BPOM Diminta Kaji Mendalam Wacana Pelabelan BPA
loading...
A
A
A
JAKARTA - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) diminta mengkaji secara mendalam wacana pelabelan BPA pada Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) galon guna ulang, baik dari sisi kesehatan, ekonomi, maupun persaingan usaha. Kajian matang diperlukan untuk menghindari terjadinya permasalahan baru yang merugikan pihak-pihak tertentu akibat kebijakan tersebut.
Permintaan ini mengemuka dalam diskusi media bertema "Kebijakan Sektoral dan Diskriminatif, Ancaman bagi Persaingan Usaha" yang digelar oleh Forum Jurnalis Online, Rabu (25/5/2022). Diskusi menghadirkan sejumlah narasumber dari Kemenko Perekonomian, Kementerian Perindustrian, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), DPD Aspadin Jawa Tengah, dan Pakar Polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
Untuk diketahui, BPOM telah merilis rancangan perubahan atas Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan pada November 2021. Salah satu pasalnya mewajibkan pencantuman tulisan 'Berpotensi Mengandung BPA' pada label AMDK kemasan galon polikarbonat atau plastik keras.
Asdep Penguatan Pasar Dalam Negeri Kemenko Perekonomian, Evita Mantovani mengatakan pihaknya perlu hadir secara objektif dalam penyelesaian terkait wacana pelabelan BPA pada galon guna ulang yang telah memunculkan permasalahan bagi industri galon guna ulang. Menurutnya, hal itu sangat diperlukan agar kebijakan itu saat diimpelentasikan nanti bisa berjalan secara efektif, efisien juga tetap bisa mendukung kondisi ekonomi di dalam negeri.
"Ada beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan, baik oleh BPOM dan juga pelaku usaha terkait wacana kebiajkan pelabelan BPA ini. Ada aspek ekonomi, aspek kesehatan, aspek lingkungan hidup serta terakhir aspek persaingan usaha. Ini semua perlu dikaji lagi secara lebih mendalam," ujarnya dikutip dari keterangan tertulis, Kamis (26/5/2022).
Dari sisi ekonomi, kata Evita, hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam kebijakan pelabelan BPA adalah adanya potensi tambahan biaya sebesar Rp16 triliun seperti yang disampaikan pelaku usaha galon guna ulang. Selain itu juga sisi tenaga kerja jika kebijakan BPOM itu diterapkan.
Jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam industri galon guna ulang diperkirakan mencapai 40.000. Jika diasumsikan satu orang menanggung empat anggota keluarga, itu artinya ada sekitar 160.000 orang yang tergantung pada industri AMDK galon guna ulang.
"Inilah perhitungan yang kemudian menjadi pertimbangan kami melakukan analisa terhadap kebijakan tersebut. Kemudian estimasi kerugian sekitar 170 juta buah GGU PC (galon guna ulang Polikarbonat) itu bisa mencapai Rp6 triliun. Ditambah dengan biaya pengganti galon non GGU sekitar Rp10 triliun. Artinya, kebijakan pelabelan BPA ini apabila diterapkan berpotensi menimbulkan beban sebanyak Rp16 triliun tadi," ungkapnya.
Koordinator Fungsi Industri Pengolahan Susu dan Minuman Lainnya Kemenperin, Riris Marito mengatakan pada prinsipnya regulasi dibuat untuk mengatur yang tujuannya memberi manfaat dan kebaikan berbagai pihak. "Begitu juga dengan kebijakan pelabelan BPA yang terkait keamanan pangan ini, BPOM juga harus memperhatikan aspek lain yang dapat memberikan kemaslahatan bersama. Karenanya, BPOM juga harus mengajak semua stakeholder lainnya untuk membahas kebijakan tersebut," ujarnya.
Direktur Kebijakan Persaingan KPPU Marcellina Nuring menambahkan pemerintah seharusnya hadir mengatasi suatu masalah. Dia mencontohkan dalam kebijakan pelabelan BPA, BPOM seharusnya juga harus melihat sisi persaingan usahanya. Dalam hal ini, kebijakan itu harus bisa mencegah, membatasi, atau mendistorsi persaingan di dalam pasar.
"Jadi, di dalam pasal-pasal regulasinya, yang ada singgungannya di persaingan usaha harus bersifat equal treatment, tidak ada diskriminasi yang menjadi hambatan bagi pelaku usaha tertentu dan menguntungkan pelaku usaha lain," ujarnya.
Menurutnya, jika kebijakan itu tidak diskriminatif atau semua mendapatkan perlakuan yang sama, mungkin tidak akan menjadi masalah. "Salah satu pesan dari salah satu komisioner kami dalam melihat kebijakan pelabelan BPA ini adalah kesehatan masyarakat tidak bisa dipertentangkan dengan persaingan usaha. Jangan sampai kebijakan itu hanya baik buat industri tertentu, tapi merugikan yang lain," ujarnya.
