Literasi Digital Penting agar Masyarakat Tidak Mudah Tertipu
loading...
A
A
A
JAKARTA - Literasi digital dinilai mendorong masyarakat bijak bermedia sosial agar tidak mudah tertipu. Literasi digital adalah bentuk upaya membangun kesadaran dalam bermedia sosial yang memiliki norma, nilai, dan hukum positif yang berdampak pada kehidupan nyata.
Direktur Jenderal (Dirjen) Aplikasi Informatika (Aptika) pada Kementerian Komunikasi dan Informatika ( Kominfo ) Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan seiring dengan meningkatnya penggunaan internet dari tahun ke tahun harus dibarengi dengan kewaspadaan masyarakat terhadap penipuan online, hoaks, cyber bullying, dan konten-konten negatif lainnya. Maka dengan adanya peningkatan penggunaan teknologi digital ini harus seimbang dengan kapasitas literasi digital yang memenuhi agar masyarakat dapat memanfaatkan teknologi digital secara bijak.
"Literasi media sosial merupakan bentuk upaya membangun kesadaran dalam bermedia sosial yang memiliki norma, nilai, dan hukum positif yang berdampak pada kehidupan nyata. Hal ini akan memengaruhi pembentukan pengetahuan kritis dalam mencerna konten dan unggahan di media sosial," katanya dalam Seminar Literasi Digital dengan tema “Literasi digital Menyikapi Fenomena Crazy Rich di Media Sosial”, Rabu (13/4/2022).
Sementara itu, Wakil Ketua Umum DPP GP NasDem sekaligus Ketua Bidang Hubungan Badan dan Sayap GP NasDem Ivanhoe Semen menuturkan, banyak masyarakat yang terdampak dalam bidang ekonomi maupun lainnya pada pandemi Covid-19. Sedangkan akhir-akhir ini dikenal sebuah istilah flexing atau tindakan memamerkan kekayaan di media sosial.
Dia menilai hal tersebut kontras dengan keadaan masyarakat yang sedang terdampak pandemi. Para Crazy Rich itu menunjukkan kepada masyarakat bahwa siapa saja dan dari kalangan manapun bisa menjadi seperti mereka secara instan.
“Dengan adanya diskusi ini maka diharapkan masyarakat tidak mudah tertipu hanya karena ingin mendapatkan sesuatu dengan cara instan,” ujarnya.
Ivan mengatakan bahwa literasi digital di era saat ini sangat diperlukan agar masyarakat memahami segala sesuatunya butuh proses, dan jangan mudah tertipu dengan proses instan. Sementara itu, Anggota Komisi I DPR Kresna Dewanata Phrosakh mengungkapkan tujuan utama dari flexing adalah pengakuan dari orang lain dan psikologis bahwa ada sebuah kepuasan di atas pengakuan tersebut.
“Mereka bukan crazy rich melainkan mereka menggunakan media sosial dengan sengaja, sistematis, dan strategis untuk merancang kesan berhasil dan kaya dengan mudah sebagai sebuah perangkap bagi publik yang tidak memiliki literasi kritis dalam bermedia sosial untuk memasuki skema penipuan yang sudah disiapkan mereka,” ungkapnya.
Dewa juga mengatakan bahwa saat ini Komisi I DPR dan Kominfo sedang merancang Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang bertujuan agar data-data pribadi masyarakat tidak disalahgunakan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab.
“Literasi digital memampukan kita merespons masalah flexing dan bragging ini dengan lebih kritis dan cerdas dengan pemaknaan berbasis pada kepentingan kita masing-masing,” tutur Dewa.
Direktur Jenderal (Dirjen) Aplikasi Informatika (Aptika) pada Kementerian Komunikasi dan Informatika ( Kominfo ) Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan seiring dengan meningkatnya penggunaan internet dari tahun ke tahun harus dibarengi dengan kewaspadaan masyarakat terhadap penipuan online, hoaks, cyber bullying, dan konten-konten negatif lainnya. Maka dengan adanya peningkatan penggunaan teknologi digital ini harus seimbang dengan kapasitas literasi digital yang memenuhi agar masyarakat dapat memanfaatkan teknologi digital secara bijak.
"Literasi media sosial merupakan bentuk upaya membangun kesadaran dalam bermedia sosial yang memiliki norma, nilai, dan hukum positif yang berdampak pada kehidupan nyata. Hal ini akan memengaruhi pembentukan pengetahuan kritis dalam mencerna konten dan unggahan di media sosial," katanya dalam Seminar Literasi Digital dengan tema “Literasi digital Menyikapi Fenomena Crazy Rich di Media Sosial”, Rabu (13/4/2022).
Sementara itu, Wakil Ketua Umum DPP GP NasDem sekaligus Ketua Bidang Hubungan Badan dan Sayap GP NasDem Ivanhoe Semen menuturkan, banyak masyarakat yang terdampak dalam bidang ekonomi maupun lainnya pada pandemi Covid-19. Sedangkan akhir-akhir ini dikenal sebuah istilah flexing atau tindakan memamerkan kekayaan di media sosial.
Dia menilai hal tersebut kontras dengan keadaan masyarakat yang sedang terdampak pandemi. Para Crazy Rich itu menunjukkan kepada masyarakat bahwa siapa saja dan dari kalangan manapun bisa menjadi seperti mereka secara instan.
“Dengan adanya diskusi ini maka diharapkan masyarakat tidak mudah tertipu hanya karena ingin mendapatkan sesuatu dengan cara instan,” ujarnya.
Ivan mengatakan bahwa literasi digital di era saat ini sangat diperlukan agar masyarakat memahami segala sesuatunya butuh proses, dan jangan mudah tertipu dengan proses instan. Sementara itu, Anggota Komisi I DPR Kresna Dewanata Phrosakh mengungkapkan tujuan utama dari flexing adalah pengakuan dari orang lain dan psikologis bahwa ada sebuah kepuasan di atas pengakuan tersebut.
“Mereka bukan crazy rich melainkan mereka menggunakan media sosial dengan sengaja, sistematis, dan strategis untuk merancang kesan berhasil dan kaya dengan mudah sebagai sebuah perangkap bagi publik yang tidak memiliki literasi kritis dalam bermedia sosial untuk memasuki skema penipuan yang sudah disiapkan mereka,” ungkapnya.
Dewa juga mengatakan bahwa saat ini Komisi I DPR dan Kominfo sedang merancang Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang bertujuan agar data-data pribadi masyarakat tidak disalahgunakan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab.
“Literasi digital memampukan kita merespons masalah flexing dan bragging ini dengan lebih kritis dan cerdas dengan pemaknaan berbasis pada kepentingan kita masing-masing,” tutur Dewa.
(rca)