Ajakan Buya Hamka untuk Memupuk Akar Pancasila
loading...
A
A
A
JAKARTA - “Pancasila telah lama dimiliki oleh Bangsa Indonesia, yaitu sejak seruan Islam sampai ke Indonesia dan diterima oleh Bangsa Indonesia. Kita tak usah khawatir terganggu, selama urat tunggangnya tetap kita pupuk: Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Demikian penggalan kesimpulan dalam buku Urat Tunggang Pancasila karya Buya Hamka. Buku yang ditulis ulama karismatik asal Tanah Minang tersebut seperti menemukan relevansinya saat ini, ketika kegaduhan timbul sebagai respons atas munculnya Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila ( RUU HIP ) yang dinilai sebagai upaya untuk menggoyang-goyang Pancasila sebagai falsafah negara.
Banyak elemen masyarakat yang menolak RUU tersebut, termasuk sejumlah ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah , dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Alasannya beragam, mulai tidak dicantumkannya TAP MPRS XXV/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Larangan Ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme, hingga adanya pasal yang membuka ruang untuk memeras Pancasila menjadi trisila dan ekasila.
Sebagian lagi menyatakan merupakan kesalahan besar menempatkan Pancasila dalam sebuah Undang-Undang (UU). Ini dianggap menurunkan derajat Pancasila. Juga membuka kemungkinan adanya judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi karena Pancasila ditempatkan dalam norma biasa. Padahal para pendiri Bangsa Indonesia telah merumuskan dan menempatkan Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara ini.
(Baca: Muhammadiyah: RUU HIP Kuras Energi dan Berpotensi Pecah Belah Bangsa)
Dalam buku yang diterbitkan tahun 1951 itu, Hamka memaparkan sejarah, menguar makna setiap sila, sekaligus menjelaskan posisi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai jawaban atas keresahan umat Islam setelah pidato Presiden Soekarno dalam acara Isra Mi’raj pada Mei 1950. Ketika itu, Bung Karno dengan gaya orasinya yang khas mengajak seluruh rakyat, termasuk umat Islam untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar perjuangan menegakkan negara dalam persatuan yang kokoh dan tidak bercerai-cerai.
Soekarno menyampaikan karena banyak golongan yang berjuang hanya memakai satu sila saja. Ada yang memakai dasar keadilan sosial dan mengabaikan yang lain. Ada yang memakai ketuhanan Yang Maha Esa saja dan mengabaikan sila lain. Hal ini, sebagaimana ditulis Hamka, membuat sebagian umat Islam tersinggung.
Namun, tidak begitu halnya dengan Hamka. Sebaliknya, Hamka mengatakan bahwa Soekarno memang sudah sering mengingatkan bangsa Indonesia bahwa lima sila dalam Pancasila itu tidak terpisah satu sama lain. Semuanya saling terkait, sebagaimana Rukun Islam dalam Agama Islam. ”Rukun-rukun Pancasila menurut keterangan beliau (Soekarno-red), serupa juga dengan Rukun Islam, jang tidak boleh hanja dikerjakan hanya satu rukun saja,” tulis ulama yang juga dikenal sebagai budayawan itu.
Karena itu, Hamka meyakini bahwa yang dimaksud Bung Karno bukanlah Umat Islam, tidak juga umat Kristen maupun Katolik. Sebagai pemimpin Soekarno mengingatkan semua rakyatnya bahwa kelima sila falsafah negara itu merupakan satu kesatuan.
Hamka lalu membedahkan satu per satu makna dan alasan umat Islam menerima Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Tentang sila ketuhanan Yang Maha Esa, menurut Hamka, perkumpulan Islam dan lainnya telah berjuangan menegakkan Pancasila dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
(Baca: Sekjen MUI Sebut RUU HIP Bahayakan Masa Depan Eksistensi Negara)
Mereka memulai perjuangan dengan dasar ketuhanan Yang Maha Esa. Perjuangan umat Islam didasarkan pada tauhid, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan Yang Maha Esa adalah pengakuan akan adanya kekuasaan di atas seluruh kekuasaan manusia, kata pria bernama asli Abdul Malik Karim Amrullah itu.
Memegang teguh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, maka akan tumbuh sikap perikemanusian yang tinggi. Ini sesuai dengan sila kedua. Manusia dan kemanusiaan yang setinggi-tingginya pada keyakinan dan kepercayaan.
