Pasang Surut Industri Manufaktur
loading...
A
A
A
SEMUA sektor penggerak perekonomian nasional terhantam pandemi Covid-19. Tak terkecuali industri manufaktur yang padat modal dan padat karya. Sejumlah industri manufaktor mengalami penurunan utilitas hingga separuh saat kondisi normal. Bahkan, rapor merah ada di industri automotif yang anjlok hingga 90% selama dua bulan sejak wabah virus korona ditetapkan sebagai pandemi.
Kondisi tersebut, tecermin melalui Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia yang turun pada April 2020 hingga menyentuh angka 27,5, meskipun kemudian naik menjadi pada level 28,6 pada Mei. Turunnya utilitas industri hingga 50% menyebabkan merosotnya indeks PMI manufaktur Indonesia.
Hal ini imbas dari merosotnya daya beli masyarakat, di mana masyarakat lebih fokus pada kesehatan sehingga secara otomatis industri melakukan penyesuaian. Kondisi itu juga diperparah dengan adanya beban impor serta tekanan kurs yang masih bergejolak.
Pemerintah telah memetakan sejumlah sektor industri yang terdampak pandemi Covid-19. Dari hasil pemetaan, terdapat tiga kelompok besar, yaitu industri yang suffer, moderat, dan high demand. Pemerintah berkomitmen untuk mencari jalan keluar terbaik agar industri yang terdampak berat tetap dapat bertahan. Namun, dampak yang dirasakan oleh industri manufaktur tak boleh dianggap remeh.
Sebab, industri manufaktur menyerap ratusan ribu tenaga kerja domestik. Jika industri ini tidak mendapat perhatian serius, lambat laun daya saing akan turun sehingga memberikan dampak tidak baik terhadap perekonomian nasional. Sektor industri memiliki peran strategis dalam memberikan kontribusi yang cukup besar bagi perekonomian nasional.
Aktivitas industri memberikan peningkatan nilai tambah bahan baku dalam negeri, meningkatkan penyerapan tenaga kerja lokal, serta menambah penerimaan devisa negara. Ada beberapa sektor industri yang memberikan kontribusi besar terhadap capaian ekspor nasional. Di antaranya industri makanan, logam dasar, kimia, industri pakaian, dan industri kertas.
Sejumlah tantangan berat dihadapi oleh industri manufaktur nasional. Di antaranya gangguan pada rantai pasok (supply chain) yang berimbas pada keterlambatan pengiriman kepada konsumen. Selain itu, pasokan bahan baku baik domestik maupun impor masih terkendala, sehingga membuat kegiatan produksi ikut terganggu. Dari segi biaya produksi, industri manufaktur nasional menanggung kenaikan biaya cukup tinggi sebagai imbas melemahnya rupiah dan minimnya pasokan bahan baku.
Kelangkaan bahan baku tersebut membuat harga bahan baku semakin tinggi, meskipun ada pasokan yang berasal dari impor. Industri manufaktur belum menunjukkan tanda-tanda akan segera bangkit. Industri manufaktur juga terpengaruh upaya menghentikan penyebaran penyakit virus korona yang dilakukan dengan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Industri tentu masih khawatir tentang kelebihan kapasitas sehingga memutuskan untuk mengurangi produksi dan mengurangi jumlah karyawan.
Banyak pula pelaku industri padat karya seperti industri sepatu yang gulung tikar lantaran penjualannya turun tajam. Mayoritas perusahaan sektor ini bahkan diperkirakan hanya mampu mempertahankan bisnisnya tanpa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) selama tiga bulan.
Industri lain yang terhantam cukup parah adalah industri daur ulang plastik. Dengan utilisasi produksi hanya mencapai 30-40% karena menurunnya permintaan pasar, baik dalam negeri maupun ekspor. Kondisi tersebut berdampak pada 120.000 tenaga kerja langsung dan 3,3 juta pemulung sebagai pekerja informal pendukung sektor industri daur ulang plastik.
Diperkirakan 63.000 tenaga kerja langsung di sektor ini industri ini telah dirumahkan. Ditambah lagi pelarangan penggunaan kantong belanja plastik sekali pakai oleh beberapa pemerintah daerah, sudah berdampak pada menurunnya permintaan bahan baku daur ulang untuk produksi kantong plastik dan ketersediaan bahan baku daur ulang.
