Hoaks dan Defisit Kesalehan Digital
loading...
A
A
A
Hoaks yang berisi fitnah atau pembunuhan karakter (character assassination) dan ujaran kebencian dengan tema agama menjadi tantangan paling serius bagi bangsa paling majemuk seperti Indonesia. Dengan tingkat literasi digital yang masih rendah, ditambah sentimen primordial yang tinggi, hoaks semacam ini akan menjadi penyulut pembelahan dan konflik sosial yang paling efektif. Pembelahan sosial yang menyertai Pilkada DKI Jakarta 2017 menjadi bukti paling gamblang tentang bekerjanya hoaks di ruang publik.
Kebangkrutan Hakiki
Hoaks paling mutakhir dengan muatan agama dapat dijumpai, misalnya, pada berita tentang pembatalan haji dan dananya akan digunakan untuk pembangunan IKN Nusantara. Kabar tersebut disebarkan oleh salah satu akun Facebook pada 30 Maret 2022. Setelah dilakukan cek fakta oleh serjumlah pihak, berita tersebut ternyata tidak benar yang sengaja dibuat untuk mendiskreditkan Menteri Agama RI, Yaqut Cholil Qoumas, beserta jajarannya.
Penyebaran berita bohong, terlebih dengan tema agama, merupakan tindakan yang sangat berlawanan dengan nilai-nilai keadaban publik dan kesalihan digital. Sungguh menjadi sebuah absurditas yang sulit dinalar jika hoaks dengan tema keagamaan masih marak terjadi di negeri paling “religius” seperti Indonesia. Pertanyaannya adalah, “quo-vadis” kesalihan digital?
Ibadah puasa di bulan Ramadhan yang dilakukan oleh ummat Muslim sejatinya merupakan ritual tahunan yang bertujuan untuk meningkatkan nilai-nilai keadaban publik dimaksud. Artinya, pembuatan berita palsu yang disebarkan di dunia maya menjadi indikator kegagalan ibadah puasa di bulan Ramadhan bagi si pelakunya. Rasulullah SAW dalam sebuah hadisnya menyebut pelaku kejahatan yang demikian dengan sebutan “al-muflis” (bangkrut).
Ketika ditanya siapakah “al-muflis” itu, Nabi menjawab: “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari ummatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa dosa berupa makian pada orang lain, memfitnah orang lain, menumpahkan darah orang lain dan mendzalimi orang lain. Lalu diberikanlah pada mereka sebagian pahala kebaikannya. Ketika kebaikannya sudah habis padahal dosanya belum terselesaikan, maka diambillah dosa-dosa mereka itu semua dan ditimpakan kepada dirinya. Kemudian dia dihempaskan ke dalam neraka” (HR Muslim).
Hadis tersebut menyampaikan pesan tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara kesalehan individual dan kesalehan publik (termasuk kesalehan digital) dalam setiap ibadah. Dengan berakhirnya Ramadhan dan perayaan Iedul Fitri, semoga ibadah puasa kita berdampak secara signifikan terhadap meningkatnya kesalihan publik kita agar terhindar dari kebangkrutan hakiki (al-muflis). Semoga!
Lihat Juga: Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi: Kebutuhan untuk Wujudkan Merdeka Belajar
Kebangkrutan Hakiki
Hoaks paling mutakhir dengan muatan agama dapat dijumpai, misalnya, pada berita tentang pembatalan haji dan dananya akan digunakan untuk pembangunan IKN Nusantara. Kabar tersebut disebarkan oleh salah satu akun Facebook pada 30 Maret 2022. Setelah dilakukan cek fakta oleh serjumlah pihak, berita tersebut ternyata tidak benar yang sengaja dibuat untuk mendiskreditkan Menteri Agama RI, Yaqut Cholil Qoumas, beserta jajarannya.
Penyebaran berita bohong, terlebih dengan tema agama, merupakan tindakan yang sangat berlawanan dengan nilai-nilai keadaban publik dan kesalihan digital. Sungguh menjadi sebuah absurditas yang sulit dinalar jika hoaks dengan tema keagamaan masih marak terjadi di negeri paling “religius” seperti Indonesia. Pertanyaannya adalah, “quo-vadis” kesalihan digital?
Ibadah puasa di bulan Ramadhan yang dilakukan oleh ummat Muslim sejatinya merupakan ritual tahunan yang bertujuan untuk meningkatkan nilai-nilai keadaban publik dimaksud. Artinya, pembuatan berita palsu yang disebarkan di dunia maya menjadi indikator kegagalan ibadah puasa di bulan Ramadhan bagi si pelakunya. Rasulullah SAW dalam sebuah hadisnya menyebut pelaku kejahatan yang demikian dengan sebutan “al-muflis” (bangkrut).
Ketika ditanya siapakah “al-muflis” itu, Nabi menjawab: “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari ummatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa dosa berupa makian pada orang lain, memfitnah orang lain, menumpahkan darah orang lain dan mendzalimi orang lain. Lalu diberikanlah pada mereka sebagian pahala kebaikannya. Ketika kebaikannya sudah habis padahal dosanya belum terselesaikan, maka diambillah dosa-dosa mereka itu semua dan ditimpakan kepada dirinya. Kemudian dia dihempaskan ke dalam neraka” (HR Muslim).
Hadis tersebut menyampaikan pesan tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara kesalehan individual dan kesalehan publik (termasuk kesalehan digital) dalam setiap ibadah. Dengan berakhirnya Ramadhan dan perayaan Iedul Fitri, semoga ibadah puasa kita berdampak secara signifikan terhadap meningkatnya kesalihan publik kita agar terhindar dari kebangkrutan hakiki (al-muflis). Semoga!
Lihat Juga: Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi: Kebutuhan untuk Wujudkan Merdeka Belajar
(kri)