Penerapan Otonomi Khusus di Papua oleh Pemerintah Diapresiasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah tokoh pemuda Papua mengapresiasi kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) yang diberlakukan pemerintah di provinsi paling timur Indonesia tersebut.
Hal itu terungkap dalam dialog bertema ”Menakar Masa Depan Papua" dengan narasumber, Wakil Ketua Ikatan Mahasiswa Papua UI 2019, Reno Mayor, Tokoh Pemuda Papua Boy Markus Dawir, Duta Besar RI Imron Cotan, Senior Pamong Papua Michael Manufandu dan Deputi Kominfo BIN Wawan Hari Purwanto serta Akademisi Universitas Indonesia (UI) Chusnul Mariyah.
Senior Pamong Papua Michael Manufandu mengatakan, sejak 2012-2013 Presiden SBY telah menyiapkan 1.000 anak untuk belajar di universitas agar lebih konstuktif, to be the leader of tomorrow. Otsus telah membangun wilayah-wilayah yang terisolasi karena keadaan geografis, sehingga terjadi interaksi penduduk, atau pembauran serta menghadirkan pemerintah di sana. (Baca juga: Keseriusan Pemerintah Pusat Bangun Papua Menuai Pujian)
”Pemerintah juga telah melimpahkan wewenang, menyerahkan anggaran untuk memampukan rakyat, sehingga Pemda memiliki kewenangan untuk mengatur rakyatnya. Infrastruktur sekarang juga sudah jauh lebih baik sejak pembangunan oleh Bapak Jokowi,” katanya.
Wakil Ketua Ikatan Mahasiswa Papua UI 2019 Reno Mayor mengapresiasi kebijakan Otsus Papua. Namun, mengapa masyarakat Papua masih hidup tidak sejahtera di atas kekayaan alamnya. ”Karena saya pikir penerapan masih kurang tepat sasaran, sehingga sebagian masyarakat dimanja dengan dana Otsus sebagian lagi tidak atau belum tersentuh. Sedangkan, mentalitas berjuang, kesadaran untuk bersaing, dan kualitas SDM belum merata,” katanya. (Baca juga: Guru Besar Unpad Sebut Perhatian Pemerintah untuk Papua Luar Biasa)
Untuk itu, dia meminta pemerintah harus mengajarkan kepercayaan diri dan kesiapan bersaing bagi masyarakat Papua. Karena hal tersebut tidak diajarkan di bangku sekolah, maka sebaiknya hal itu diajarkan melalui sekolah di Papua. ”Berikan akses pendidikan yang sesuai bagi situasi wilayah kami. Lalu, lakukan pemerataan dan tepatkan sasaran dalam penyerapan Dana Otsus,” katanya.
Tokoh Pemuda Papua Boy Markus Dawir mengatakan, cara pandang para pemuda Papua saat ini terbagi menjadi dua yakni teman-teman yang mendukung NKRI dan yang bersebarangan dengan NKRI. Rata-rata, teman-teman berseberangan ini merasakan tidak hadirnya negara dalam masyarakat Papua, terutama minimnya kesempatan pemuda Papua menjadi ASN, TNI, atau Polri dan bagian lainnya sehingga memilih untuk bergabung dengan kelompok separatis. (Baca juga: Warga Papua Ajak Semua Pihak Bersama Cegah Rasisme)
’Tergantung keseriusan negara apakah mau menginventarisasi permasalahan besar hingga permasalahan kecil, seperti kasus HAM yang tidak kunjung selesai hingga kini. Hal seperti ini bisa menjadi bom waktu. Lakukan cara yang baik, bermartabat, toh kami sudah sampaikan rekomendasi kepada negara dan semoga ditindaklanjuti sesuai aturan hukum,”pintanya.
Deputi Kominfo BIN Wawan Hari Purwanto mengatakan saat ini, pemerintah sedang melakukan percepatan-percepatan di segala bidang baik pendidikan, fasilitas, energi, air bersih, kebutuhan pabrik, perbatasan Papua, yang secara prinsip mempercepat penyetaraan Papua dengan provinsi lainnya. (Baca juga: Penyelesaian Papua Harus dengan Pendekatan Persuasif Bukan Kekuasaan)
”Terlebih saat ini jelang PON Papua, kita juga bangun fasilitas olahraga dengan standar dunia. Kita kerjakan secara holistik demi mewujdukan keadilan sosial. Kita lihat kreativitas di Papua, telah diberdayakan sebagai kawasan ekonomi khusus yang terkenal di dunia, kita dorong agar tumbuh cepat, termasuk penguatan distrik-distrik,” ujarnya.