Dia menambahkan suatu kebijakan yang diskriminatif berpotensi menyebabkan berkurangnya kemampuan produsen untuk bersaing. Dia menegaskan KPPU akan berusaha melakukan pencegahan di awal terhadap hadirnya kebijakan-kebijakan yang memfasilitasi terjadinya persaingan usaha.
"Kami membuat apa yang dinamakan dengan daftar periksa asesmen kebijakan persaingan usaha. Nah, ini mungkin nanti yang akan kami coba koordinasikan dan diskusikan dengan pihak BPOM jika memang wacana kebijakan pelabelan BPA ini berlanjut," katanya.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Ningrum Natasya Sirait meminta agar BPOM tidak hanya membuat kebijakan dengan melihat sisi kesehatan, tapi harus juga memperhatikan dampaknya terhadap potensi terjadinya persaingan usaha.
"Peraturan dalam konteks apa pun harus melalui uji daftar dampak kompetisi (competition check list), sehingga tidak menjadi hambatan artifisial (artificial barrier) yang membebani perusahaan dalam pasar persaingan yang akhirnya menjadi tanggungan masyarakat," katanya.
Di acara serupa, Pakar Polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ahmad Zainal Abidin menyampaikan kebijakan galon berbahan Polikarbonat dilabeli BPA itu sebuah kebohongan publik mengingat tidak mungkin galon guna ulang itu BPA free. Begitu juga jika galon PET dilabeli BPA free, menurut Zainal, itu suatu hal yang mungkin mengingat galon PET memang tidak dibuat dari PC yang berbahan BPA.
"Jadi saya melihat energi kita banyak habis hanya untuk membahas keributan wacana kebijakan pelabelan BPA yang tidak berbasis pada data ilmiah tapi data bodong, yang dipublikasikan secara luas," katanya. Baca juga: Hadapi Rencana Pelabelan BPA, Pengusaha Dituntut Lebih Inovatif
Sementara itu, Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM Rita Endang sebelumnya mengatakan, pihaknya menemukan sejumlah kecenderungan yang mengkhawatirkan pada migrasi bahan kimia Bisphenol A (BPA) pada kemasan air minum berbahan polikarbonat. Sebanyak 33% sampel pada sarana distribusi dan peredaraan serta 24% sampel berada pada rentang batas migrasi VPA 0,05 mg/kg yang ditetapkan Otoritas Keamaan Makanan Eropa (EFA), dan 0,6 mg/kg berdasarkan ketentuan di Indonesia.
"Potensi bahaya sarana distribusi dan peredaran 1,4 kali lebih besar dari sarana produksi," katanya.
Permintaan ini mengemuka dalam diskusi media bertema "Kebijakan Sektoral dan Diskriminatif, Ancaman bagi Persaingan Usaha" yang digelar oleh Forum Jurnalis Online, Rabu (25/5/2022). Diskusi menghadirkan sejumlah narasumber dari Kemenko Perekonomian, Kementerian Perindustrian, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), DPD Aspadin Jawa Tengah, dan Pakar Polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
Baca Juga
Untuk diketahui, BPOM telah merilis rancangan perubahan atas Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan pada November 2021. Salah satu pasalnya mewajibkan pencantuman tulisan 'Berpotensi Mengandung BPA' pada label AMDK kemasan galon polikarbonat atau plastik keras.
Asdep Penguatan Pasar Dalam Negeri Kemenko Perekonomian, Evita Mantovani mengatakan pihaknya perlu hadir secara objektif dalam penyelesaian terkait wacana pelabelan BPA pada galon guna ulang yang telah memunculkan permasalahan bagi industri galon guna ulang. Menurutnya, hal itu sangat diperlukan agar kebijakan itu saat diimpelentasikan nanti bisa berjalan secara efektif, efisien juga tetap bisa mendukung kondisi ekonomi di dalam negeri.
"Ada beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan, baik oleh BPOM dan juga pelaku usaha terkait wacana kebiajkan pelabelan BPA ini. Ada aspek ekonomi, aspek kesehatan, aspek lingkungan hidup serta terakhir aspek persaingan usaha. Ini semua perlu dikaji lagi secara lebih mendalam," ujarnya dikutip dari keterangan tertulis, Kamis (26/5/2022).
Dari sisi ekonomi, kata Evita, hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam kebijakan pelabelan BPA adalah adanya potensi tambahan biaya sebesar Rp16 triliun seperti yang disampaikan pelaku usaha galon guna ulang. Selain itu juga sisi tenaga kerja jika kebijakan BPOM itu diterapkan.
Jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam industri galon guna ulang diperkirakan mencapai 40.000. Jika diasumsikan satu orang menanggung empat anggota keluarga, itu artinya ada sekitar 160.000 orang yang tergantung pada industri AMDK galon guna ulang.