Untuk dapat bertahan dari kondisi tersebut, industri daur ulang plastik nasional tentu butuh dukungan nyata dari pemerintah. Karenanya, perlu langkah strategis dan kebijakan yang tepat dari pemerintah agar industri manufaktur nasional bisa bertahan mengarungi gelombang pandemi yang belum jelas kapan akan berakhir ini.
Kondisi tersebut, tecermin melalui Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia yang turun pada April 2020 hingga menyentuh angka 27,5, meskipun kemudian naik menjadi pada level 28,6 pada Mei. Turunnya utilitas industri hingga 50% menyebabkan merosotnya indeks PMI manufaktur Indonesia.
Hal ini imbas dari merosotnya daya beli masyarakat, di mana masyarakat lebih fokus pada kesehatan sehingga secara otomatis industri melakukan penyesuaian. Kondisi itu juga diperparah dengan adanya beban impor serta tekanan kurs yang masih bergejolak.
Pemerintah telah memetakan sejumlah sektor industri yang terdampak pandemi Covid-19. Dari hasil pemetaan, terdapat tiga kelompok besar, yaitu industri yang suffer, moderat, dan high demand. Pemerintah berkomitmen untuk mencari jalan keluar terbaik agar industri yang terdampak berat tetap dapat bertahan. Namun, dampak yang dirasakan oleh industri manufaktur tak boleh dianggap remeh.
Sebab, industri manufaktur menyerap ratusan ribu tenaga kerja domestik. Jika industri ini tidak mendapat perhatian serius, lambat laun daya saing akan turun sehingga memberikan dampak tidak baik terhadap perekonomian nasional. Sektor industri memiliki peran strategis dalam memberikan kontribusi yang cukup besar bagi perekonomian nasional.
Aktivitas industri memberikan peningkatan nilai tambah bahan baku dalam negeri, meningkatkan penyerapan tenaga kerja lokal, serta menambah penerimaan devisa negara. Ada beberapa sektor industri yang memberikan kontribusi besar terhadap capaian ekspor nasional. Di antaranya industri makanan, logam dasar, kimia, industri pakaian, dan industri kertas.
Sejumlah tantangan berat dihadapi oleh industri manufaktur nasional. Di antaranya gangguan pada rantai pasok (supply chain) yang berimbas pada keterlambatan pengiriman kepada konsumen. Selain itu, pasokan bahan baku baik domestik maupun impor masih terkendala, sehingga membuat kegiatan produksi ikut terganggu. Dari segi biaya produksi, industri manufaktur nasional menanggung kenaikan biaya cukup tinggi sebagai imbas melemahnya rupiah dan minimnya pasokan bahan baku.
Kelangkaan bahan baku tersebut membuat harga bahan baku semakin tinggi, meskipun ada pasokan yang berasal dari impor. Industri manufaktur belum menunjukkan tanda-tanda akan segera bangkit. Industri manufaktur juga terpengaruh upaya menghentikan penyebaran penyakit virus korona yang dilakukan dengan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Industri tentu masih khawatir tentang kelebihan kapasitas sehingga memutuskan untuk mengurangi produksi dan mengurangi jumlah karyawan.
Banyak pula pelaku industri padat karya seperti industri sepatu yang gulung tikar lantaran penjualannya turun tajam. Mayoritas perusahaan sektor ini bahkan diperkirakan hanya mampu mempertahankan bisnisnya tanpa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) selama tiga bulan.
Industri lain yang terhantam cukup parah adalah industri daur ulang plastik. Dengan utilisasi produksi hanya mencapai 30-40% karena menurunnya permintaan pasar, baik dalam negeri maupun ekspor. Kondisi tersebut berdampak pada 120.000 tenaga kerja langsung dan 3,3 juta pemulung sebagai pekerja informal pendukung sektor industri daur ulang plastik.
Diperkirakan 63.000 tenaga kerja langsung di sektor ini industri ini telah dirumahkan. Ditambah lagi pelarangan penggunaan kantong belanja plastik sekali pakai oleh beberapa pemerintah daerah, sudah berdampak pada menurunnya permintaan bahan baku daur ulang untuk produksi kantong plastik dan ketersediaan bahan baku daur ulang.
Untuk dapat bertahan dari kondisi tersebut, industri daur ulang plastik nasional tentu butuh dukungan nyata dari pemerintah. Karenanya, perlu langkah strategis dan kebijakan yang tepat dari pemerintah agar industri manufaktur nasional bisa bertahan mengarungi gelombang pandemi yang belum jelas kapan akan berakhir ini.
(maf)