Hasil Riset YLKI tentang AMDK Menonjolkan Asumsi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Hiset Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia ( YLKI ) terkait Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) dinilai tidak ilmiah sehingga hasilnya lebih menonojolkan asumsi. Berdasarkan hasil riset YLKI, 61% pengangkutan air galon di Jakarta Raya tidak memenuhi syarat kesehatan lantaran menggunakan kendaraan terbuka, sehingga galon air terpapar sinar matahari dalam waktu lama.
"Jika survei yang dilakukan cuma basa-basi biar dianggap ilmiah dan tidak nyambung dengan materi atau substansi yang diteliti, ini bisa berdampak negatif dan merugikan banyak pihak termasuk masyarakat. Terutama, jika argumen yang dibangun lemah dan rekomendasi yang diajukan juga terkesan dipaksakan dan mengada-ada," kata Dosen Ilmu Komunikasi Satrio Arismunandar dikutip dari keterangan tertulis, Kamis (31/3/2022).
Satrio menyoroti objek yang disurvei. Menurutnya, populasi survei post market adalah toko yang menjual AMDK galon, meliputi supermarket, minimarket, agen, dan warung. Menurut Satrio, seharusnya populasi penelitian survei adalah seluruh konsumen yang pernah atau berlangganan dalam pengkonsumsian AMDK, bukan penjual.
Baca juga: Soal Risiko BPA, Riset YLKI Dorong Industri AMDK Berbenah
Ia melihat ada beberapa kelemahan dalam penelitian yang dilakukan YLKI. Menurutnya, survei YLKI dilakukan hanya untuk membuat opini negatif terhadap AMDK galon guna ulang. Selain itu, survei yang menyimpulkan bahwa AMDK galon guna ulang yang terpapar sinar matahari akan menimbulkan migrasi zat BPA ke air minumnya, tidak objektif.
"Kesimpulan seperti itu kan harus diukur dengan alat tertentu, dan bukan sekadar opini. Bahkan, untuk mengukur keterpaparan sinar matahari pun juga perlu ketersediaan alat ukur dan penguasaan teknis tersendiri, yang masyarakat awam tidak paham dan tidak bisa melakukannya. Ini harus dilakukan oleh orang yang ahli atau profesional di bidangnya," kata pendiri Aliansi Jurnalis Independen ini.
Selain itu, kata Satrio, dalam penelitian ilmiah harus ada batasan yang jelas untuk pengertian terpapar sinar matahari. Apalagi jika mau mengklaimnya hingga ke tahap yang berisiko pada kesehatan konsumen.
Ia mencontohkan, apakah paparan matahari pada pukul 06.30 bisa disamakan dengan pukul 12.00, berapa lama AMDK galon guna ulang harus terpapar sinar matahari, dan berapa sebetulnya suhu maksimal yang bisa terjadi, sehingga bisa dikategorikan berisiko bagi kesehatan konsumen.
Baca juga: Bingung Pilih Galon AMDK Polikarbonat atau PET? Ini Kata Peneliti IPB
"Hal-hal semacam ini lazim dalam penelitian ilmiah, tetapi tidak tercakup dalam survei YLKI itu. Jadi, survei yang dilakukan YLKI ini sebenarnya cuma embel-embel atau basa-basi. Karenanya, survei itu tidak bisa dijadikan landasan untuk membuat kesimpulan ataupun rekomendasi," katanya.
Satrio membandingkan klaim-klaim YLKI dengan pernyataan pakar yang lebih kompeten menyoroti soal BPA dalam galon AMDK. Dia menyebut pakar polimer Institut Teknologi Bandung (ITB), Ahmad Zainal Abidin, yang menyatakan bahwa galon AMDK berbahan PET yang digunakan untuk galon sekali pakai lebih berisiko jika terkena sinar matahari dan benturan, dibandingkan galon guna ulang yang berbahan Polikarbonat.
Hal itu karena galon PET memiliki temperatur transisi gelas (Tg) yang jauh lebih rendah dibanding yang berbahan Polikarbonat. Suhu transisi gelas adalah suhu di mana suatu polimer mengalami perubahan dari liquid (yang mengalir, walaupun mungkin sangat lambat) menjadi bentuk solid.
Menurut Ahmad Zainal Abidin, galon berbahan PET memiliki temperatur transisi gelas pada 80 derajat Celcius, sedang galon Polikarbonat pada 150 derajat Celcius. Dengan demikian, galon berbahan PET akan lebih berisiko jika terkena sinar matahari ketimbang Polikarbonat.
"Pertanyaan saya, secara logika sederhana, mungkinkah suhu sinar matahari bisa mencapai 150 derajat Celcius? Jika itu terjadi, bahkan pada suhu 100 derajat Celcius pun galon guna ulang polikarbonat itu tidak mungkin bisa disentuh dengan tangan karena panasnya seperti air mendidih. Artinya, klaim bahwa bahan Polikarbonatnya mengalami perubahan (dan memicu migrasi BPA) akibat terpapar sinar matahari, lebih terdengar seperti klaim yang mengada-ada atau asbun (asal bunyi)," kata Satrio.