"Inilah perhitungan yang kemudian menjadi pertimbangan kami melakukan analisa terhadap kebijakan tersebut. Kemudian estimasi kerugian sekitar 170 juta buah GGU PC (galon guna ulang Polikarbonat) itu bisa mencapai Rp6 triliun. Ditambah dengan biaya pengganti galon non GGU sekitar Rp10 triliun. Artinya, kebijakan pelabelan BPA ini apabila diterapkan berpotensi menimbulkan beban sebanyak Rp16 triliun tadi," ungkapnya.
Koordinator Fungsi Industri Pengolahan Susu dan Minuman Lainnya Kemenperin, Riris Marito mengatakan pada prinsipnya regulasi dibuat untuk mengatur yang tujuannya memberi manfaat dan kebaikan berbagai pihak. "Begitu juga dengan kebijakan pelabelan BPA yang terkait keamanan pangan ini, BPOM juga harus memperhatikan aspek lain yang dapat memberikan kemaslahatan bersama. Karenanya, BPOM juga harus mengajak semua stakeholder lainnya untuk membahas kebijakan tersebut," ujarnya.
Direktur Kebijakan Persaingan KPPU Marcellina Nuring menambahkan pemerintah seharusnya hadir mengatasi suatu masalah. Dia mencontohkan dalam kebijakan pelabelan BPA, BPOM seharusnya juga harus melihat sisi persaingan usahanya. Dalam hal ini, kebijakan itu harus bisa mencegah, membatasi, atau mendistorsi persaingan di dalam pasar.
"Jadi, di dalam pasal-pasal regulasinya, yang ada singgungannya di persaingan usaha harus bersifat equal treatment, tidak ada diskriminasi yang menjadi hambatan bagi pelaku usaha tertentu dan menguntungkan pelaku usaha lain," ujarnya.
Menurutnya, jika kebijakan itu tidak diskriminatif atau semua mendapatkan perlakuan yang sama, mungkin tidak akan menjadi masalah. "Salah satu pesan dari salah satu komisioner kami dalam melihat kebijakan pelabelan BPA ini adalah kesehatan masyarakat tidak bisa dipertentangkan dengan persaingan usaha. Jangan sampai kebijakan itu hanya baik buat industri tertentu, tapi merugikan yang lain," ujarnya.
Dia menambahkan suatu kebijakan yang diskriminatif berpotensi menyebabkan berkurangnya kemampuan produsen untuk bersaing. Dia menegaskan KPPU akan berusaha melakukan pencegahan di awal terhadap hadirnya kebijakan-kebijakan yang memfasilitasi terjadinya persaingan usaha.
"Kami membuat apa yang dinamakan dengan daftar periksa asesmen kebijakan persaingan usaha. Nah, ini mungkin nanti yang akan kami coba koordinasikan dan diskusikan dengan pihak BPOM jika memang wacana kebijakan pelabelan BPA ini berlanjut," katanya.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Ningrum Natasya Sirait meminta agar BPOM tidak hanya membuat kebijakan dengan melihat sisi kesehatan, tapi harus juga memperhatikan dampaknya terhadap potensi terjadinya persaingan usaha.
"Peraturan dalam konteks apa pun harus melalui uji daftar dampak kompetisi (competition check list), sehingga tidak menjadi hambatan artifisial (artificial barrier) yang membebani perusahaan dalam pasar persaingan yang akhirnya menjadi tanggungan masyarakat," katanya.
Di acara serupa, Pakar Polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ahmad Zainal Abidin menyampaikan kebijakan galon berbahan Polikarbonat dilabeli BPA itu sebuah kebohongan publik mengingat tidak mungkin galon guna ulang itu BPA free. Begitu juga jika galon PET dilabeli BPA free, menurut Zainal, itu suatu hal yang mungkin mengingat galon PET memang tidak dibuat dari PC yang berbahan BPA.
"Jadi saya melihat energi kita banyak habis hanya untuk membahas keributan wacana kebijakan pelabelan BPA yang tidak berbasis pada data ilmiah tapi data bodong, yang dipublikasikan secara luas," katanya. Baca juga: Hadapi Rencana Pelabelan BPA, Pengusaha Dituntut Lebih Inovatif
Sementara itu, Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM Rita Endang sebelumnya mengatakan, pihaknya menemukan sejumlah kecenderungan yang mengkhawatirkan pada migrasi bahan kimia Bisphenol A (BPA) pada kemasan air minum berbahan polikarbonat. Sebanyak 33% sampel pada sarana distribusi dan peredaraan serta 24% sampel berada pada rentang batas migrasi VPA 0,05 mg/kg yang ditetapkan Otoritas Keamaan Makanan Eropa (EFA), dan 0,6 mg/kg berdasarkan ketentuan di Indonesia.
"Potensi bahaya sarana distribusi dan peredaran 1,4 kali lebih besar dari sarana produksi," katanya.
(kri)