Buya Syafii Maarif: Bintang Cemerlang dan Pohon Rindang
loading...
A
A
A
JAKARTA - Al Makin
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SIAPA yang tidak merasa dekat, merasa mengenal, dan terinspirasi oleh almarhum Buya Syafii Maarif? Kita merasa bahwa Buya mengenal kita satu per-satu, bahkan kesan pribadi antara masing-masing kita dengan beliau adalah kesan hubungan khusus. Akademisi, aktivis, tokoh agama, politisi, penggerak ekonomi, semua merasa dibimbing, diayomi, dan teduh dibawah pohon rindang Buya Syafii Maarif. Yang bernaung dibawahnya merasa sejuk, damai, dan aman.
Kehidupan manusia ibarat pohon, dan juga bintang-bintang, kata orang-orang waskita. Semua kehidupan itu ada awal dan akhirnya. Pohon itu tumbuh dari biji menjadi tanaman rindang dan menua. Bintang-bintang lahir dari pergumulan awan materi, energi, cahaya, dan tekanan grafitasi. Bintang-bintang lahir dari ledakan, kemudian ia menjadi pusat formasi planet-planet yang mengitarinya. Pada saatnya bintang juga menua kehabisan bahan; bisa jadi ia meledak atau meredup untuk berubah menjadi bentuk lain.
Buya Syafii Maarif juga demikian. Namun, Buya tidak meninggalkan kita, beliau hidup dalam otak, imajinasi, bayangan, mimpi-mimpi dan cita-cita kita. Kematian menghilangkan jasad yang akan diurai makhluk lain di bumi, tetapi ruh, spirit, dan semua kumpulan non-materi hidup terus. Sosok Buya akan tetap hidup dalam diri kita semua. Semua mempunyai versi tersendiri bagaimana menggambarkan panutan dan teladan Buya. Buya adalah bintang cemerlang bersinar, kita semua adalah planet, bulan, asteroid, komet, atau benda-benda lain yang terus mengitari bintang.
Sang pohon rindang ini berbji dari Minangkabau; tumbuh awal dari pengabdian dan kepemimpinan di Muhammadiyah; akar, ranting, dan daunnya kokoh mengayomi bangsa, semua umat dan manusia; keteduhan pohon Buya menaungi banyak tanah yang luas, menembus batas semua tembok pemisah agama, ideologi, mazhab, golongan, etnis, dan budaya. Pohon mahligai Buya Syafii Maarif adalah pohon bangsa dan manusia. Pohon Buya adalah pohon yang baik, memberi oksigen pada bangsa, menjadi panutan bagi semua pohon di sekitarnya, baik kecil atau besar; menjadi penanda dan pemersatu bagi semua ladang dan sawah; pohon yang hidup terus dalam diri bangsa karena sifat tauladan.
Semua binatang kehilangan pohon itu, tidak lagi berbuah secara kasat, sehinggat tidak lagi bisa mengambil untuk obat lapar dan dahaga. Buah itu adalah hikmah dan keteladanan yang sudah dikunyah oleh banyak umat tanpa pandang bulu bajunya apa, imannya apa, cara berdoanya bagaimana, dan pilihanny siapa saat pilpres, pileg, pilkada, atau gawe-gawe sosial politik lainnya. Pohon Buya adalah pohon ilmu, amal, toleransi, kebijakan, kebajikan dan kebhinekaan.
Untuk mempermudah ringkasan teladan fadilah (keutamaan) ada tiga lakon yang dijalani Buya Syafii dalam hidupnya sebagai pohon sejuk dan bintang cemerlang. Pertama adalah ilmu; kedua amal; dan ketiga akhlak. Tentu ini untuk memudahkan bagaimana generasi sekarang dan mendatang mudah meniru dan menjalani tauladan Buya kita.
