Merayakan Guru Besar di Indonesia
loading...
A
A
A
Al Makin
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
HANYA satu-satunya di Indonesia, formalisasi guru besar dirayakan di tempat terbuka dan dihadiri handai tolan. Guru besar seperti perayaan pengantin, sunatan, pulang haji, wisuda, atau hajatan lainnya. Ini unik.
Di Amerika dan Eropa jika seseorang mendapat kenaikan jabatan dari asisten, ke asosiasi, atau full profesor tidak ada perayaan. Di banyak negara bahkan status dan pencapaian guru besar merupakan mobilisasi karir pribadi dari para peneliti dan dosen. Guru besar berpindah dari satu universitas ke universitas lain bahkan dari satu negara ke negara yang lain karena adanya kesempatan.
Indonesia memang serba unik. Guru besar bukan semata-mata karena hasil penelitian dan penulisan karya ilmiah, walaupun faktor itu akhir-akhir ini sangat penting, bukan pula semata penulisan artikel ilmiah di jurnal skala internasional yang merupakan syarat utama meraih itu.
Tetapi status guru besar adalah tapakan administrasi dan birokrasi yang harus dilalui melalui penghitungan angka kredit. Guru besar adalah capaian seperti wisudah S1, S2, atau S3 atau bahkan seperti pernikahan.
Bahkan guru besar sudah menjadi budaya dan perayaan status sosial. guru besar seperti penganugerahan gelar kebangsawanan.
Banyak yang menyoroti, terutama para akademisi yang biasa berkarir di negara yang lebih maju, tentang perayaan guru besar di Indonesia. Perayaan itu sepertinya tidak substansial. Perayaan itu sekadar ritual. Perayaan itu sekadar ramai-ramai, atau bahkan sia-sia.
Tidak ada yang penting dari perayaan itu, seperti hajatan-hajatan budaya tradisional Nusantara. Guru besar sudah menjadi upacara adat lama versi baru.
Betul adanya, orang-orang Indonesia menyukai upacara dan formalitas. Semua hal diformalkan dan dijadikan ajang berkumpul dan saling merayakan. Pertemuan, doa, upacara, dan banyak ritual hadir di ruang publik kita.
Seperti bulan Ramadhan ini dan semua berpuasa dan merayakan ibadah itu. Inilah ciri khas masyarakat Indonesia. Berdoa disertai perayaan, peristiwa akademik juga disertai kendurian.
Daripada kita mencari sisi kelemahan dari perayaan Guru Besar, kenapa tidak kita lihat sisi positifnya yang bisa dibesarkan. Perayaan guru besar itu memang menggembirakan dan membahagiakan, tidak ada salahnya.
Bahagia bersama juga hal yang positif, bukankah begitu adanya. Bahagia karena prestasi penapakan pangkat guru besar juga tidak buruk, tidak hanya baiknya perayaan kelahiran, pernikahan, atau upacara berduka karena kematian.
Kita sudah terbiasa ramai dan berkelompok. Ramai-ramai tidak hanya dalam demo, pemilu, atau pilihan kepala daerah. Keilmuan dan perkembangan pendidikan juga layak dirayakan, kalau mengikuti logika itu.
Perayaan guru besar tidak hanya dengan baliho, ucapan selamat di media sosial, atau pajangan bunga-bunga resmi berdiri di depan gedung penyelengaraan upacara guru besar. Tetapi perayaan juga sekaligus ajang sosialisasi dan promosi pemikiran dan penelitian dari guru besar tadi.
Memang akhir-akhir ini beberapa pengukuhan juga sudah diliput media. Dengan begitu hasil dedikasi para guru besar kita menjadi konsumsi publik.
Inilah sisi positif pengukuhan guru besar di berbagai universitas di Tanah Air. Perayaan itu sekaligus bisa menjadi media sosialisasi peran para intelektual kita, dan sumbangan apa yang bisa dilihat dan difahami di ruang publik. Perayaan pemikiran, jika dikelola secara baik, bisa mempunyai banyak dampak positif.
Pertama, perayaan pemikiran guru besar itu menempatkan kembali, atau menawarkan kembali, posisi intelektual dan bidang akademik dalam masyarakat kita. Karena masyarakat kita sangat agamis, mungkin perayaan guru besar sedikit memberi sumbangan pemikiran intelektual yang berbeda.
Hampir semua ruang publik dipenuhi dengan simbol dan upacara keagamaan. Seluruh media dan media sosial, baik institusi atau pribadi penuh dengan pesan-pesan keagamaan, baik itu moral ataupun identitas keagamaan. Upacara guru besar jika ditekankan aspek riset dan perjalanan intelektual akan berdampak lain, menawarkan kepada publik aspek pendidikan dan penelitian.
