Kesejahteraan dan Akselerasi Ekonomi Berkeadilan
loading...
A
A
A
A Muhaimin Iskandar
Wakil Ketua DPR RI, Ketua Umum DPP PKB
SALAH satu terget pembangunan yang dicanangkan pemerintah tahun 2022 adalah penurunan rasio gini (tingkat ketimpangan), penurunan angka kemiskinan, serta perbaikan indikator kesejahteraan. Rasio gini tahun 2022 ditargetkan berada pada kisaran 0,376-0,378. Sementara angka kemiskinan diharapkan berada pada angka 8,5-9,0%. Sedang IPM (Indeks Pembangunan Manusia) meningkat mencapai 73,41-73,46.
Atas dasar itu, pemerintah pun di masa pademi berfokus pada dua hal besar, yakni perlindungan sosial dan pengentasan kemiskinan. Karena itu berbagai rancangan kebijakan ekonomi yang berkeadilan harus menjadi pelapis utama jika hendak mewujudkan target yang dicanangkan. Ekonomi yang berkeadilan dengan demikian harus menjadi basis filsafat politik utama yang memandu arah dan tujuan pembangunan.
Salah satu hal paling esensial menuju ekonomi berkeadilan adalah soal redistribusi aset. Paket kebijakan 12,7 juta hektare lahan yang pernah dicanangkan untuk program redistribusi aset sesungguhnya bisa menjadi pintu masuk strategis guna mengakselerasi ekonomi berkeadilan. Melalui redistribusi aset diharapkan akan terjadi pemerataan ekonomi dan kesejahteraan.
Soal redistribusi aset inilah sesungguhnya yang menjadi akar kemiskinan dalam masyarakat agraris seperti Indonesia. Karena itu, program reforma agraria tidak akan berhasil dan hanya akan menjadi catatan indah di kertas bila hanya menjadi ajang bagi-bagi lahan belaka. Solusinya, kebijakan tersebut harus menjadi bagian integral upaya memperkecil ketimpangan kepemilikan modal dasar masyarakat guna pemerataan akses.
Altar di republik ini menyodorkan fakta bahwa petani gurem atau buruh tani tanpa lahan selama ini memang menjadi bagian utama ketimpangan lahan. Kelompok inilah penyumbang prosentase kemiskinan terbesar di desa. Karena itu guna memangkas kesenjangan tersebut salah satunya harus dimulai dari hulu, yakni melakukan tata kelola reformasi agraria dan pajak berkeadilan.
Saat ini setidaknya terdapat lebih dari 28 juta petani dengan status tidak memiliki tanah. Pada saat bersamaan pemerintah juga belum mempunyai road map yang jelas dan berkelanjutan soal implementasi reforma agraria melalui kebijakan redistribusi aset dan legalisasi aset.
Karena itu, pemerintah perlu diingatkan bahwa komitmen memangkas kesenjangan ini harus sistemik dan bukan sekadar program parsial. Demokratisasi ekonomi tidak boleh sepotong-potong, tetapi terintegrasi dengan kebijakan lainnya. Berbagai paket kebijakan ekonomi juga harus melihat persoalan dari hulu hingga hilir. Tanpa itu kebijakan hanya akan menumpuk di kertas-kertas kerja tanpa punya dampak signifikan.
Dari hal tersebut, kita sepenuhnya mengapresiasi kebijakan redistribusi aset 12,7 juta hektare lahan yang dicanangkan pemerintah. Tetapi yang harus disiapkan juga adalah kebijakan-kebijakan pendukungnya sehingga sebuah kebijakan bisa operasional di lapangan. Contoh sederhana, kebijakan redistribusi dan legalisasi aset tidak akan efektif tanpa ditopang dengan kebijakan dalam investasi pertambangan, perkebunan tanaman industri, dan juga pemukiman.
Maknanya bahwa tanpa kebijakan yang sistemik dan terintegarsi dari hulu hingga hilir, pembangunan (ekonomi) dikhawatirkan hanya akan menyordorkan serentetan ketimpangan dan kemelaratan. Meminjam istilah Max Weber, kesenjangan justru akan menyebabkan kita terjebak pada “sangkar besi” (the iron cage) pembangunan itu sendiri.