Manusia akan mempraktek hidup yang hubungannya paling dekat dengan tuhan. Kemanusiaan adalah keimanan yang tidak dapat dipisahkan atau tumbuh langsung dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Penjelasan ketiga Hamka adalah keadilan sosial. Dunia saat itu, menurut pria kelahiran 1908, menuntut keadilan sosial. Maka umat yang percaya pada ketuhanan Yang Maha Esa dengan sendirinya akan menuntut keadilan sosial.
Dalam uraian tentang kedaulatan rakyat, Hamka kembali menarik bahwa itu akan berhubungan dengan sila pertama Pancasila. Tidak ada manusia yang diberi hak untuk menguasai sesama manusia.
Tidak ada diktator dalam masyarakat, baik diktator kenegaraan maupun keagamaan. Hamka bahkan berani mengkritik paham bangsa-bangsa asing: milai kemanusiaan lebih tinggi dari demokrasi atau kedaulatan rakyat.
(Baca: Ajak Ormas Islam Kawal RUU HIP, Wantim MUI Waspadai Pengesahan Diam-diam)
Dia menjelaskan sabda Tuhan Yang Maha Esa: manusia di dunia ini adalah khalifah tuhan. Maka, kalau ada pemimpin, baik raja maupun presiden, terpilih untuk memimpin sutu negara itu bukanlah datang dari langit.
Hamka menegaskan bahwa kepala negara menjalankan roda pemerintahannya harus atas kehendak rakyat. Rakyat itulah yang berdaulat dan berkuasa.
Dari kelima sila tersebut, Hamka yang pernah menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1975 ini menegaskan urat tunggang Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Perjuangan yang pertama dan utama dengan sendirinya sila kelima, yaitu kebangsaan dapat berjalan dengan baik.
Kebangsaan sekarang ini adalah negara yang rukun. Di dalamnya, ada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, kepala negara, bendera, lambing, dan slogan. Sila ketuhanan Yang Maha Esa mengajarkan bahwa seluruh bangsa adalah kawan dan seluruh manusia adalah sahabat.
Tujuan yang paling akhir adalah perdamaian dan kemanusiaan menegakkan dunia baru yang adil dan makmur. “Ketuhanan Yang Maha Esa Sumber hakiki dari segala sila dan kesusilaan,” tutup Hamka.
Demikian penggalan kesimpulan dalam buku Urat Tunggang Pancasila karya Buya Hamka. Buku yang ditulis ulama karismatik asal Tanah Minang tersebut seperti menemukan relevansinya saat ini, ketika kegaduhan timbul sebagai respons atas munculnya Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila ( RUU HIP ) yang dinilai sebagai upaya untuk menggoyang-goyang Pancasila sebagai falsafah negara.
Banyak elemen masyarakat yang menolak RUU tersebut, termasuk sejumlah ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah , dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Alasannya beragam, mulai tidak dicantumkannya TAP MPRS XXV/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Larangan Ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme, hingga adanya pasal yang membuka ruang untuk memeras Pancasila menjadi trisila dan ekasila.
Sebagian lagi menyatakan merupakan kesalahan besar menempatkan Pancasila dalam sebuah Undang-Undang (UU). Ini dianggap menurunkan derajat Pancasila. Juga membuka kemungkinan adanya judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi karena Pancasila ditempatkan dalam norma biasa. Padahal para pendiri Bangsa Indonesia telah merumuskan dan menempatkan Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara ini.
(Baca: Muhammadiyah: RUU HIP Kuras Energi dan Berpotensi Pecah Belah Bangsa)
Dalam buku yang diterbitkan tahun 1951 itu, Hamka memaparkan sejarah, menguar makna setiap sila, sekaligus menjelaskan posisi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai jawaban atas keresahan umat Islam setelah pidato Presiden Soekarno dalam acara Isra Mi’raj pada Mei 1950. Ketika itu, Bung Karno dengan gaya orasinya yang khas mengajak seluruh rakyat, termasuk umat Islam untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar perjuangan menegakkan negara dalam persatuan yang kokoh dan tidak bercerai-cerai.
Soekarno menyampaikan karena banyak golongan yang berjuang hanya memakai satu sila saja. Ada yang memakai dasar keadilan sosial dan mengabaikan yang lain. Ada yang memakai ketuhanan Yang Maha Esa saja dan mengabaikan sila lain. Hal ini, sebagaimana ditulis Hamka, membuat sebagian umat Islam tersinggung.