Kebijakan yang diambil oleh pihak negara juga perlu disinkronkan dengan penelitian-penelitian yang ada di kampus. Negara beserta seluruh pengambil kebijakan tingkat lokal dan nasioal perlu juga berkomunikasi dengan pihak kampus terutama aspek akademik, penelitian, dan bagaimana pengetahuan itu berkembang terus.
Jurang masih tersisa antara negara dan kampus, ilmu pengetahuan dan kebijakan, akademisi dan politisi, anggota parlemen dan mahasiswa, dan hasil riset di jurnal-jurnal dan buku-buku dan undang-undang yang dirancang oleh para wakil rakyat. Riset, pengetahuan, dan jurnal hanya dibaca kalangan kampus yang sedikit. Perlu ada cara untuk sosialisasi, mungkin perayaan Guru Besar itu salah satu wadahnya.
Pengetahuan yang diproduksi di kampus dan bagaimana ini bisa menyumbang masyarakat dan negara juga perlu dipikirkan ulang, bagaimana caranya berkomunikasi antara keduanya. Dengan dibacakannya pidato guru besar di publik, ini akan sedikit membantu melihat jurang itu kembali.
Banyak sekali riset dalam bidang sains dan humaniora yang perlu masyarakat dan negara pahami. Banyak pandangan umum yang mungkin perlu disinkronkan dengan perkembangan pengetahuan terkini.
Dalam urusan negara misalnya, praktek demokrasi, hak asasi manusia, keadilan gender, keragaman, budaya lokal, globalisasi, pasar bebas, perdamaian dan peperangan. Teknologi, informasi, kedokteran, kimia, fisika, dan teori-teori sains perlu mendapat perhatian.
Perguruan tinggi juga perlu mawas diri, sejauh mana kurikulum menyesuaikan dengan pasar nyata global. Perguruan tinggi juga perlu mendapatkan kritik dan masukan dari dunia nyata. Teori harus bersambung dengan dunia kerja, politik nyata, dan persaingan industri.
Dengan dibacakannya pidato guru besar tentang penelitian mereka, diharapkan tiga komponen utama (triple helix) bertemu dan berkomunikasi: kampus, masyarakat dan negara; akademik, industri, politik; serta pengetahuan, kebijakan, dan kesejahteraan.
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
HANYA satu-satunya di Indonesia, formalisasi guru besar dirayakan di tempat terbuka dan dihadiri handai tolan. Guru besar seperti perayaan pengantin, sunatan, pulang haji, wisuda, atau hajatan lainnya. Ini unik.
Di Amerika dan Eropa jika seseorang mendapat kenaikan jabatan dari asisten, ke asosiasi, atau full profesor tidak ada perayaan. Di banyak negara bahkan status dan pencapaian guru besar merupakan mobilisasi karir pribadi dari para peneliti dan dosen. Guru besar berpindah dari satu universitas ke universitas lain bahkan dari satu negara ke negara yang lain karena adanya kesempatan.
Indonesia memang serba unik. Guru besar bukan semata-mata karena hasil penelitian dan penulisan karya ilmiah, walaupun faktor itu akhir-akhir ini sangat penting, bukan pula semata penulisan artikel ilmiah di jurnal skala internasional yang merupakan syarat utama meraih itu.
Tetapi status guru besar adalah tapakan administrasi dan birokrasi yang harus dilalui melalui penghitungan angka kredit. Guru besar adalah capaian seperti wisudah S1, S2, atau S3 atau bahkan seperti pernikahan.
Bahkan guru besar sudah menjadi budaya dan perayaan status sosial. guru besar seperti penganugerahan gelar kebangsawanan.
Banyak yang menyoroti, terutama para akademisi yang biasa berkarir di negara yang lebih maju, tentang perayaan guru besar di Indonesia. Perayaan itu sepertinya tidak substansial. Perayaan itu sekadar ritual. Perayaan itu sekadar ramai-ramai, atau bahkan sia-sia.
Tidak ada yang penting dari perayaan itu, seperti hajatan-hajatan budaya tradisional Nusantara. Guru besar sudah menjadi upacara adat lama versi baru.
Betul adanya, orang-orang Indonesia menyukai upacara dan formalitas. Semua hal diformalkan dan dijadikan ajang berkumpul dan saling merayakan. Pertemuan, doa, upacara, dan banyak ritual hadir di ruang publik kita.
Seperti bulan Ramadhan ini dan semua berpuasa dan merayakan ibadah itu. Inilah ciri khas masyarakat Indonesia. Berdoa disertai perayaan, peristiwa akademik juga disertai kendurian.