"Jika survei yang dilakukan cuma basa-basi biar dianggap ilmiah dan tidak nyambung dengan materi atau substansi yang diteliti, ini bisa berdampak negatif dan merugikan banyak pihak termasuk masyarakat. Terutama, jika argumen yang dibangun lemah dan rekomendasi yang diajukan juga terkesan dipaksakan dan mengada-ada," kata Dosen Ilmu Komunikasi Satrio Arismunandar dikutip dari keterangan tertulis, Kamis (31/3/2022).
Satrio menyoroti objek yang disurvei. Menurutnya, populasi survei post market adalah toko yang menjual AMDK galon, meliputi supermarket, minimarket, agen, dan warung. Menurut Satrio, seharusnya populasi penelitian survei adalah seluruh konsumen yang pernah atau berlangganan dalam pengkonsumsian AMDK, bukan penjual.
Baca juga: Soal Risiko BPA, Riset YLKI Dorong Industri AMDK Berbenah
Ia melihat ada beberapa kelemahan dalam penelitian yang dilakukan YLKI. Menurutnya, survei YLKI dilakukan hanya untuk membuat opini negatif terhadap AMDK galon guna ulang. Selain itu, survei yang menyimpulkan bahwa AMDK galon guna ulang yang terpapar sinar matahari akan menimbulkan migrasi zat BPA ke air minumnya, tidak objektif.
"Kesimpulan seperti itu kan harus diukur dengan alat tertentu, dan bukan sekadar opini. Bahkan, untuk mengukur keterpaparan sinar matahari pun juga perlu ketersediaan alat ukur dan penguasaan teknis tersendiri, yang masyarakat awam tidak paham dan tidak bisa melakukannya. Ini harus dilakukan oleh orang yang ahli atau profesional di bidangnya," kata pendiri Aliansi Jurnalis Independen ini.
Selain itu, kata Satrio, dalam penelitian ilmiah harus ada batasan yang jelas untuk pengertian terpapar sinar matahari. Apalagi jika mau mengklaimnya hingga ke tahap yang berisiko pada kesehatan konsumen.
Ia mencontohkan, apakah paparan matahari pada pukul 06.30 bisa disamakan dengan pukul 12.00, berapa lama AMDK galon guna ulang harus terpapar sinar matahari, dan berapa sebetulnya suhu maksimal yang bisa terjadi, sehingga bisa dikategorikan berisiko bagi kesehatan konsumen.
Baca juga: Bingung Pilih Galon AMDK Polikarbonat atau PET? Ini Kata Peneliti IPB
"Hal-hal semacam ini lazim dalam penelitian ilmiah, tetapi tidak tercakup dalam survei YLKI itu. Jadi, survei yang dilakukan YLKI ini sebenarnya cuma embel-embel atau basa-basi. Karenanya, survei itu tidak bisa dijadikan landasan untuk membuat kesimpulan ataupun rekomendasi," katanya.
Satrio membandingkan klaim-klaim YLKI dengan pernyataan pakar yang lebih kompeten menyoroti soal BPA dalam galon AMDK. Dia menyebut pakar polimer Institut Teknologi Bandung (ITB), Ahmad Zainal Abidin, yang menyatakan bahwa galon AMDK berbahan PET yang digunakan untuk galon sekali pakai lebih berisiko jika terkena sinar matahari dan benturan, dibandingkan galon guna ulang yang berbahan Polikarbonat.
Hal itu karena galon PET memiliki temperatur transisi gelas (Tg) yang jauh lebih rendah dibanding yang berbahan Polikarbonat. Suhu transisi gelas adalah suhu di mana suatu polimer mengalami perubahan dari liquid (yang mengalir, walaupun mungkin sangat lambat) menjadi bentuk solid.
Menurut Ahmad Zainal Abidin, galon berbahan PET memiliki temperatur transisi gelas pada 80 derajat Celcius, sedang galon Polikarbonat pada 150 derajat Celcius. Dengan demikian, galon berbahan PET akan lebih berisiko jika terkena sinar matahari ketimbang Polikarbonat.
"Pertanyaan saya, secara logika sederhana, mungkinkah suhu sinar matahari bisa mencapai 150 derajat Celcius? Jika itu terjadi, bahkan pada suhu 100 derajat Celcius pun galon guna ulang polikarbonat itu tidak mungkin bisa disentuh dengan tangan karena panasnya seperti air mendidih. Artinya, klaim bahwa bahan Polikarbonatnya mengalami perubahan (dan memicu migrasi BPA) akibat terpapar sinar matahari, lebih terdengar seperti klaim yang mengada-ada atau asbun (asal bunyi)," kata Satrio.
(abd)