Tidak hanya itu, pemerintah juga melakukan pendekatan ekologis, meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) seperti yang diterima Reno Mayor penerima Bidik Misi sejak SMA. Bahkan, evaluasi Otsus terus dilakukan pemerintah dengan melibatkan orang asli Papua. ”Jika ada yang merasa masih belum tersentuh, mohon dimaklumi karena begitu luasnya wilayah Papua,” ucapnya.
Sementara itu, akademisi Universitas Indonesia Chusnul Mariyah mengatakan, saat ini Papua dibelenggu tiga oligarki yakni, politik, ekonomi, sosial. Chusnul meminta jangan menjadikan Papua sebagai ladang project oriented oleh oknum politik. Selain itu, truth and reconciliation harus dilakukan, dan ikhtiar melalui interfaith dialogue. ”Perbedaan pendang tentu boleh, namun jika ada self determination yang merusak kedaulatan tentu juga ada aturan hukumnya,” katanya.
Menurut Chusnul, dalam memperkuat daerah Papua, pendekatan legal memang mudah namun tidak kontekstual. Dalam eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) misalnya, Indonesia punya UU dimana dalam pengelolaannya, 10% milik daerah. Sayangnya, selalu diperjualbelikan. ”Tolong kunci pasal tersebut agar 10% tidak diperjualbelikan, dan tunainya didapatkan dari dividen,” tegasnya.
Sedangkan, mantan Duta Besar RI untuk China dan Mongolia Imron Cotan mengatakan dari perspektif hukum dan sejarah, harus diakui bahwa ada kesalahpahaman isu Papua di Indonesia. Pertama, Papua dianggap sebagai entitas politik tersendiri, bahwa Indonesia mengintegrasi Papua. Mengenai tuduhan rasisme, diskriminasi, seperti yang disuarakan kelompok separatisme, hal tersebut adalah salah tuduh. ”Tidak sepenuhnya terjadi. Ya, memang ada beberapa oknum, namun mayoritas merasakan good under NKRI,” katanya.
Asumsi-asumsi separatisme itu hanyalah dibangun oleh ilusi. Saat ini pun, sejak adanya UU 21/2001 Tentang Otonomi Khusus Papua, seluruh jabatan publik di Provinsi Papua telah diduduki oleh orang asli Papua. ”Mari kita duduk bersama membicarakan permasalahan Papua tanpa membahas status politik Papua,” ucapnya.
Hal itu terungkap dalam dialog bertema ”Menakar Masa Depan Papua" dengan narasumber, Wakil Ketua Ikatan Mahasiswa Papua UI 2019, Reno Mayor, Tokoh Pemuda Papua Boy Markus Dawir, Duta Besar RI Imron Cotan, Senior Pamong Papua Michael Manufandu dan Deputi Kominfo BIN Wawan Hari Purwanto serta Akademisi Universitas Indonesia (UI) Chusnul Mariyah.
Senior Pamong Papua Michael Manufandu mengatakan, sejak 2012-2013 Presiden SBY telah menyiapkan 1.000 anak untuk belajar di universitas agar lebih konstuktif, to be the leader of tomorrow. Otsus telah membangun wilayah-wilayah yang terisolasi karena keadaan geografis, sehingga terjadi interaksi penduduk, atau pembauran serta menghadirkan pemerintah di sana. (Baca juga: Keseriusan Pemerintah Pusat Bangun Papua Menuai Pujian)
”Pemerintah juga telah melimpahkan wewenang, menyerahkan anggaran untuk memampukan rakyat, sehingga Pemda memiliki kewenangan untuk mengatur rakyatnya. Infrastruktur sekarang juga sudah jauh lebih baik sejak pembangunan oleh Bapak Jokowi,” katanya.
Wakil Ketua Ikatan Mahasiswa Papua UI 2019 Reno Mayor mengapresiasi kebijakan Otsus Papua. Namun, mengapa masyarakat Papua masih hidup tidak sejahtera di atas kekayaan alamnya. ”Karena saya pikir penerapan masih kurang tepat sasaran, sehingga sebagian masyarakat dimanja dengan dana Otsus sebagian lagi tidak atau belum tersentuh. Sedangkan, mentalitas berjuang, kesadaran untuk bersaing, dan kualitas SDM belum merata,” katanya. (Baca juga: Guru Besar Unpad Sebut Perhatian Pemerintah untuk Papua Luar Biasa)
Untuk itu, dia meminta pemerintah harus mengajarkan kepercayaan diri dan kesiapan bersaing bagi masyarakat Papua. Karena hal tersebut tidak diajarkan di bangku sekolah, maka sebaiknya hal itu diajarkan melalui sekolah di Papua. ”Berikan akses pendidikan yang sesuai bagi situasi wilayah kami. Lalu, lakukan pemerataan dan tepatkan sasaran dalam penyerapan Dana Otsus,” katanya.
