020 jumlahnya 155.013.529 orang atau 69,5%). Dengan jumlah tempat tidur di kelas 3 yang terbatas, 126.696 atau 40,78% (sumber : Ditjen Pelayanan Kesehatan, Kemenkes RI, 2019, per 9 Januari 2019 ), peningkatan jumlah peserta kelas 3 ini akan menurunkan akses peserta PBI yang miskin mendapat ruang perawatan kelas 3, sementara peserta kelas 3 yang mampu akan dengan mudah naik ke kelas 2 menggunakan Peraturan Menteri Kesehatan No. 51 Tahun 2018.