Kekerasan Daring dan Luring

Kamis, 14 April 2022 - 13:53 WIB
loading...
Kekerasan Daring dan...
Al Makin, Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Foto/Dok. Pribadi
A A A
Al Makin
Rektor UIN Sunan Kalijaga

LIHATLAH media sosial kita: Twitter, YouTube, Instagram, Facebook, atau TikTok. Lihatlah komentar-komentar yang tidak setuju atau tidak suka dengan unggahan pemilik akun. Berjibun kata-kata yang sifatnya menyerang, negatif, memojokkan, melecehkan, menghina dan nada-nada yang masuk dalam kategori perundungan (bullying).

Media sosial kita sangat sensitif dan kejam tiada ampun. Berita-berita sengaja diunggah, terutama yang dianggap provokatif dan kontroversial, dengan tujuan agar menjadi viral. Ini yang dilakukan oleh sebagian influencer kita. Lalu viral itu sendiri harus dibayar dengan ketahanan menghadapi komentar negatif.

Semua kasus yang memicu kontroversi publik selalu membuahkan pro dan kontra yang miris dengan kekerasan. Kekerasan tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi dalam bentuk kata-kata.

Kebetulan karena trendnya online, maka komentar-komentar menggusarkan hati selalu kita baca. Hampir semua kebijakan, semua peraturan, semua saran, dan pendapat publik di era medsos (media sosial) ini dengan mudah dihakimi lewat medsos juga.

Sumber-sumber berita mainstream, yang utama dan dikelola secara professional dengan standar jurnalisme, mudah dikalahkan dan sehingga tidak viral. Akun pribadi yang dikelola sambil lalu, dengan kalimat-kalimat singkat, tanpa edit, tanpa pertimbangan, tanpa pemikiran, bahkan tanpa keahlian atau standar tertentu, melampui media utama. Era disrupsi sayangnya disertai dengan kekerasan secara daring.

Kekerasan daring sudah kita rasakan dan menyakitkan. Pendidikan keragaman yang masih jauh perlu digarap. Kita belum siap berbeda dan menerima perbedaan.

Para netizen belum siap menerima ada pandangan lain. Mereka belum tahan membaca perbedaan dan posisi yang berbeda. Pandangan lain berarti salah dan bisa dipersekusi secara massal lewat komentar-komentar.

Sungguh beruntung orang-orang yang offline, tampaknya. Tidak bersambung dengan media sosial seperti sebuah kemewahan. Jika kita tutup mata dan tidak mau tahu, meninggalkan dunia media sosial, kadangkala adalah sebuah ketenangan.

Kekacauan yang terjadi secara daring ternyata, cilakanya, menggambarkan dunia luring. Kekerasan yang terjadi di dunia maya, seperti cermin dunia nyata.

Jadi hidup tanpa dunia maya, tampaknya tidak membantu. Karena keselamatan dan rasa aman di dunia nyata juga tidak terjamin. Apalagi jika kita ingin mengungkapkan pandangan yang berbeda di hadapan massa, jamaah, umat, atau masyarakat secara umum.

Kekerasan terjadi tampaknya akibat dari pendidkan demokrasi kita, terutama menyangkut menghormati pandangan yang berbeda, belum berhasil. Masyarakat kita pada dasarnya kurang mentolerir pandangan berbeda, dan bahkan menganggap yang berbeda menyimpang dan berdosa, ditambahai. Dunia daring dan luring ternyata tidak berbeda.

Ada demonstrasi dengan massa yang bersemangat menyuarakan aspirasi. Seperti yang terjadi juga di Amerika ketika massa melabrak gedung capitol hill beberapa saat yang lalu karena memprotes hasil Pemilu di sana, massa tak terkendali. Penyerangan, perusakan, dan pemojokan tak terkendali.

Dalam istilah sosiologi ini adalah bentuk kerumunan. Kerumunan yang mempunyai emosi meluap-luap mudah disulut yang bisa saja tega berbuat diluar batas.

Dalam bahasa Jawa ada istilah tego larane, ra tego patine (tega sakitnya, tidak tega matinya). Artinya sekadar menyerang dan membuat kapok memang target kekerasan kerumunan.

Tidak ada korban jiwa dalam banyak kasus. Tetapi membuat orang trauma, dan menunjukkan ketidakpuasan, sekaligus kekuatan, merupakan target sesaat.

Kekerasan daring dan luring bersambut. Apa yang terjadi di dunia maya dengan komentar-komentar disertai umpatan, persis dengan dunia nyata. Ada hambatan penyampaian gagasan, mungkin karena komunikasi antara yang di atas dan yang dipimpin terhambat. Tidak dirasakan ketegasan sikap tentang masa, waktu, dan suksesi membuat celah untuk berunjuk rasa.