Tokoh Pemuda Papua Boy Markus Dawir mengatakan, cara pandang para pemuda Papua saat ini terbagi menjadi dua yakni teman-teman yang mendukung NKRI dan yang bersebarangan dengan NKRI. Rata-rata, teman-teman berseberangan ini merasakan tidak hadirnya negara dalam masyarakat Papua, terutama minimnya kesempatan pemuda Papua menjadi ASN, TNI, atau Polri dan bagian lainnya sehingga memilih untuk bergabung dengan kelompok separatis. (Baca juga: Warga Papua Ajak Semua Pihak Bersama Cegah Rasisme)
’Tergantung keseriusan negara apakah mau menginventarisasi permasalahan besar hingga permasalahan kecil, seperti kasus HAM yang tidak kunjung selesai hingga kini. Hal seperti ini bisa menjadi bom waktu. Lakukan cara yang baik, bermartabat, toh kami sudah sampaikan rekomendasi kepada negara dan semoga ditindaklanjuti sesuai aturan hukum,”pintanya.
Deputi Kominfo BIN Wawan Hari Purwanto mengatakan saat ini, pemerintah sedang melakukan percepatan-percepatan di segala bidang baik pendidikan, fasilitas, energi, air bersih, kebutuhan pabrik, perbatasan Papua, yang secara prinsip mempercepat penyetaraan Papua dengan provinsi lainnya. (Baca juga: Penyelesaian Papua Harus dengan Pendekatan Persuasif Bukan Kekuasaan)
”Terlebih saat ini jelang PON Papua, kita juga bangun fasilitas olahraga dengan standar dunia. Kita kerjakan secara holistik demi mewujdukan keadilan sosial. Kita lihat kreativitas di Papua, telah diberdayakan sebagai kawasan ekonomi khusus yang terkenal di dunia, kita dorong agar tumbuh cepat, termasuk penguatan distrik-distrik,” ujarnya.
Tidak hanya itu, pemerintah juga melakukan pendekatan ekologis, meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) seperti yang diterima Reno Mayor penerima Bidik Misi sejak SMA. Bahkan, evaluasi Otsus terus dilakukan pemerintah dengan melibatkan orang asli Papua. ”Jika ada yang merasa masih belum tersentuh, mohon dimaklumi karena begitu luasnya wilayah Papua,” ucapnya.
Sementara itu, akademisi Universitas Indonesia Chusnul Mariyah mengatakan, saat ini Papua dibelenggu tiga oligarki yakni, politik, ekonomi, sosial. Chusnul meminta jangan menjadikan Papua sebagai ladang project oriented oleh oknum politik. Selain itu, truth and reconciliation harus dilakukan, dan ikhtiar melalui interfaith dialogue. ”Perbedaan pendang tentu boleh, namun jika ada self determination yang merusak kedaulatan tentu juga ada aturan hukumnya,” katanya.
Menurut Chusnul, dalam memperkuat daerah Papua, pendekatan legal memang mudah namun tidak kontekstual. Dalam eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) misalnya, Indonesia punya UU dimana dalam pengelolaannya, 10% milik daerah. Sayangnya, selalu diperjualbelikan. ”Tolong kunci pasal tersebut agar 10% tidak diperjualbelikan, dan tunainya didapatkan dari dividen,” tegasnya.
Sedangkan, mantan Duta Besar RI untuk China dan Mongolia Imron Cotan mengatakan dari perspektif hukum dan sejarah, harus diakui bahwa ada kesalahpahaman isu Papua di Indonesia. Pertama, Papua dianggap sebagai entitas politik tersendiri, bahwa Indonesia mengintegrasi Papua. Mengenai tuduhan rasisme, diskriminasi, seperti yang disuarakan kelompok separatisme, hal tersebut adalah salah tuduh. ”Tidak sepenuhnya terjadi. Ya, memang ada beberapa oknum, namun mayoritas merasakan good under NKRI,” katanya.
Asumsi-asumsi separatisme itu hanyalah dibangun oleh ilusi. Saat ini pun, sejak adanya UU 21/2001 Tentang Otonomi Khusus Papua, seluruh jabatan publik di Provinsi Papua telah diduduki oleh orang asli Papua. ”Mari kita duduk bersama membicarakan permasalahan Papua tanpa membahas status politik Papua,” ucapnya.
(cip)