Namun, tidak begitu halnya dengan Hamka. Sebaliknya, Hamka mengatakan bahwa Soekarno memang sudah sering mengingatkan bangsa Indonesia bahwa lima sila dalam Pancasila itu tidak terpisah satu sama lain. Semuanya saling terkait, sebagaimana Rukun Islam dalam Agama Islam. ”Rukun-rukun Pancasila menurut keterangan beliau (Soekarno-red), serupa juga dengan Rukun Islam, jang tidak boleh hanja dikerjakan hanya satu rukun saja,” tulis ulama yang juga dikenal sebagai budayawan itu.
Karena itu, Hamka meyakini bahwa yang dimaksud Bung Karno bukanlah Umat Islam, tidak juga umat Kristen maupun Katolik. Sebagai pemimpin Soekarno mengingatkan semua rakyatnya bahwa kelima sila falsafah negara itu merupakan satu kesatuan.
Hamka lalu membedahkan satu per satu makna dan alasan umat Islam menerima Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Tentang sila ketuhanan Yang Maha Esa, menurut Hamka, perkumpulan Islam dan lainnya telah berjuangan menegakkan Pancasila dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
(Baca: Sekjen MUI Sebut RUU HIP Bahayakan Masa Depan Eksistensi Negara)
Mereka memulai perjuangan dengan dasar ketuhanan Yang Maha Esa. Perjuangan umat Islam didasarkan pada tauhid, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan Yang Maha Esa adalah pengakuan akan adanya kekuasaan di atas seluruh kekuasaan manusia, kata pria bernama asli Abdul Malik Karim Amrullah itu.
Memegang teguh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, maka akan tumbuh sikap perikemanusian yang tinggi. Ini sesuai dengan sila kedua. Manusia dan kemanusiaan yang setinggi-tingginya pada keyakinan dan kepercayaan.
Manusia akan mempraktek hidup yang hubungannya paling dekat dengan tuhan. Kemanusiaan adalah keimanan yang tidak dapat dipisahkan atau tumbuh langsung dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Penjelasan ketiga Hamka adalah keadilan sosial. Dunia saat itu, menurut pria kelahiran 1908, menuntut keadilan sosial. Maka umat yang percaya pada ketuhanan Yang Maha Esa dengan sendirinya akan menuntut keadilan sosial.
Dalam uraian tentang kedaulatan rakyat, Hamka kembali menarik bahwa itu akan berhubungan dengan sila pertama Pancasila. Tidak ada manusia yang diberi hak untuk menguasai sesama manusia.
Tidak ada diktator dalam masyarakat, baik diktator kenegaraan maupun keagamaan. Hamka bahkan berani mengkritik paham bangsa-bangsa asing: milai kemanusiaan lebih tinggi dari demokrasi atau kedaulatan rakyat.
(Baca: Ajak Ormas Islam Kawal RUU HIP, Wantim MUI Waspadai Pengesahan Diam-diam)
Dia menjelaskan sabda Tuhan Yang Maha Esa: manusia di dunia ini adalah khalifah tuhan. Maka, kalau ada pemimpin, baik raja maupun presiden, terpilih untuk memimpin sutu negara itu bukanlah datang dari langit.
Hamka menegaskan bahwa kepala negara menjalankan roda pemerintahannya harus atas kehendak rakyat. Rakyat itulah yang berdaulat dan berkuasa.
Dari kelima sila tersebut, Hamka yang pernah menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1975 ini menegaskan urat tunggang Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Perjuangan yang pertama dan utama dengan sendirinya sila kelima, yaitu kebangsaan dapat berjalan dengan baik.
Kebangsaan sekarang ini adalah negara yang rukun. Di dalamnya, ada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, kepala negara, bendera, lambing, dan slogan. Sila ketuhanan Yang Maha Esa mengajarkan bahwa seluruh bangsa adalah kawan dan seluruh manusia adalah sahabat.
Tujuan yang paling akhir adalah perdamaian dan kemanusiaan menegakkan dunia baru yang adil dan makmur. “Ketuhanan Yang Maha Esa Sumber hakiki dari segala sila dan kesusilaan,” tutup Hamka.
(muh)