Sesuai dengan kata unjuk rasa itu sendiri, berarti ada rasa yang terhambat dan harus ditunjukkan. Ada komitmen yang ditunggu tidak segera datang. Ada kesempatan, yang jelas, dengan ketidakjelasan itu untuk memberi respons. Unjuk rasa adalah cara menyampaikan rasa yang sepertinya tersumbat. Berbahaya.

Indonesia adalah negeri yang sangat beragam. Keragaman alami dan pasti adalah geografis, yang melahirkan keragaman etnis, budaya, tradisi, dan agama. Itu keragaman yang tidak bisa dipungkiri.

Tampaknya keragaman ini kadangkala sudah menjadi hal yang jamak. Perbedaan agama bahkan bukan lagi faktor utama kekerasan. Perbedaan etnis dan budaya tampaknya menemukan banyak jembatan. Keragaman kuliner, sebagai salah satu budaya, bahkan menyatukan. Ini semua disebut keragaman sosial.

Keragaman yang lebih urgen dan harus dipertimbangkan adalah keragaman dalam politik dan ekonomi. Kesenjangan penghasilan, kenaikan harga, instabilitas ekonomi, dan lain-lain merupakan faktor utama pemicu keresahan sosial.

Keragaman pilihan politik, pendapat tentang Pemilu 2024, suksesi, calon idaman, dan konsekswensi dari kemenangan dan kekalahan dalam berlaga dalam pemilihan harus digarap secara serius dan antisipasi. Keragaman ekonomi dan politik inilah yang bisa sewaktu-waktu ditumpangi agama, atau identitas keagaman, dan akan bisa pecah menjadi kericuhan, konflik, dan kerusuhan sosial yang mengkawatirkan. Pertama dengan daring, selanjutnya luring, waspadalah.
(poe)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Lanjut Baca Berita Terkait Lainnya
Berita Terkait
Paradoks Pendidikan:...
Paradoks Pendidikan: Melahirkan Cendekia, Menumbuhkan Koruptor
Pope Francis dan Dialog...
Pope Francis dan Dialog Antaragama untuk Perdamaian
Mitigasi Daerah dalam...
Mitigasi Daerah dalam Efisiensi APBN
Memotret Kebijakan Palestina...
Memotret Kebijakan Palestina dan Urgensi Harmoni Sosial dalam Perspektif Global
Komunikasi Etnografi...
Komunikasi Etnografi Kritikal dalam Menunjang DEI dan CSR Perusahaan
Kemhan Pastikan Pengendara...
Kemhan Pastikan Pengendara Mobil yang Diduga Sewa PSK di Pinggir Jalan Bukan Pegawainya
Idulfitri dan Nyepi...
Idulfitri dan Nyepi sebagai Momentum Energi Cinta dan Perdamaian Umat
PMII dan Tantangan Kaderisasi...
PMII dan Tantangan Kaderisasi di Era Ketidakpastian
Nasib Pengawas Sekolah...
Nasib Pengawas Sekolah di Ujung Tanduk?
Rekomendasi
Putin Tunjukkan Apartemen...
Putin Tunjukkan Apartemen Mewah untuk Pertama Kalinya, Ada Gereja Pribadi Berlapis Emas
5 Buah yang Bisa Menurunkan...
5 Buah yang Bisa Menurunkan Asam Urat dengan Cepat, Ceri Kaya Antioksidan
Lebih Murah dari Avanza,...
Lebih Murah dari Avanza, Mobil Listrik Toyota bZ3X Ludes 10.000 Unit di China, Indonesia Kapan?
Berita Terkini
Bareskrim Polri Sita...
Bareskrim Polri Sita Uang Rp61 Miliar dari 164 Rekening Penampungan Judi Online
1 jam yang lalu
Profil Rizal Fadhillah,...
Profil Rizal Fadhillah, Sosok yang Dilaporkan Jokowi Terkait Kasus Ijazah Palsu
2 jam yang lalu
Prabowo Hadiri Peringatan...
Prabowo Hadiri Peringatan Hardiknas di SDN Cimahpar 5 Bogor
2 jam yang lalu
Bareskrim Polri Backup...
Bareskrim Polri Backup Penanganan Kasus Predator Seks di Jepara
2 jam yang lalu
Ketum PB IKA PMII: Ketahanan...
Ketum PB IKA PMII: Ketahanan Pangan Jadi Prioritas Menuju Indonesia Emas 2045
2 jam yang lalu
Polemik Pemekaran Wilayah...
Polemik Pemekaran Wilayah Mencuat, Forkonas PP DOB: Sudah Waktunya!
3 jam yang lalu
Infografis
Pakistan dan India Diambang...
Pakistan dan India Diambang Perang Habis-habisan
Copyright ©2025 SINDOnews.com All Rights Reserved