Wakil Ketua DPR RI, Ketua Umum DPP PKB
SALAH satu terget pembangunan yang dicanangkan pemerintah tahun 2022 adalah penurunan rasio gini (tingkat ketimpangan), penurunan angka kemiskinan, serta perbaikan indikator kesejahteraan. Rasio gini tahun 2022 ditargetkan berada pada kisaran 0,376-0,378. Sementara angka kemiskinan diharapkan berada pada angka 8,5-9,0%. Sedang IPM (Indeks Pembangunan Manusia) meningkat mencapai 73,41-73,46.
Atas dasar itu, pemerintah pun di masa pademi berfokus pada dua hal besar, yakni perlindungan sosial dan pengentasan kemiskinan. Karena itu berbagai rancangan kebijakan ekonomi yang berkeadilan harus menjadi pelapis utama jika hendak mewujudkan target yang dicanangkan. Ekonomi yang berkeadilan dengan demikian harus menjadi basis filsafat politik utama yang memandu arah dan tujuan pembangunan.
Salah satu hal paling esensial menuju ekonomi berkeadilan adalah soal redistribusi aset. Paket kebijakan 12,7 juta hektare lahan yang pernah dicanangkan untuk program redistribusi aset sesungguhnya bisa menjadi pintu masuk strategis guna mengakselerasi ekonomi berkeadilan. Melalui redistribusi aset diharapkan akan terjadi pemerataan ekonomi dan kesejahteraan.
Soal redistribusi aset inilah sesungguhnya yang menjadi akar kemiskinan dalam masyarakat agraris seperti Indonesia. Karena itu, program reforma agraria tidak akan berhasil dan hanya akan menjadi catatan indah di kertas bila hanya menjadi ajang bagi-bagi lahan belaka. Solusinya, kebijakan tersebut harus menjadi bagian integral upaya memperkecil ketimpangan kepemilikan modal dasar masyarakat guna pemerataan akses.
Altar di republik ini menyodorkan fakta bahwa petani gurem atau buruh tani tanpa lahan selama ini memang menjadi bagian utama ketimpangan lahan. Kelompok inilah penyumbang prosentase kemiskinan terbesar di desa. Karena itu guna memangkas kesenjangan tersebut salah satunya harus dimulai dari hulu, yakni melakukan tata kelola reformasi agraria dan pajak berkeadilan.
Saat ini setidaknya terdapat lebih dari 28 juta petani dengan status tidak memiliki tanah. Pada saat bersamaan pemerintah juga belum mempunyai road map yang jelas dan berkelanjutan soal implementasi reforma agraria melalui kebijakan redistribusi aset dan legalisasi aset.
Karena itu, pemerintah perlu diingatkan bahwa komitmen memangkas kesenjangan ini harus sistemik dan bukan sekadar program parsial. Demokratisasi ekonomi tidak boleh sepotong-potong, tetapi terintegrasi dengan kebijakan lainnya. Berbagai paket kebijakan ekonomi juga harus melihat persoalan dari hulu hingga hilir. Tanpa itu kebijakan hanya akan menumpuk di kertas-kertas kerja tanpa punya dampak signifikan.
Dari hal tersebut, kita sepenuhnya mengapresiasi kebijakan redistribusi aset 12,7 juta hektare lahan yang dicanangkan pemerintah. Tetapi yang harus disiapkan juga adalah kebijakan-kebijakan pendukungnya sehingga sebuah kebijakan bisa operasional di lapangan. Contoh sederhana, kebijakan redistribusi dan legalisasi aset tidak akan efektif tanpa ditopang dengan kebijakan dalam investasi pertambangan, perkebunan tanaman industri, dan juga pemukiman.
Maknanya bahwa tanpa kebijakan yang sistemik dan terintegarsi dari hulu hingga hilir, pembangunan (ekonomi) dikhawatirkan hanya akan menyordorkan serentetan ketimpangan dan kemelaratan. Meminjam istilah Max Weber, kesenjangan justru akan menyebabkan kita terjebak pada “sangkar besi” (the iron cage) pembangunan itu sendiri.