Penerapan Otonomi Khusus di Papua oleh Pemerintah Diapresiasi
loading...
A
A
A
Tidak hanya itu, pemerintah juga melakukan pendekatan ekologis, meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) seperti yang diterima Reno Mayor penerima Bidik Misi sejak SMA. Bahkan, evaluasi Otsus terus dilakukan pemerintah dengan melibatkan orang asli Papua. ”Jika ada yang merasa masih belum tersentuh, mohon dimaklumi karena begitu luasnya wilayah Papua,” ucapnya.
Sementara itu, akademisi Universitas Indonesia Chusnul Mariyah mengatakan, saat ini Papua dibelenggu tiga oligarki yakni, politik, ekonomi, sosial. Chusnul meminta jangan menjadikan Papua sebagai ladang project oriented oleh oknum politik. Selain itu, truth and reconciliation harus dilakukan, dan ikhtiar melalui interfaith dialogue. ”Perbedaan pendang tentu boleh, namun jika ada self determination yang merusak kedaulatan tentu juga ada aturan hukumnya,” katanya.
Menurut Chusnul, dalam memperkuat daerah Papua, pendekatan legal memang mudah namun tidak kontekstual. Dalam eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) misalnya, Indonesia punya UU dimana dalam pengelolaannya, 10% milik daerah. Sayangnya, selalu diperjualbelikan. ”Tolong kunci pasal tersebut agar 10% tidak diperjualbelikan, dan tunainya didapatkan dari dividen,” tegasnya.
Sedangkan, mantan Duta Besar RI untuk China dan Mongolia Imron Cotan mengatakan dari perspektif hukum dan sejarah, harus diakui bahwa ada kesalahpahaman isu Papua di Indonesia. Pertama, Papua dianggap sebagai entitas politik tersendiri, bahwa Indonesia mengintegrasi Papua. Mengenai tuduhan rasisme, diskriminasi, seperti yang disuarakan kelompok separatisme, hal tersebut adalah salah tuduh. ”Tidak sepenuhnya terjadi. Ya, memang ada beberapa oknum, namun mayoritas merasakan good under NKRI,” katanya.
Asumsi-asumsi separatisme itu hanyalah dibangun oleh ilusi. Saat ini pun, sejak adanya UU 21/2001 Tentang Otonomi Khusus Papua, seluruh jabatan publik di Provinsi Papua telah diduduki oleh orang asli Papua. ”Mari kita duduk bersama membicarakan permasalahan Papua tanpa membahas status politik Papua,” ucapnya.
Sementara itu, akademisi Universitas Indonesia Chusnul Mariyah mengatakan, saat ini Papua dibelenggu tiga oligarki yakni, politik, ekonomi, sosial. Chusnul meminta jangan menjadikan Papua sebagai ladang project oriented oleh oknum politik. Selain itu, truth and reconciliation harus dilakukan, dan ikhtiar melalui interfaith dialogue. ”Perbedaan pendang tentu boleh, namun jika ada self determination yang merusak kedaulatan tentu juga ada aturan hukumnya,” katanya.
Menurut Chusnul, dalam memperkuat daerah Papua, pendekatan legal memang mudah namun tidak kontekstual. Dalam eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) misalnya, Indonesia punya UU dimana dalam pengelolaannya, 10% milik daerah. Sayangnya, selalu diperjualbelikan. ”Tolong kunci pasal tersebut agar 10% tidak diperjualbelikan, dan tunainya didapatkan dari dividen,” tegasnya.
Sedangkan, mantan Duta Besar RI untuk China dan Mongolia Imron Cotan mengatakan dari perspektif hukum dan sejarah, harus diakui bahwa ada kesalahpahaman isu Papua di Indonesia. Pertama, Papua dianggap sebagai entitas politik tersendiri, bahwa Indonesia mengintegrasi Papua. Mengenai tuduhan rasisme, diskriminasi, seperti yang disuarakan kelompok separatisme, hal tersebut adalah salah tuduh. ”Tidak sepenuhnya terjadi. Ya, memang ada beberapa oknum, namun mayoritas merasakan good under NKRI,” katanya.
Asumsi-asumsi separatisme itu hanyalah dibangun oleh ilusi. Saat ini pun, sejak adanya UU 21/2001 Tentang Otonomi Khusus Papua, seluruh jabatan publik di Provinsi Papua telah diduduki oleh orang asli Papua. ”Mari kita duduk bersama membicarakan permasalahan Papua tanpa membahas status politik Papua,” ucapnya.
(cip)