Tentang ilmu, Buya menjalaninya dengan konsisten. Beliau adalah akademisi yang tumbuh di sekolah, madrasah, dan perguruan tinggi. Ketekunan belajar Buya bisa kita simak dalam riwayat perjalanan pendidikan dari Minangkabau, Jawa, dan Amerika. Beliau adalah seorang murid yang taat dan guru yang bijak. Karir pendidikan memang merupakan kesempatan pada era awal setelah kemerdekaan Indonesia untuk mobilitas warga. Orang desa pergi ke kota, belajar sekolah dan perguruan tinggi, meneruskan pendidikan tinggi ke negara maju dan akhirnya meraih banyak kesempatan.
Di era Sukarno dan Suharto pendidikan merupakan jalan yang paling mungkin untuk mobilitas vertikal ini. Terutama era Suharto dipenuhi dengan banyak teknokrat. Zaman reformasi mempunyai cerita tersendiri. Pendidikan dalam arti formal bukan satu-satunya cara untuk melakukan mobilitas sosial, politik, dan ekonomi. Era demokratisasi liberal, dengan multipartai, dan desentralisasi, memberi lebih banyak kemungkinan terutama pada bidang wirausaha dan politik. Pendidikan formal bukan satu-satunya.
Ada banyak modal sosial, politik, dan ekonomi lain dalam bentuk lain selain gelar, capaian formal dan skill lain. Era medsos, teknologi, dan informasi membuka kran-kran lain. Cara Buya menjadi pohon rindang dan bintang cemerlang adalah tauladan generasi setelah kemerdekaan: tumbuh di era Sukarno, berkiprah di era Suharto dan matang menjadi pohon rindang di era reformasi. Reformasi ke depan mempunyai jalannya sendiri.
Tentang amal, Buya jelas kiprahnya secara nasional dan internasional. Buya tidak membatasi ruang geraknya hanya di Muhammadiyah, Islam, dan Indonesia. Amal Buya dinikmati dan dirasakan siapa saja. Pohon rindang ini mengayomi dunia pendidikan, akademik, sosial, dan politik. Cabang-cabang dan ranting-ranting melebar menyeberangi lahan bangsa. Buya lebih dari sekedar tokoh agama, Buya adalah tokoh kemanusiaan. Buya menjalani apa yang diimpikan, dikatakan, ditulis, dan diajarkan.
Buya berkiprah dan berperan untuk Muhammdiyah, bangsa Indonesia, umat Islam, dan manusia semuanya. Peran Buya sama dengan para tokoh sebayanya yang bersama tumbuh: Gus Dur (Abdurrachman Wachid), Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Musthofa Bisri, Frans Magnis Suseno, Teha Sumartana, Ibu Gedong, Sri Pannavaro Mahathera dan lain-lain. Era Buya Syafii Maarif adalah era dialog antar iman, kelahiran kemanusiaan dari tradisi agama, penguatan kebangsaan, jembatan kebhinekaan, hak asasi manusia, kesetaraan gender dan lain-lain. Amal Buya cemerlang bak bintang terang dalam isu-isu itu.
Tentang akhlak Buya menjadi inspirasi kita semua. Seorang mantan ketua umum Muhammadiyah, Guru Besar, penerima Ramon Magsaysay, Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila bersepeda di sawah-sawah dengan tas kresek berisi buku. Beliau melaksanakan sholat di musholla kecilnya di perumahan itu dan menerima tamu-tamu juga di tempat itu. Dari presiden sampai mahasiswa merasakan akhlak mulianya. Sederhana, jujur, penuh integritas, namun kritis dan berani. Banyak tokoh besar dengan jabatan banyak, peran dan kiprah mungkin lebih dari Buya, tetapi kesederhanaan dan kejujurannya menjadikan Buya bintang cemerlang menyinari semesta.
Planet-planet tertarik grafitasi tauladannya. Semua merasa nyaman mengitari matahari ini. Planet-planet beragam mengatur diri tidak bertabrakan satu dan lainnya untuk berputar pada bintang cemerlang ini. Inilah kualitas yang langka di zaman ini, di negeri ini, dan di dunia ini, yaitu kualitas akhlak mulia. Buya adalah bintang yang bersinar, cemerlang, dan sangat bermurah hati menjadikan planet lain dan bulan memantulkan cahayanya, juga cemerlang. Semoga kita bisa mengambil sinar itu, atau terterangi paling tidak.
