Menikah di Era New Normal
loading...
A
A
A
Pertama, generasi muda di Amerika memiliki mentalitas dan pandangan budaya yang berbeda. Kalau sang wanita ditempatkan dalam kamar lalu diwakili oleh walinya maka dia akan merasa tidak dilibatkan dan didiskriminasi. Ini bisa berimbas kepada isu gender equality atau kesetaraan jender.
Kedua, saya memang berpikir bahwa pernikahan itu adalah sesuatu yang sangat penting bagi kedua mempelai. Maka walaupun ada persyaratan “izin” dari wali, bukan bearti sang wali yang harus menikahkan. Jika izin telah diberikan maka sang mempelai wanita berhak menikahkan dirinya sendiri.
Tentu ini dimaksudkan, selain karena alasan di atas, juga karena saya merasa jika sang mempelai wanita yang melakukan langsung akan lebih dalam maknanya bagi dirinya. Ada keterlibatan emosi secara langsung, sehingga acara itu akan semakin bermakna bagi dirinya sendiri.
Tatacara pernikahan seperti ini sejujurnya awalnya mendapat resistensi dari pemimpin agama tradisional, khususnya mereka yang dari Timur Tengah dan Asia Selatan. Tapi belakangan justru semakin mendapatkan apresiasi dan paling digandrungi oleh generasi muda muslim Amerika.
Tentu selain tatacara pernikahan yang baru di atas, juga pernikahan anak saya menjadi unik karena inginnya dihadiri dan didoakan oleh banyak saudara dan sahabat. Tapi karena situasi yang sangat berbeda, kehadiran mereka semua juga sangat berbeda.
Acara pernikahan anak saya kemarin disaksikan oleh ribuan orang, baik langsung hadir di zoom dengan kapasitas terbatas 100 orang, maupun FB dan IG live. FB live misalnya memperlihatkan 1.000-an yang menonton secara langsung.
Akankah ini menjadi sebuah tradisi baru? Saya merasa tidak akan demikian. Tapi pastinya akan menjadi sebuah pintu kemudahan di saat tertumbuk oleh sebuah halangan tertentu pada waktu tertentu.
Dan yang paling penting seperti beberapa hari lalu dalam sebuah acara dialog interfaith secara virtual. Seorang pendeta Yahudi mengeluh karena pembatasan berkumpul lebih dari 10 orang. Ternyata bagi mereka untuk menikahkan harus dihadiri lebih dari 25 orang.
Saya dengan sedikit bangga menyampaikan bahwa Islam ternyata bisa menyesuaikan diri dengan keadaan bagaimanapun. Saya kemudian menyampaikan bahwa dalam beberapa minggu terakhir saya bisa menikahkan jamaah saya melalui zoom.
Sang Rabbi mengangguk-ngangguk sepertinya setuju. Pemimpin agama lainnya juga memuji posisi Islam yang dinamis dan tidak kaku itu. Bahwa Islam adalah agama setiap ruang dan waktu. Karena Islam memang adalah agama sempurna yang hadir untuk menjadi tuntutan manusia hingga hari kiamat.
Kedua, saya memang berpikir bahwa pernikahan itu adalah sesuatu yang sangat penting bagi kedua mempelai. Maka walaupun ada persyaratan “izin” dari wali, bukan bearti sang wali yang harus menikahkan. Jika izin telah diberikan maka sang mempelai wanita berhak menikahkan dirinya sendiri.
Tentu ini dimaksudkan, selain karena alasan di atas, juga karena saya merasa jika sang mempelai wanita yang melakukan langsung akan lebih dalam maknanya bagi dirinya. Ada keterlibatan emosi secara langsung, sehingga acara itu akan semakin bermakna bagi dirinya sendiri.
Tatacara pernikahan seperti ini sejujurnya awalnya mendapat resistensi dari pemimpin agama tradisional, khususnya mereka yang dari Timur Tengah dan Asia Selatan. Tapi belakangan justru semakin mendapatkan apresiasi dan paling digandrungi oleh generasi muda muslim Amerika.
Tentu selain tatacara pernikahan yang baru di atas, juga pernikahan anak saya menjadi unik karena inginnya dihadiri dan didoakan oleh banyak saudara dan sahabat. Tapi karena situasi yang sangat berbeda, kehadiran mereka semua juga sangat berbeda.
Acara pernikahan anak saya kemarin disaksikan oleh ribuan orang, baik langsung hadir di zoom dengan kapasitas terbatas 100 orang, maupun FB dan IG live. FB live misalnya memperlihatkan 1.000-an yang menonton secara langsung.
Akankah ini menjadi sebuah tradisi baru? Saya merasa tidak akan demikian. Tapi pastinya akan menjadi sebuah pintu kemudahan di saat tertumbuk oleh sebuah halangan tertentu pada waktu tertentu.
Dan yang paling penting seperti beberapa hari lalu dalam sebuah acara dialog interfaith secara virtual. Seorang pendeta Yahudi mengeluh karena pembatasan berkumpul lebih dari 10 orang. Ternyata bagi mereka untuk menikahkan harus dihadiri lebih dari 25 orang.
Saya dengan sedikit bangga menyampaikan bahwa Islam ternyata bisa menyesuaikan diri dengan keadaan bagaimanapun. Saya kemudian menyampaikan bahwa dalam beberapa minggu terakhir saya bisa menikahkan jamaah saya melalui zoom.
Sang Rabbi mengangguk-ngangguk sepertinya setuju. Pemimpin agama lainnya juga memuji posisi Islam yang dinamis dan tidak kaku itu. Bahwa Islam adalah agama setiap ruang dan waktu. Karena Islam memang adalah agama sempurna yang hadir untuk menjadi tuntutan manusia hingga hari kiamat.