Daripada kita mencari sisi kelemahan dari perayaan Guru Besar, kenapa tidak kita lihat sisi positifnya yang bisa dibesarkan. Perayaan guru besar itu memang menggembirakan dan membahagiakan, tidak ada salahnya.
Bahagia bersama juga hal yang positif, bukankah begitu adanya. Bahagia karena prestasi penapakan pangkat guru besar juga tidak buruk, tidak hanya baiknya perayaan kelahiran, pernikahan, atau upacara berduka karena kematian.
Kita sudah terbiasa ramai dan berkelompok. Ramai-ramai tidak hanya dalam demo, pemilu, atau pilihan kepala daerah. Keilmuan dan perkembangan pendidikan juga layak dirayakan, kalau mengikuti logika itu.
Perayaan guru besar tidak hanya dengan baliho, ucapan selamat di media sosial, atau pajangan bunga-bunga resmi berdiri di depan gedung penyelengaraan upacara guru besar. Tetapi perayaan juga sekaligus ajang sosialisasi dan promosi pemikiran dan penelitian dari guru besar tadi.
Memang akhir-akhir ini beberapa pengukuhan juga sudah diliput media. Dengan begitu hasil dedikasi para guru besar kita menjadi konsumsi publik.
Inilah sisi positif pengukuhan guru besar di berbagai universitas di Tanah Air. Perayaan itu sekaligus bisa menjadi media sosialisasi peran para intelektual kita, dan sumbangan apa yang bisa dilihat dan difahami di ruang publik. Perayaan pemikiran, jika dikelola secara baik, bisa mempunyai banyak dampak positif.
Pertama, perayaan pemikiran guru besar itu menempatkan kembali, atau menawarkan kembali, posisi intelektual dan bidang akademik dalam masyarakat kita. Karena masyarakat kita sangat agamis, mungkin perayaan guru besar sedikit memberi sumbangan pemikiran intelektual yang berbeda.
Hampir semua ruang publik dipenuhi dengan simbol dan upacara keagamaan. Seluruh media dan media sosial, baik institusi atau pribadi penuh dengan pesan-pesan keagamaan, baik itu moral ataupun identitas keagamaan. Upacara guru besar jika ditekankan aspek riset dan perjalanan intelektual akan berdampak lain, menawarkan kepada publik aspek pendidikan dan penelitian.
Kebijakan yang diambil oleh pihak negara juga perlu disinkronkan dengan penelitian-penelitian yang ada di kampus. Negara beserta seluruh pengambil kebijakan tingkat lokal dan nasioal perlu juga berkomunikasi dengan pihak kampus terutama aspek akademik, penelitian, dan bagaimana pengetahuan itu berkembang terus.
Jurang masih tersisa antara negara dan kampus, ilmu pengetahuan dan kebijakan, akademisi dan politisi, anggota parlemen dan mahasiswa, dan hasil riset di jurnal-jurnal dan buku-buku dan undang-undang yang dirancang oleh para wakil rakyat. Riset, pengetahuan, dan jurnal hanya dibaca kalangan kampus yang sedikit. Perlu ada cara untuk sosialisasi, mungkin perayaan Guru Besar itu salah satu wadahnya.
Pengetahuan yang diproduksi di kampus dan bagaimana ini bisa menyumbang masyarakat dan negara juga perlu dipikirkan ulang, bagaimana caranya berkomunikasi antara keduanya. Dengan dibacakannya pidato guru besar di publik, ini akan sedikit membantu melihat jurang itu kembali.
Banyak sekali riset dalam bidang sains dan humaniora yang perlu masyarakat dan negara pahami. Banyak pandangan umum yang mungkin perlu disinkronkan dengan perkembangan pengetahuan terkini.
Dalam urusan negara misalnya, praktek demokrasi, hak asasi manusia, keadilan gender, keragaman, budaya lokal, globalisasi, pasar bebas, perdamaian dan peperangan. Teknologi, informasi, kedokteran, kimia, fisika, dan teori-teori sains perlu mendapat perhatian.
Perguruan tinggi juga perlu mawas diri, sejauh mana kurikulum menyesuaikan dengan pasar nyata global. Perguruan tinggi juga perlu mendapatkan kritik dan masukan dari dunia nyata. Teori harus bersambung dengan dunia kerja, politik nyata, dan persaingan industri.
Dengan dibacakannya pidato guru besar tentang penelitian mereka, diharapkan tiga komponen utama (triple helix) bertemu dan berkomunikasi: kampus, masyarakat dan negara; akademik, industri, politik; serta pengetahuan, kebijakan, dan kesejahteraan.
(poe)