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SIAPA yang tidak merasa dekat, merasa mengenal, dan terinspirasi oleh almarhum Buya Syafii Maarif? Kita merasa bahwa Buya mengenal kita satu per-satu, bahkan kesan pribadi antara masing-masing kita dengan beliau adalah kesan hubungan khusus. Akademisi, aktivis, tokoh agama, politisi, penggerak ekonomi, semua merasa dibimbing, diayomi, dan teduh dibawah pohon rindang Buya Syafii Maarif. Yang bernaung dibawahnya merasa sejuk, damai, dan aman.
Kehidupan manusia ibarat pohon, dan juga bintang-bintang, kata orang-orang waskita. Semua kehidupan itu ada awal dan akhirnya. Pohon itu tumbuh dari biji menjadi tanaman rindang dan menua. Bintang-bintang lahir dari pergumulan awan materi, energi, cahaya, dan tekanan grafitasi. Bintang-bintang lahir dari ledakan, kemudian ia menjadi pusat formasi planet-planet yang mengitarinya. Pada saatnya bintang juga menua kehabisan bahan; bisa jadi ia meledak atau meredup untuk berubah menjadi bentuk lain.
Buya Syafii Maarif juga demikian. Namun, Buya tidak meninggalkan kita, beliau hidup dalam otak, imajinasi, bayangan, mimpi-mimpi dan cita-cita kita. Kematian menghilangkan jasad yang akan diurai makhluk lain di bumi, tetapi ruh, spirit, dan semua kumpulan non-materi hidup terus. Sosok Buya akan tetap hidup dalam diri kita semua. Semua mempunyai versi tersendiri bagaimana menggambarkan panutan dan teladan Buya. Buya adalah bintang cemerlang bersinar, kita semua adalah planet, bulan, asteroid, komet, atau benda-benda lain yang terus mengitari bintang.
Sang pohon rindang ini berbji dari Minangkabau; tumbuh awal dari pengabdian dan kepemimpinan di Muhammadiyah; akar, ranting, dan daunnya kokoh mengayomi bangsa, semua umat dan manusia; keteduhan pohon Buya menaungi banyak tanah yang luas, menembus batas semua tembok pemisah agama, ideologi, mazhab, golongan, etnis, dan budaya. Pohon mahligai Buya Syafii Maarif adalah pohon bangsa dan manusia. Pohon Buya adalah pohon yang baik, memberi oksigen pada bangsa, menjadi panutan bagi semua pohon di sekitarnya, baik kecil atau besar; menjadi penanda dan pemersatu bagi semua ladang dan sawah; pohon yang hidup terus dalam diri bangsa karena sifat tauladan.
Semua binatang kehilangan pohon itu, tidak lagi berbuah secara kasat, sehinggat tidak lagi bisa mengambil untuk obat lapar dan dahaga. Buah itu adalah hikmah dan keteladanan yang sudah dikunyah oleh banyak umat tanpa pandang bulu bajunya apa, imannya apa, cara berdoanya bagaimana, dan pilihanny siapa saat pilpres, pileg, pilkada, atau gawe-gawe sosial politik lainnya. Pohon Buya adalah pohon ilmu, amal, toleransi, kebijakan, kebajikan dan kebhinekaan.
Untuk mempermudah ringkasan teladan fadilah (keutamaan) ada tiga lakon yang dijalani Buya Syafii dalam hidupnya sebagai pohon sejuk dan bintang cemerlang. Pertama adalah ilmu; kedua amal; dan ketiga akhlak. Tentu ini untuk memudahkan bagaimana generasi sekarang dan mendatang mudah meniru dan menjalani tauladan Buya kita.
Tentang ilmu, Buya menjalaninya dengan konsisten. Beliau adalah akademisi yang tumbuh di sekolah, madrasah, dan perguruan tinggi. Ketekunan belajar Buya bisa kita simak dalam riwayat perjalanan pendidikan dari Minangkabau, Jawa, dan Amerika. Beliau adalah seorang murid yang taat dan guru yang bijak. Karir pendidikan memang merupakan kesempatan pada era awal setelah kemerdekaan Indonesia untuk mobilitas warga. Orang desa pergi ke kota, belajar sekolah dan perguruan tinggi, meneruskan pendidikan tinggi ke negara maju dan akhirnya meraih banyak kesempatan.
Di era Sukarno dan Suharto pendidikan merupakan jalan yang paling mungkin untuk mobilitas vertikal ini. Terutama era Suharto dipenuhi dengan banyak teknokrat. Zaman reformasi mempunyai cerita tersendiri. Pendidikan dalam arti formal bukan satu-satunya cara untuk melakukan mobilitas sosial, politik, dan ekonomi. Era demokratisasi liberal, dengan multipartai, dan desentralisasi, memberi lebih banyak kemungkinan terutama pada bidang wirausaha dan politik. Pendidikan formal bukan satu-satunya.
Ada banyak modal sosial, politik, dan ekonomi lain dalam bentuk lain selain gelar, capaian formal dan skill lain. Era medsos, teknologi, dan informasi membuka kran-kran lain. Cara Buya menjadi pohon rindang dan bintang cemerlang adalah tauladan generasi setelah kemerdekaan: tumbuh di era Sukarno, berkiprah di era Suharto dan matang menjadi pohon rindang di era reformasi. Reformasi ke depan mempunyai jalannya sendiri.
Tentang amal, Buya jelas kiprahnya secara nasional dan internasional. Buya tidak membatasi ruang geraknya hanya di Muhammadiyah, Islam, dan Indonesia. Amal Buya dinikmati dan dirasakan siapa saja. Pohon rindang ini mengayomi dunia pendidikan, akademik, sosial, dan politik. Cabang-cabang dan ranting-ranting melebar menyeberangi lahan bangsa. Buya lebih dari sekedar tokoh agama, Buya adalah tokoh kemanusiaan. Buya menjalani apa yang diimpikan, dikatakan, ditulis, dan diajarkan.
Buya berkiprah dan berperan untuk Muhammdiyah, bangsa Indonesia, umat Islam, dan manusia semuanya. Peran Buya sama dengan para tokoh sebayanya yang bersama tumbuh: Gus Dur (Abdurrachman Wachid), Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Musthofa Bisri, Frans Magnis Suseno, Teha Sumartana, Ibu Gedong, Sri Pannavaro Mahathera dan lain-lain. Era Buya Syafii Maarif adalah era dialog antar iman, kelahiran kemanusiaan dari tradisi agama, penguatan kebangsaan, jembatan kebhinekaan, hak asasi manusia, kesetaraan gender dan lain-lain. Amal Buya cemerlang bak bintang terang dalam isu-isu itu.
Tentang akhlak Buya menjadi inspirasi kita semua. Seorang mantan ketua umum Muhammadiyah, Guru Besar, penerima Ramon Magsaysay, Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila bersepeda di sawah-sawah dengan tas kresek berisi buku. Beliau melaksanakan sholat di musholla kecilnya di perumahan itu dan menerima tamu-tamu juga di tempat itu. Dari presiden sampai mahasiswa merasakan akhlak mulianya. Sederhana, jujur, penuh integritas, namun kritis dan berani. Banyak tokoh besar dengan jabatan banyak, peran dan kiprah mungkin lebih dari Buya, tetapi kesederhanaan dan kejujurannya menjadikan Buya bintang cemerlang menyinari semesta.
Planet-planet tertarik grafitasi tauladannya. Semua merasa nyaman mengitari matahari ini. Planet-planet beragam mengatur diri tidak bertabrakan satu dan lainnya untuk berputar pada bintang cemerlang ini. Inilah kualitas yang langka di zaman ini, di negeri ini, dan di dunia ini, yaitu kualitas akhlak mulia. Buya adalah bintang yang bersinar, cemerlang, dan sangat bermurah hati menjadikan planet lain dan bulan memantulkan cahayanya, juga cemerlang. Semoga kita bisa mengambil sinar itu, atau terterangi paling tidak.
(kri)